Kamis 23 Rabi'ul Awwal 1446 - 26 September 2024
Indonesian

Apakah Dokter dan Perawat Memperoleh Keutamaan Menjenguk Orang Sakit ?

403949

Tanggal Tayang : 19-09-2024

Penampilan-penampilan : 488

Pertanyaan

Ada pertanyaan mengenai hadits yang diriwayatkan dari Ali Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tidaklah seorang Muslim menjenguk Muslim yang lainnya pada pagi hari, kecuali akan didoakan oleh tujuh puluh ribu malaikat hingga sore hari. Jika dia menjenguknya pada sore hari, maka dia akan didoakan oleh tujuh puluh ribu malaikat hingga pagi. Dan dia akan mendapatkan kebun di surga kelak.’” Apakah hadits ini shahih ? Apakah hadits ini berlaku hanya pada orang yang mengunjungi kaum Muslimin yang sakit di rumah mereka ? Dan tidak berlaku bagi tenaga medis, terutama para dokter dan perawat yang mengobati orang sakit di rumah sakit yang mana mereka melakukan itu sebagai tuntutan profesi mereka dan tidak bertujuan untuk mengunjungi kaum Muslimin yang sakit. Bagaimanakah dapat memberlakukan hadits ini sehingga mendapat pahala ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama.

Abu Daud, no. 3099, dan Imam Ahmad dalam Al-Musnad (2/47-48) dan lainnya meriwayatkan,

عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِذَا عَادَ الرَّجُلُ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، مَشَى فِي خِرَافَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسَ، فَإِذَا جَلَسَ غَمَرَتْهُ الرَّحْمَةُ، فَإِنْ كَانَ غُدْوَةً صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ كَانَ مَسَاءً صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُصْبِحَ  .

Dari Ali, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Apabila seorang laki-laki berkunjung kepada saudaranya yang muslim, maka seakan-akan dia berjalan di kebun surga hingga duduk. Apabila sudah duduk, maka diguyuri rahmat dengan deras. Apabila berkunjung di pagi hari, maka tujuh puluh ribu malaikat akan mendoakannya, agar mendapat rahmat hingga sore. Apabila berkunjung di sore hari, maka tujuh puluh ribu malaikat akan mendoakannya agar diberi rahmat hingga pagi.’”

Setelah hadits no. 3100, Abu Daud berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari Ali dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak dengan riwayat yang shahih.”

Hadits ini berbeda-beda perawinya. Ada yang yang meriwayatkan secara Marfu’ sampai kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ada yang meriwayatkan secara Mauquf dan merupakan perkataan Ali Radhiyallahu ‘Anhu.

Setelah hadits no. 969, At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari Ali tidak hanya satu arah. Ada yang meriwayatkannya secara Mauquf dan tidak meriwayatkannya secara Marfu’.”

Para Muhaqqiq (peneliti) kitab Musnad mengatakan, “Hadits ini shahih secara Mauquf. Para perawinya tsiqah, merupakan para perawi hadits As-Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim). Akan tetapi berbeda dari sisi Mauquf dan Marfu’nya. Riwayat yang Mauquf lebih shahih.”

Berdasarkan pendapat yang menguatkan ke-Mauquf-an hadits ini, maka hadits ini memiliki hukum Marfu’, karena hal seperti ini tidak bisa dikomentari dengan rasio (akal) sebab termasuk pengetahuan terhadap yang gaib.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, “Kemudian contoh Marfu’ yang tidak tegas tapi hanya secara hukum saja, seperti sahabat yang tidak mengambil riwayat Isra’iliyyat mengatakan sesuatu (dengan ketentuan): bukan termasuk perkara ijtihad, tidak berkaitan dengan pembahasan secara bahasa atau menjelasakan kata yang asing, pengabaran tentang berita-berita zaman dahulu seperti awal permulaan makhluk, cerita para nabi, atau berita-berita tentang masa depan, seperti peperangan (yang akan terjadi), berbagai fitnah (kerusakan), dan keadaan-keadaan pada Hari Kiamat. Demikian juga pengabaran tentang pahala atau hukuman khusus bagi suatu amal perbuatan.

Tak lain dihukumi Marfu’ karena ketika sahabat mengabarkan perkara-perkara tersebut karena pastinya dia diberitahu oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan saat sahabat mengabarkan suatu perkara yang tidak ada ruang untuk berijtihad, tentunya ia juga diberitahu oleh orang lebih dulu mengatakannya, dan tidak ada orang yang memberitahu sahabat kecuali Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atau sebagian orang yang memberitahukan berita dari kitab-kitab terdahulu itu kepadanya. Oleh karena itulah, untuk bagian yang kedua ini perlu diwaspadai.

Jika demikian keadaannya, pengabaran sahabat itu memiliki hukum seperti jika seandainya dikatakan, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata (bersabda).” Hal itu juga Marfu’, baik ia mendengarnya langsung dari Rasulullah atau mendengar dari beliau dengan perantaraan orang lain.” (Nuzhat An-Nazhar, hal. 132-134).

Kedua.

Hadits ini mencakup semua orang yang berniat untuk mengunjungi dan menjenguk orang sakit demi mengharapkan pahala, baik dia orang asing, kerabat, dokter atau perawat, karena amal perbuatan itu terkait dengan niat. Orang yang beramal akan mendapatkan pahala apa yang diniatkannya, berdasarkan hadits :

عَنْ عُمَرَ بْن الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ رواه البخاري (1) ومسلم (1907).

Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.’” (HR. Al-Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907).

Satu amal perbuatan terkadang sah dilakukan dengan niat dua ibadah, atau ibadah dengan kebiasaan. Inilah rahmat dari Allah kepada umat Islam ini.

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Di antara nikmat Allah dan kemudahan-Nya adalah satu amal perbuatan dapat menduduki beberapa amal perbuatan. Apabila seseorang masuk masjid pada saat datangnya shalat sunah Rawatib, kemudian dia shalat dua rakaat, ia meniatkan dua rakaat ini sebagai shalat Rawatib dan shalat Tahiyatul Masjid, maka ia akan memeroleh keutamaan (pahala) kedua shalat itu.” (Al-Qawa’id wa Al- Ushul Al-Jami’ah, hal. 168).

Di antara contoh-contohnya adalah yang disebutkan dalam hadits Zainab istri Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhuma ketika ia (istri Abdullah bin Mas’ud) bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang saat itu sangat ingin bersedekah dengan hartanya :

أَيَجْزِي عَنِّي أَنْ أُنْفِقَ عَلَى زَوْجِي، وَأَيْتَامٍ لِي فِي حَجْرِي؟ قَالَ: نَعَمْ، ولَهَا أَجْرَانِ: أَجْرُ القَرَابَةِ، وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ  رواه البخاري (1466) ومسلم (1000).

“Apakah aku akan mendapat pahala bila aku menginfakkan sedekahku kepada suamiku dan kepada anak-anak yatim yang aku tanggung dalam rumahku? Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Ya benar. Dan baginya dua pahala, yaitu pahala (menyambung) kekerabatan dan pahala zakatnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 1466 dan Muslim, no. 1000).

Termasuk ke dalam masalah ini adalah dokter dan perawat. Mereka boleh melaksanakan pekerjaannya dengan niat menjenguk orang-orang sakit dan membantu mereka.

Syaikh Umar Sulaiman Al-Asyqar Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “kaum Muslimin yang bekerja dengan pekerjaan-pekerjaan duniawi seperti para dokter, insinyur dan peneliti dapat menjadikan pekerjaan-pekerjaan mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah ketika mereka memunculkan niat yang shalih ketika mereka melaksanakan pekerjaan-pekerjaan ini. Hal ini tidak mengharuskan mereka untuk tidak mengharapkan bagian-bagian (gaji, upah, honor) dari pekerjaan-pekerjaan itu.” (Maqashid Al-Mukallafin, hal. 400).

Niat seperti ini termasuk amal shalih yang membuat dokter dan perawat berbuat baik kepada para pasien dan bersabar atas mereka, tidak menggerutu pada mereka atau berbuat buruk kepada mereka.

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam