Alhamdulillah.
Layak diketahui bahwa berihram tidak disyaratkan dalam keadaan suci. Wanita haid boleh berihram untuk umrah atau haji dan mengerjakan semua yang dilakukan jamaah haji, hanya saja dia tidak boleh thawaf di Ka’bah, berdasarkan riwayat ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata:
نَفَسَتْ أَسْمَاءُ بنتُ عُمَيسٍ بمحمَّدِ بنِ أبى بَكرٍ بالشَّجرةِ فأمرَ رسولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أبا بَكرٍ أن تغتسلَ فتُهلَّ ( رواه مسلم، رقم 1209)
“Asma binti Umais telah melahirkan Muhammad bin Abu Bakar di bawah pohon (saat perjalanan haji). Lalu Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- menyuruh Abu Bakar (suaminya) agar menyuruhnya untuk mandi dan memulai (ihram)”. (HR. Muslim, no. 1209)
Wanita haid dan nifas hukumnya sama, dan berdasarkan perintah Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- kepada Aisyah saat dia datang dalam kondisi haid, agar dia melakukan apa yang dilakukan jama’ah haji, hanya saja dia tidak boleh thawaf di Ka’bah”. (HR. Bukhari)
Wanita tersebut telah membatalkan umrahnya saat mengalami haid sedangkan dia telah melewati miqat dan tidak niat melakukan manasik (umrah). Setelah tiba di Jeddah, dia baru ingin umrah lagi. Maka tidak masalah salam hal itu dia ihram dari tempatnya di Jeddah, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ (رواه البخاري، رقم 1524 ومسلم، رقم 1181)
“Barangsiapa yang berada di tempat sesudah miqat, maka dia berihram dari tempat dia berada”. (HR. Muslim: 1181)
Maksudnya barangsiapa yang berada di tempat yang lebih dekat (ke Masjidilharam) dari miqat-miqat tersebut, maka dia dapat berihram dari tempatnya.
Adapun jika dia sudah niat umrah namun saat sejajar atau melewati miqat dia belum berihram umrah, maka dia wajib kembali ke miqat untuk berihram darinya. Jika dia tidak melakukannya dan berihram dari Jeddah maka dia wajib membayar dam, dengan menyembelih seekor kambing di Makkah dan membagikannya kepada fakir miskin di tanah haram.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:
“Kesimpulannya, siapa yang melewati miqat dan ingin masuk manasik tanpa berihram, maka dia wajib kembali ke miqat untuk berihram darinya jika memungkinkan, baik dia melewatinya dalam kondisi tahu atau tidak tahu, baik dia tahu haramnya hal itu atau tidak mengetahuinya. Jika ia kembali kepadanya dan berihram darinya maka tidak ada sanksi apa-apa. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini. Jabir bin Zaid, Hasan, Sa’id bin Jubair, Ats Tsauri, As Syafi’i, dan selain mereka juga berpendapat demikian. Karena dia telah berihram dari miqat yang telah diperintahkan untuk berihram darinya, maka tidak ada sanksi apapun, sama halnya jika dia tidak melewatinya. Maka jika dia berihram sesudah melewati miqat, dia wajib membayar dam.” (Al Mughni: 3/115)
Wallahu a’lam