Senin 4 Rabi'uts Tsani 1446 - 7 Oktober 2024
Indonesian

Apa Hukum Memanfaatkan Hadiah Yang Diterima Di Hari Ulang Tahun Dan Perayaan Bid’ah lainnya?

Pertanyaan

Apa hukum menggunakan hadiah lama yang diberikan pada perayaan yang tidak sesuai agama seperti perayaan ulang tahun? Dan apa hukum menaiki kendaraan temanku yang saya tahu bahwa orang tuanya membelikan untuknya pada perayaan hari kelahirannya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Tidak dianjurkan merayakan ulang tahun dan perayaan-perayaan yang diada-adakan lainnya. Baik terkait tentang masalah dunia atau agama. Karena mengandung bid’ah dan  menyerupai orang kafir. Silahkan lihat jawaban soal no. 26804 .

Kedua:

Asalnya seseorang itu tidak boleh menerima hadiah apapun yang diberikan pada kesempatan semacam ini. Karena menerima hadiah termasuk mengakui perayaan dan membantu untuk terus melangsungkannya. Akan tetapi kalau dipaksa oleh orang yang memberi hadiah, khawatir kalau ditolak terjadi mudharat, maka boleh menerima hadiahnya seraya menjelaskan kepadanya bahwa asalnya tidak boleh menerimanya karena perayaannya bid’ah, akan tetapi diterima karena kerabat dan rasa cinta atau semacam itu. Silahkan lihat jawaban pada soal no. 146449 .

Ketiga:

Tidak mengapa menggunakan hadiah yang diberikan pada perayaan semcam ini, yang telah diterima karena meyakini dibolehkannya perayaan tersebut dan bolehnya saling memberi hadiah padanya, atau karena ketidak tahuan (hukumnya) atau dalam rangka menghindari mudharat sebagaimana yang telah kami jelaskan tadi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sebagaimana masuk Islam dapat menutupi dosa-dosa yang lalu, maka taubat juga dapat menutupi dosa yang lalu. Apalagi taubatnya orang yang punya uzur karena nash (dalil) yang sampai kepadanya atau karena pemahamannya, setelah sebelumnya tidak memahaminya. Hal ini sangat jelas sekali.

Begitu juga berbagai transaksi (haram) namun belum sampai kepadanya hukum keharamannya, baik karena ketidaktahuan yang menjadi uzur baginya atau karena persepsinya . Maka menurut salah satu pendapat, hukumnya adalah sama seperti di atas.

Jika seseorang melakukan transaksi (haram) yang sebelumnya diyakini kebolehannya karena takwil (pemahamannya) baik itu riba atau judi atau harga minuman keras atau nikah yang rusak atau selain dari itu, kemudian setelah itu jelas baginya kebenaran lalu dia bertaubat, atau dia meminta hukum kepada kami atau meminta fatwa kepada kami, maka hasil dari akad tersebut dianggap sah.

Begitu juga dianggap sah nikah yang sebenarnya tidak sah, seperti kalau dia menikah tanpa wali atau tanpa saksi karena  dia meyakini (sahnya) hal itu atau dia menikahi factor yang kelima pada masa iddah istri ke empat atau menikahi dalam rangka untuk menghalalkan suami orang lain agar dapat menikahi istrinya lagi yang masih diperselisihkan atau selain dari itu. Kalau setelah itu jelas baginya bahwa akad pernikahan seperti itu tidak sah, maka pernikahan tersebut tetap dianggap sah.  

Maksudnya,  jika seseorang meyakini keharaman sesuatu dengan nash yang kuat, seperti keyakinan seseorang yang sebenarnya kafir bahwa dia seorang muslim, maka kami anggap sah pernikahan dan transaksinya yang telah belalu sepanjang factor perusaknya sudah tidak ada .

Akan tetapi dalam masalah ini ada perbedaan dalam mazhab (maksudnya mazhab Hambali) dan lainnya.

Pandangan yang berbeda menyatakan bahwa sesuatu yang dilarang menunjukkan batalnya sebuah perkara. Kaum muslimin tidak membedakan antara orang yang mentakwilkan (memahami sesuai yang dia ketahui) maupun dengan yang lainnya. (Majmu Fatawa, 12/22).

Beliau mengatakan (12/412), “Demikian pula semua akad yang  diyakini kebenarannya oleh seorang muslim berdasarkan takwilnya, baik karena ijtihad atau taklid kepada ulama, seperti transaksi riba yang oleh Sebagian orang diperbolehkan dengan cara rekayasa.

Dari sini, maka tidak mengapa teman anda mempergunakan mobil itu dan mengendarainya.

Wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam