Alhamdulillah.
Pertama: Dalil bahwa tidur itu pembatal wudu telah tetap. Hal itu dinyatakan dalam hadits Sofwan bin Assal radhiallahu anhu, dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ إِلا مِنْ جَنَابَةٍ ، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ (رواه الترمذي، رقم 89، وحسنه الألباني)
“Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami agar tidak melepaskan khuf (kaos kaki kulit) kami selama tiga hari tiga malam jika kami dalam bepergian kecuali dari janabat. Akan tetapi (kami tidak perlu mencopot khuf) dari buang air besar, kencing dan tidur.” (HR. Tirmizi, no. 89, dinyatakan hasan oleh Al-Albany).
Dijelaskan (dalam hadits ini) bahwa tidur merupakan pembatal wudu.
Telah dijelaskan dalam soal jawab, no. 36889, perbedaan pendapat para ulama tentang tidur sebagai pembatal wudu. Pendapat yang kuat adalah bahwa tidur membatalkan wudu kalau nyenyak. Sedangkan jika tidurnya ringan, tidak membatalkan wudu.
Kedua: Adapun hadits Ibnu Abbas yang diisyaratkan oleh penanya, telah diriwayatkan oleh Bukhari, 698 dan Muslim, 763. Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, dia berkata, saya bermalam di rumah Maimunah (salah seorang isteri Nabi) dan pada malam itu adalah giliran Nabi sallallahu alaihi wa sallam bermalam di sana. Kemudian beliau berwudu lalu menunaikan shalat, saya pun berdiri di sisi kirinya. Maka beliau menggeser aku dan menjadikanku di sebelah kanannya. Beliau shalat tiga belas rakaat, kemudian tidur hingga mendengkur. Beliau memang biasa tidur mendengkur. Kemudian muazin datang (untuk azan), maka beliau keluar menunaikan shalat tanpa berwudu.”
Benar adanya bahwa beliau sallallahu’alaihi wa sallam tidur dan menunaikan shalat tanpa berwudu. Para ulama menyatakan bahwa hukum ini (tidak batalnya wudu dengan tidur) khusus untuk Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Hal itu karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam, meski matanya tertidur, namun hatinya tidak tidur, sehingga kalau beliau berhadats akan merasakan hal itu.
Imam Nawawi rahiamahullah berkata: “Ungkapan ‘Kemudian berbaring dan tidur sampai mendengkur kemudian berdiri shalat tanpa berwudu’ merupkan kekhususan Beliau sallallahu laihi wa sallam bahwa tidur beliau dalam kondisi berbaring dan tidak membatalkan wudu karena walau kedua matanya tidur namun hatinya tidak tidur, sehingga kalau keluar hadats, dia akan merasakannya. Berbeda dengan orang-orang lain.”
Al-Hafidz berkata: “Ungkapan ‘kemudian shalat tanpa berwudu’ karena beliau sallallahu alaihi wa sallam tidur kedua matanya, namun hatinya tidak tidur. Kalau berhadats, beliau akan mengetahui hal itu. Oleh karena itu, terkadang beliau berwudu setelah bangun dari tidur dan terkadang tidak berwudu."
Al-Khattaby berkata: “Sesungguhnya hatinya terhalang dari tidur agar sadar apabila ada wahyu yang datang sewaktu tidur.”
Dari Aisyah radhiallahu anha sesunggunya Rasulullah sallallahu alaih wa sallam bersabda: “Kedua mataku tidur dan hatiku tidak tidur.”
(HR. Bukhari, no. 3569 dan Ahmad, no. 7369, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu. Silakan lihat kitab As-Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah, karangan Al-Albany, no. 696)
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, 474 dari Aisyah rahdiallahu anha, dia berkata: “Biasanya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam tidur sampai mendengkur, kemudian berdiri shalat tanpa berwudu.”
(Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Ibnu Majah. As-Sindy berkata dalam hasyiyah Ibnu Majah: “ ‘mendengkur’ adalah suara yang terdengar dari orang tidur.
Ungkapan ‘kemudian shalat tanpa berwudu’ karena beliau tidur kedua matanya, namun tidak tidur hatinya. Sebagaiamana telah dijelaskan dalam (hadits) shaheh. Maka tidur beliau tidak membatalkan (wudu). Sebab tidur dikatakan membatalkan wudu karena dikhawatirkan keluar sesuatu darinya sementara dia tidak sadar. Dan hal itu tidak terjadi pada orang yang hatinya tidak tidur.
Kemudian beliau berkata: “Maka, sama sekali tidak layak menyebutkan hadits tidurnya beliau sallallahu’alaihi wa sallam dalam bab ini (yaitu bab membatalkan wudu dengan tidur), kecuali disertai dengan penjelasan bahwa hal itu merupakan kekhususan dari hukum ini. Hendaklah hal ini dicermati.” .