Jum'ah 10 Syawal 1445 - 19 April 2024
Indonesian

Pengaruh dan Tujuan Ibadah Haji Antara Idealisme dan Realita

Pertanyaan

Saya menyaksikan di televisi para jama’ah haji berdatangan ke Masjidil Haram dalam rangka memenuhi panggilan Allah dan mengagungkan syi’ar-syi’ar-Nya, yang menggetarkan sanubari, dan menjadikan mata ini berlinang melihat pemandangan yang sangat luar biasa, seandainya diri ini bersama mereka dalam rangka meraih kemenangan yang besar.
Pertanyaan saya wahai Syeikh, Apakah perkumpulan manusia yang sangat luar biasa ini memiliki dampak positif kepada seorang muslim dan kaum muslimin secara umum?, kostintensi apakah yang seharusnya selalu diingat oleh mereka yang menunaikan ibadah haji selama ia berada di Baitullah al Haram?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan dan perhatiannya. Kami juga memohon kepada Allah taufiq dan hidayah-Nya agar Dia mengampuni segala dosa bagi siapa saja yang menunaikan ibadah haji, dan bagi mereka yang belum haji, semoga meraih segala apa yang ia cita-citakan dan selamat dari segala bentuk ancaman, amiin.

Adapun ibadah haji mempunyai tujuan yang sangat mulia dan agung, diantaranya adalah:

1. Terjaganya hubungan emosional dengan para Nabi –alaihimus salam- semenjak Nabi Ibrohim dengan prosesi pembangunan Ka’bah sampai Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan bagaimana pengagungan beliau terhadap Makkah. Maka seorang yang menjalankan ibadah haji ia akan selalu mengingat selama proses ibadah haji berlangsung mereka orang-orang yang disucikan oleh Allah pada tempat mulia tersebut.

Imam Muslim (241) meriwayatkan dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- beliau berkata: Kami pernah berjalan bersama Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- di antara Makkah dan Madinah, lalu kami melewati sebuah lembah, dan beliau bertanya: “Lembah apakah ini?”. Mereka menjawab: Lembah biru. Beliau bersabda: “Seakan saya melihat Musa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- meletakkan kedua jarinya pada kedua telinganya, memekik menta tolong kepada Allah dengan talbiyah dengan melewati lembah ini”.

Ibnu Abbas berkata: Lalu kami meneruskan perjalanan, setibanya di tengah lembah, beliau bertanya: “Tengah lembah apakh ini?”, mereka menjawab: Harsya atau Liftun. Beliau bersabda: “Seakan saya melihat Yunus –alaihis salam- di atas unta merah, dengan memakai jubah dari wol, kendali untanya dari rumput yang kering yang terpotong, dia melewati lembah ini dengan membaca talbiyah”.

2. Putih dan bersihnya pakaian menjadi isyarat akan bersih dan beningnya hati dan batin, serta sucinya risalah dan manhaj. Pakaian putih juga merupakan anjuran untuk menjauhi perhiasan dan untuk menampakkan kemiskinan, dan menjadi pengingat kematian; karena kain ihram mirip dengan kain kafan, maka seakan ia sudah siap untuk menghadap Allah Ta’ala.

3. Memakai pakaian ihram dari miqat merupakan bentuk penghambaan total kepada Allah dengan mentaati perintah dan syrai’ah-Nya. Tidak ada seorang pun yang memulai hajinya dari sebelum atau sesudah miqat; demi mentaati perintah dan syari’at Allah. Hal ini pun menjadi isyarat persatuan umat dan tertibnya mereka, hingga tidak terjadi perbedaan dalam penentuan miqat.

4. Haji juga merupakan syi’ar tauhid semenjak awal mula jama’ah haji mengenakan pakaian ihram. Jabir bin Abdullah berkata di dalam sifat haji Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “ …kemudian ia menyatakan kalimah tauhid,

لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك

“Ya Allah, saya memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, semua pujian, nikmat dan kerajaan hanya milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu” (HR. Muslim 2137). Lihat juga pada jawaban soal nomor 21617

5. Ibadah haji juga menjadi pengingat negeri akherat pada waktu berkumpulnya jama’ah haji di padang Arafah atau lainnya yang tidak ada perbedaan di antara mereka, meskipun datang dari segala penjuru dunia.

6. Haji juga menjadi isyarat persatuan; karena haji menjadikan semua jama’ah sama dalam pakaian, perbuatan, kiblat, tempat mereka. Benar-benar tidak ada perbedaan di antara mereka. Raja dan rakyat biasa, yang kaya maupun yang miskin sama tidak ada bedanya. Seluruh manusia hak dan kewajibannya sama, mereka sama saja ketika berada di baitullah, tidak dibedakan warna dan suku mereka, tidak satu pun yang boleh membedakan mereka.

            Bersatu dalam rasa dan asa……         dan bersatu dalam syri’ar-syi’ar Allah

            Bersatu dalam tujuan……                    bersatu dalam amal

            Bersatu dalam sebuah hadits yang menyatakan:

"الناس من آدم، وآدم من تراب لا فضل لعربي على أعجمي ولا لأبيض على أسود إلا بالتقوى "

“Seluruh manusia dari Adam, dan Adam dari tanah, tidak ada keutamaan antara orang arab dan non arab, antara yang berkulit putih dan yang berkulit hitam kecuali dengan taqwanya”.

Lebih dari dua juta umat Islam berkumpul di satu tempat, dengan satu pakaian, dengan satu tujuan, di bawah satu syi’ar Allah, mereka berdo’a kepada Rabb yang Esa, mereka mengikuti jejak satu Nabi yang sama, pertemuan manakah yang lebih agung dari pertemuan ini…?!

Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِي جَعَلْنَاهُ لِلنَّاسِ سَوَاء الْعَاكِفُ فِيهِ وَالْبَادِ وَمَن يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ ٢٥ الحج: 25

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidilharam yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih”. (QS. Al Hajj: 25)

7. Ibadah haji mendidik kita untuk bersikap qana’ah (cukup) dalam hal sandang dan papan. Mereka semua ridho dengan dua helai kain putih, dan bermalam di tempat yang seadanya.

8. Menjadikan orang-orang kafir dan orang-orang sesat gentar dengan menyaksikan perkumpulan umat Islam berskala internasional, meskipun terkadang di antara umat Islam terjadi perbedaan pendapat, akan tetapi dengan berkumpulnya mereka pada waktu dan tempat tertentu ini, menunjukkan bahwa persatuan mereka sebenarnya sebuah keniscayaan pada masa mendatang.

9. Memahami pentingnya persatuan di antara kaum Muslimin. Pada selain ibadah haji banyak orang yang bepergian sendiri-sendiri, namun sangat berbeda dengan haji, seseorang akan bepergian dan berangkat bersama rombongannya.

10. Mengetahui dan mengenal keadaan kaum Muslimin dari sumber-sumber yang terpercaya; karena seorang muslim akan mendengar langsung dari saudara seiman tentang keadaan kaum muslimin di negara ia berasal. 

11. Saling tukar menukar sesuatu yang bermanfaat di antara kaum muslimin secara umum, baik pengalaman atau yang lainnya.

12. Tempat berkumpulnya para ulama, para cendekiawan, para pengambil kebijakan dari setiap negara. Menjadi sarana untuk saling mempelajari keadaan kaum muslimin dan kebutuhan mereka, serta pentingnya saling membantu dan menjamin di antara mereka.

13. Merealisasikan ubudiyah kepada Allah ta’ala ketika wukuf di Masyair. Dimana dia meninggalkan Masjidil Haram dimana tempat paling bagus dengan melakukan wukuf di Arafah.

14. Pengampunan dosa, sebagaimana sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :

" من حج ولم يرفث ولم يفسق رجع من ذنوبه كيوم ولدته أمه " .

“Barang siapa yang berangkat haji dengan tidak berkata-kata kotor, dan tidak berbuat kefasikan, dia akan kembali suci sebagaimana pada hari dilahirkan oleh ibunya”. (HR. Tirmidzi)

15. Membuka pintu harapan bagi pelaku kemaksiatan, dan menjadi sarana pembinaan mereka agar meninggalkan maksiat tersebut ketika berada di masy’aril haram, yaitu, dengan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk selama musim haji dan di tempat-tempat yang menjadi syi’ar Allah.

16. Haji ini menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang teratur; karena di dalam haji setiap manasik harus dilaksanakan secara urut. Setiap amal ada tempatnya dan dilaksanakan pada waktu tertentu.

17. Bentuk pembinaan bagi jiwa agar suka berinfak pada sisi-sisi kebaikan, dan menjauhi sifat kikir. Seseorang rela mengeluarkan hartanya dalam jumlah yang besar guna menunaikan ibadah haji untuk biaya transportasi, bekal selama perjalanan dan selama berada di tanah suci.

18. Berpeluang meraih ketaqwaan dan kebaikan hati dengan mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, sebagaimana firman-Nya:

ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ ٣٢

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (QS. Al Hajj: 32)

19. Menjadi sarana pembinaan bagi orang-orang kaya agar meninggalkan kehidupan gelamornya dan tidak terlalu mencolok perbedaannya dengan orang-orang miskin dalam hal pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Karena selama proses ibadah haji dari mulai thawaf, sa’I, melempar jumroh mereka semua sama, harus melakukannya pada satu tempat yang sama dengan pakaian yang sama. Ini juga menjadi sarana pedidikan agar orang kaya senantiasa bersifat tawadhu, dan mengetahui akan hinanya dunia ini.

20. Seseorang yang melaksanakan ibadah haji akan senantiasa berada pada ketaatan, dan dzikir kepada Allah selama berada di tanah suci, dia juga berpindah dari satu syi’ar Allah kepada syi’ar Allah yang lain. Hal ini mirip dengan daurah tahunan (pelatihan tahunan) yang intensif untuk taat dan bedzikir kepada Allah –Ta’ala-.

21. Mendidik diri agar mencintai perbuatan baik kepada sesama, dengan menunjukkan jalan orang yang tersesat misalnya, mengajari orang yang belum tahu, membantu orang fakir, dan orang-orang yang lemah dan tidak berdaya.

22. Membina akhlak yang baik seperti bijaksana dan tegar dalam menerima cobaan dari sesama; karena setiap orang yang pergi haji pasti ia akan merasakan kemacetan yang luar bisa, bahkan mungkin sampai saling berbantah-bantahan, dan lain sebagainya. Allah berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ ١٩٧

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. (QS. Al Baqarah: 197)

23. Melatih sifat sabar dalam menerima setiap bentuk kesulitan, seperti teriknya panas, jauhnya perjalanan, jauh dari keluarga, dan penuh sesak ketika pindah dari satu tempat ibadah ke tempat yang lain.

24. Mendidik agar meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang selama ini ia lakukan; karena seseorang yang menunaikan ibadah haji harus membuka tutup kepala, mengganti pakaiannya dengan kain ihram, juga ia akan meninggalkan kebiasaan di rumahnya, makanan dan minuman sehari-sehari.

25. Ibadah sa’i antara bukit Shofa dan Marwa mengingatkan bahwa barang siapa yang taat kepada Allah, bertawakkal kepada-Nya, berpegang teguh dengan ajaran-Nya, maka Allah tidak akan menelantarkannya, bahkan akan mengangkat derajatnya disisi-Nya. Inilah ibunda Hajar ibu dari Nabi Isma’il –alaihis salam- ketika berkata kepada Nabi Ibrohim –alaihis salam-: “Apakah Allah yang menyuruhmu dengan perkara ini?”. Nabi Ibrohim menjawab: “Ya”. Hajar berkata: “Kalau begitu, Dia tidak akan menelantarkan kita”. Maka Allah mengangkat derajatnya disisinya dengan diabadikannya ibadah sa’i seperti sa’inya hajar.

26. Haji mendidik jiwa agar tidak mudah putus asa dari rahmat Allah seberat apapun ujian hidup yang dialaminya; karena Allah semata lah yang menyediakan jalan keluar dari setiap cobaan hidup. Inilah Ummu Isma’il Hajar yang hampir saja anaknya meninggal dunia karena kehausan, dia berusaha keras untuk mendapatkan air dengan berlari dari satu gunung ke gunung yang lain. Lalu pertolongan Allah pun datang dari arah yang tiada disangka sebelumnya. Turunlah seorang malaikat dengan memukul tanah, seraya mengeluarkan air zamzam yang mengandung obat dari penyakit hati dan badan.

27. Mereka yang melaksanakan ibadah haji akan selalu mengingat bahwa dirinya menjadi tamu Allah. Berkumpulnya para jama’ah haji bukan karena memenuhi undangan kenegaraan, juga bukan undangan yayasan, raja, maupun presiden, akan tetapi mereka memenuhi undangan Rabbul ‘Alamin yang telah menjadikan umat islam berkumpul atas dasar persamaan, tidak ada bedanya satu sama lain. Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman:

وأذن في الناس بالحج يأتوك رجالا وعلى كل ضامر يأتين من كل فج عميق ٢٧ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ ...

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka…”. (QS. Al Hajj: 27-28)

وروى النسائي (2578) عن أبي هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ رسول الله صلى الله عليه وسلم وَفْدُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ثَلاثَةٌ الْغَازِي وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ . صححه الألباني في صحيح النسائي

Imam an Nasa’i meriwayatkan (2578) dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Utusan Allah –‘Azza wa Jalla- ada tiga orang: Orang yang berperang, orang yang melaksanakan haji dan umroh”. (HR. an Nasa’I, dishahihkan oleh al Bani)

28. Bersikap wala’ kepada kaum muslimin, hal ini tergambar di dalam sabda Rasulullah –shallahu ‘alaihi wa sallam- :

" إن دماءكم وأعراضكم وأموالكم عليكم حرام كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا " رواه البخاري (65) ومسلم (3180(

“Sesungguhnya darah kalian, harga diri kalian, harta benda kalian adalah haram, sebagaimana haramnya hari ini, pada bulan ini, di negeri ini”. (HR. Bukhori 65, dan Muslim 3180)

29. Musim haji menampakkan pemisahan yang sangat nyata dengan orang-orang musyrik dan kafir; karena mereka dilarang memasuki tanah haram setiap saat dengan tujuan apapun. Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلاَ يَقْرَبُواْ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَـذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ إِن شَاء إِنَّ اللّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ٢٨

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At Taubah: 28)

Imam Bukhori meriwayatkan bahwa Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Abu Bakar –radhiyallahu ‘anhu- pernah menyuruhku pada musim haji untuk menyampaikan kepada para muadzin. Beliau menyuruh mereka untuk mengumumkan di Mina: “Tidak boleh ada orang musyrik yang melaksanakan haji setelah tahun ini, dan tidak boleh melakukan thowaf dengan telanjang”.

Wallahu Ta’ala A’lam, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.

Refrensi: DR. Yahya bin Ibrohim al Yahya Sumber: Web Syeikh Yahya al Yahya