Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Seseorang Telah Mengambil Bagian Warisannya Tanpa Izin, Maka Apakah Ia Boleh Mengambil Hartanya Tanpa Sepengetahuannya ?

Pertanyaan

Jika seseorang telah mengambil harta saya tanpa izin dari saya, dan saya sedang membutuhkan harta tersebut, sementara harta tersebut adalah hak warisan saya, maka apakah saya boleh mengambil harta tersebut tanpa izin darinya ?, dan jika saya benar-benar telah mengambilnya apakah saya berdosa ?

Ringkasan Jawaban

Barang siapa memiliki harta yang ada pada orang lain dan tidak mampu mengambilnya dengan cara yang legal, seperti saling ridha, atau dengan perantara orang yang membawa harta itu, atau melalui jalur hukum, jika ia menang dari harta orang yang sengketa, maka ia berhak mengambil sejumlah haknya, sesuai dengan pendapat yang terkuat dari para ahli fikih, masalah ini dikenal dengan masalah “memenangkan hak”, namun dengan syarat-syarat yang bisa dilihat rinciannya pada jawaban panjang. Jika syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka ia boleh mengambil sejumlah haknya dari orang yang telah mengambil harta anda tanpa izin kepada anda.

Alhamdulillah.

Pengertian Memenangkan Hak

Barang siapa memiliki harta yang ada pada orang lain dan tidak mampu mengambilnya dengan cara yang legal, seperti saling ridha, atau dengan perantara orang yang membawa harta itu, atau melalui jalur hukum, maka jika ia menang dari harta orang yang sengketa, maka ia berhak mengambil sejumlah haknya, sesuai dengan pendapat yang terkuat dari para ahli fikih, masalah ini dikenal dengan masalah memenangkan hak.

Al ‘Iraqi berkata di dalam Tharh at Tatsrib (8/226) pada syarah hadits Uqbah bin ‘Amir berkata: “Kami berkata kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

إنك تبعثنا فننزل بقوم لا يَقرونا، فما ترى في ذلك؟ فقال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إذا نزلتم بقوم فأمروا لكم بما ينبغي للضيف فاقبلوا، وإن لم يفعلوا، فخذوا منهم حق الضيف الذي ينبغي لهم)
رواه البخاري 2461

“Sungguh engkau mengutus kami, lalu kami singgah pada suatu kaum di mana mereka tidak memberikan hak kami sebagai tamu, maka bagaimana pendapat anda pada hal itu ?, maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Jika kalian singgah pada suatu kaum, dan mereka meminta kalian dengan apa yang layak sebagai tamu, maka terimalah, dan jika mereka tidak melakukannya maka ambillah dari mereka hak seorang tamu yang selayaknya bagi mereka”. (HR. Bukhori: 2461)

Bukhori –rahimahullah- telah menjadikannya dalil pada masalah kemenangan (hak), dan bahwa manusia jika ia mempunyai hak pada orang lain, lalu orang itu menghalangi dan mengingkarinya, maka ia boleh mengambil sejumlah haknya dari harta itu, sebagai ganti karena menghalangi haknya, lalu menjadikannya sebagai bab: “Bab Qishash Orang Yang Terdzalimi Jika Ia mendapatkan harta orang yang mendzaliminya”. Telah dikisahkan dari Ibnu Sirin bahwa ia berkata: “Mengqishashnya, dan beliau membaca ayat:

وإن عاقبتم فعاقبوا بمثل ما عوقبتم به
النحل/126

“Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu”. (QS. An Nahl: 126)

Inilah yang menjadi pendapat Syafi’i, beliau memastikan untuk mengambil apa yang tidak didapatkan kebenaran lewat hakim; karena dia mengingkari, juga tidak ada bukti bagi pihak yang benar. Beliau berkata; dan tidak boleh mengambil selain yang sejenis karena kemenangannya dengan jenis itu, jika ia tidak mendapatkannya kecuali yang tidak sejenis, maka boleh mengambilnya.

Dan jika memungkinkan mendapatkan hak dengan jalur hakim, jika ia mengakui tapi menunda, atau mengingkarinya maka harus ada bukti, atau ia mengharap pengakuannya jika hadir di hadapan hakim dan ditawarkan sumpah kepadanya, maka apakah ia bebas untuk mengambil, atau wajib diajukan (perkaranya) kepada hakim ?, dalam hal ini Syafi’iyyah ada dua pendapat; yang lebih kuat menurut mayoritas mereka adalah boleh mengambil.

Ibnu Batthal berkata: “Malik berbeda pendapat dalam hal ini, Ibnul Qasim telah meriwayatkan dari beliau bahwa beliau tidak melakukannya, dan telah diriwayatkan dari beliau juga mengambil jika tidak ada tambahannya, Ibnu Wahab telah meriwayatkan bahwa jika orang yang mengingkari itu tidak mempunyai hutang maka ia wajib mengambilnya, dan jika mempunyai hutang maka tidak wajib mengambilnya kecuali sejumlah yang bisa dijadikan contoh bagi mereka orang-orang yang mempunyai hutang.

Abu Hanifah berkata; emas mengambil emas, perak mengambil perak, barang takaran mengambil barang takaran, barang yang ditimbang mengambil barang yang ditimbang, dan tidak mengambil yang lainnya. Zufar berkata: Ia boleh mengambil ganti dengan nilai (bukan barang).

Ibnu Batthal berkata: “Dan pendapat yang benar adalah pendapat yang membolehkan, dengan dasar dari ayat dan hadits Hindun, tidakkah anda melihat bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah membolehkan kepadanya untuk memberi makan keluarga suaminya dari harta suaminya dengan cara yang baik, sebagai ganti karena suaminya kurang menafkahi mereka, maka masuk dalam kategori itu setiap orang yang mempunyai kewajiban menunaikan hak yang tidak ia penuhi atau ia ingkari, maka boleh baginya untuk mengqishashnya (mengambil) darinya”. Selesai.

Rambu-rambu Bolehnya Memenangkan Hak

Telah dijelaskan sebelumnya pada jawaban soal nomor: 171676 bahwa mengambil masalah memenangkan hak ini terikat dengan tiga perkara; diketahui dari maqashid syari’ah (tujuan-tujuan syaria’at) dan kaidah-kaidahnya, seperti yang dikatakan oleh para ulama:

  1. Tidak mengambil lebih banyak dari haknya.
  2. Mengamankan aib dan sanksi.
  3. Tidak memungkinkan untuk sampai kepada haknya dari jalan peradilan, karena tidak adanya bukti baginya, atau karena buruknya mekanisme peradilan dan apa yang menyertainya dari biaya dan ketertundaan.

Jika ada salah satu syarat dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka tidak boleh melakukan pemenangan hak.

Jika syarat-syarat tersebut terpenuhi, anda boleh mengambil sejumlah hak anda dari orang yang telah mengambil harta anda tanpa seizin dari anda.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam