Sabtu 20 Jumadits Tsani 1446 - 21 Desember 2024
Indonesian

Bagaimanakah Hukumnya Membaca Berita Skandal Orang-orang Terkenal ?

Pertanyaan

Bagaimanakah hukum masuk ke sebuah laman untuk membaca berita yang menyebarkan skandal seseorang, pembaca tersebut tidak menyebarkannya? Apakah dianggap mencari-cari aib jika seorang pembaca mencari berita terkait hal itu di media sosial untuk mengetahui info lebih rinci?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Termasuk kerusakan media yang dicanangkan oleh barat, menjadikan media sebagai sarang untuk menelusuri kehidupan pribadi kalangan selebritis dan membuntuti mereka dengan alasan hak halayak untuk mengetahui rahasia kehidupan mereka selama mereka sudah terkenal.

Banyak jurnalis yang telah mengikuti cara rusak ini di tengah masyarakat muslim. Kini  kemunkaran ini berpindah ke media sosial. Bahkan tidak cukup membuntuti, tapi lebih buruk lagi. Sebagian orang ada yang mengarang-ngarang info dengan bahan visual terhadap orang yang dibenci dan dimusuhi.

Maka diwajibkan bagi seorang muslim untuk menjaga agamanya, dan meninggalkan mencari-cari bahan berita seperti ini. Hal ini dapat termasuk perkara yang tidak halal yaitu ghibah, maka membaca skandal yang disebarkan termasuk ridha dengan ghibah dan hal ini tidak boleh.

Dari Adiy bin ‘Adiy daari Urs bin ‘Amirah al kindy, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا عُمِلَتِ الْخَطِيئَةُ فِي الْأَرْضِ، كَانَ مَنْ شَهِدَهَا فَكَرِهَهَا - وَقَالَ مَرَّةً: أَنْكَرَهَا - كَانَ كَمَنْ غَابَ عَنْهَا، وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا، كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا (رواه أبو داود، رقم 4345، وحسنه الألباني في "صحيح سنن أبي داود)

“Jika kekeliruan dilakukan di muka bumi, maka orang yang menyaksikannya namun tidak menyukainya atau mengingkarinya, maka dia sama dengan orang yang tidak menyaksikannya. Dan barangsiapa yang tidak menyaksikannya lalu dia ridha dengannya, maka dia sama dengan orang yang telah menyaksikannya”. (HR. Abu Daud, no. 4345, dinyatakan hasan oleh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Dan yang diwajibkan bagi seorang muslim adalah mengingkari kemunkaran walau sekedar dengan hatinya. Adapun menelusuri skandal dan mencari rinciannya termasuk bertentangan dengan pengingkaran hati, bahkan diwajibkan bagi seorang muslim untuk meninggalkan informai yang menodai rahasia seseorang.

Adapun jika temanya tentang seseorang yang dibolehkan untuk ghibah kepadanya karena ia berterus terang dan bangga dalam maksiat, maka diwajibkan bagi seorang muslim untuk menjauhi membaca tema-tema ini juga, karena hal itu mengandung kerusakan.

Syekh  Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Ini termasuk kaidah yang berkelanjutan dalam prinsip-prinnsip syariat sebagaimana telah kami paparkan di dalam kaidah سد الذرائع (menutup celah yang dapat menyebabkan perbuatan haram) dan yang lainnya. Telah kami jelaskan bahwa perbuatan yang kemungkinan mengarah kepada yang haram, maka seringnya dia menjadi sumber kejahatan dan kerusakan. Dan jika tidak ada kebaikan yang kuat secara syar’i dan ternyata kerusakannya lebih kuat, maka dia dilarang. Bahkan setiap sebab yang mengakibatkan lahirnya kerusakan, maka dilarang jika tidak ada kemaslahatan yang kuat. Apalagi jika memang banyak kerusakan di dalamnya.” (Al Fatawa Al Kubra, 4/465)

Media yang sering memuat skandal mengandung banyak kerusakan yang tampak:

Pertama:

Karena media ini menganggap sepele perbuatan buruk dan kerusakan moral dengan  menyebarluaskan dan menyiarkannya kepada masyarakat, sehingga sedikit demi sedikit mereka menganggap hal itu biasa terjadi. Lalu akan membuat jiwa lemah untuk mengingkari dan menganggapnya tercela. Itu  kalau jiwa tidak senang dengan berita seperti itu dan bosan mengikuti dan mengungkitnya!

Kedua:

Bercampurnya kebenaran dan kebatilan di dalamnya

Dari Abu Qilabah berkata: “Abu Mas’ud berkata kepada Abu Abdillah atau Abdullah berkata kepada Abu Mas’ud: “Apakah engkau mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang ungkapan ‘za’amu’ (menduga-duga)?” Beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

بِئْسَ مَطِيَّةُ الرَّجُلِ زَعَمُوا 

 “Seburuk-buruk sifat seseorang adalah mereka yang suka menduga-duga”.

(HR. Abu Daud, no. 4972. Dia berkata: “Abu Abdillah ini adalah Hudzaifah”. Telah dinyataan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah, 2/522)

Dari Mughirah bin Syu’bah dia berkata: “Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ: عُقُوقَ الأُمَّهَاتِ ، وَوَأْدَ البَنَاتِ، وَمَنَعَ وَهَاتِ، وَكَرِهَ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ المَالِ (رواه البخاري،رقم 2408، ومسلم، رقم 593)

“Sungguh Allah telah mengharamkan kepada kalian durhaka kepada ibu, mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan, tidak keluarkan nafkah wajib dan memeras orang lain. Dia juga membenci isu yang tidak berdasar, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta”. (HR. Bukhari, no. 2408 dan Muslim, no. 593)

Ketiga:

Melakukan ghibah terhadap orang yang boleh di ghibahi menjadi legal jika dengan tujuan baik.

Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:

“Para ulama berkata: Dibolehkan ghibah untuk setiap tujuan yang benar dan legal jika dipastikan dapat sampai pada tujuan tersebut” (fathul Baari, 10/472)

Adapun jika tidak ada tujuan yang baik, maka tidak disyariatkan, seperti mereka tokoh yang suka memberitakan skandal, karena hal ini merusak dan tidak baik.

As Shan’ani –rahimahullah- berkata:

“Mayoritas berkata boleh dikatakan kepada orang fasiq; “Wahai orang fasik”, “wahai si perusak” , demikian juga boleh  membincangkannya dengan syarat bertujuan menasehatinya atau menasehati orang lain dengan menjelaskan keadaannya agar menjadi peringatan bagi orang lain. Bukan sekedar bertujuan  menjatuhkannya. Maka harus dengan tujuan yang benar.” (Subulus Salam, 8/294)

Wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam