Alhamdulillah.
Disunnahkan shalat dua raka’at setiap kali selesai thawaf, dan dianjurkan untuk dilakukan dibelakang maqam Ibrahim.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (1627) dan Muslim (1234): dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا، وَصَلَّى خَلْفَ الْمَقَامِ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّفَا، وَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى: ( لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“pada saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang, beliau mengelilingi ka’bah dengan tujuh kali putaran, dan shalat dua raka’at di belakang maqam, kemudian keluar menuju bukit shafa, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
(Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu), al-Ahzab: 21.
Dan diperbolehkan untuk melakukan shalat dua raka’at tersebut di manapun di dalam area masjid, atau di kota Mekah dan masjidil haram.
Imam Malik dalam “al-Muwatha’” meriwayatkan (1/368), dari [Humaid bin Abdurrahman bin Auf] bahwa [Abdurrahman bin Abdul Al Qari] mengabarkan kepadanya, bahwa ia pernah melaksanakan thawaf di Ka'bah bersama [Umar bin al Khatthab] setelah shalat shubuh. Selesai melaksanakan thawaf Umar melihat ke sekelilingnya dan ternyata matahari belum terbit, maka ia menaiki kendaraannya hingga mendekati Dzu Thuwa, kemudian ia shalat sunnah thawaf sebanyak dua rakaat."
Ibnu al-Mundzir rahimahullah berkata: terdapat petunjuk yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan thawaf, kemudian shalat dua raka’at dibelakang maqam.
Para ahli ilmu sepakat bahwa seseorang yang menjalankan thawaf akan diberikan pahala dua rakaat thawaf dimanapun ia melaksanakan shalat dua raka’at tersebut, kecuali Malik yang berpendapat bahwa makruh hukumnya shalat dua raka’at thawaf di hijr Ismail. Akhir kutipan dari “al-Isyraf” (3/287).
Ibnu Qadamah rahimahullah berkata: “disunnahkan bagi orang yang berthawaf seteleh menyelesaikan thawaf untuk shalat dua raka’at, dan di anjurkan untuk shalat dua raka’at dibelakang maqam Ibrahim, sebagaimana firman Allah ta’ala:
واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى
(“Jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim) sebagai tempat shalat.”), al-Baqarah: 125.
Dan dimanapun ia melakukannya dan bacaaan surah apapun yang dibacanya , karena Umar melakukan shalat dua raka’at di lembah (wadi) Dhi Tuwa. Akhir kutipan dari “al-Mughni” (3/347).
Syeikh Ibnu Bazz rahimahullah berkata: tidak wajib hukumnya bagi orang thawaf untuk shalat dua raka’at dibelakang maqam Ibrahim, namun demikian hal itu di syariatkan jika terdapat kemudahan dan tidak ada halangan, dan jika ia shalat dua raka’at dimanapun tempatnya di masjidil haram, atau dimanapun tempatnya di wilayah tanah haram, maka ia mendapatkan pahalanya.
Dan tidak disyariatkan untuk shalat dua raka’at dengan mendesak-desak orang-orang yang sedang thawaf disekitar maqam Ibrahim, tapi hendaknya ia justru harus menghindari keramaian , dan melakukan shalat dua raka’at ditempat lain di dalam masjidil haram; karena Umar radhiyallahu ‘anhu melakukan shalat dua raka’at di lembah (wadi) Dhi Tuwa pada sebagian tawafnya, dan itu masih termasuk dalam tanah haram, akan tetapi letaknya berada diluar area masjidil haram; demikian halnya dengan Umi Salamah radhiyallahu ‘anha shalat dua raka’at diluar area masjidil haram pada saat tawaf wada’, alasan yang pasti dalam hal ini adalah karena faktor keramaian, artinya dengan itu ia ingin menjelaskan kepada umat adanya kelonggaran menurut pandangan syariah dalam hal ini. Akhir kutipan dari “fatawa Ibnu Bazz” (17/228).
Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “mereka yang menjalankan shalat di belakang maqam Ibrahim, dan mereka yang bersikukuh untuk mengerjakan shalat disana, sementara orang-orang yang sedang thawaf membutuhkan tempat tersebut, maka sesungguhnya mereka telah berlaku dzalim kepada diri mereka sendiri dan kepada orang lain, dan mereka adalah termasuk orang-orang yang berbuat dosa, berlebih-lebihan dan berlaku dzalim, mereka pada dasarnya tidak memiliki hak atas tempat tersebut, anda bisa mendorong mereka, atau berjalan diantara mereka, anda juga bisa melangkahi mereka ketika mereka sedang bersujud, karena mereka tidak memiliki hak apapun atas tempat tersebut.
Adapun fakta bahwa mereka bersikeras untuk berada di tempat tersebut adalah semata-mata karena kebodohan mereka, karena dua raka’at thawaf boleh dilakukan dimana saja di dalam masjid, dan memungkinkan bagi seseorang untuk menjauhi tempat orang-orang yang sedang thawaf dan kemudian shalat dua raka’at, bahkan amirul mukminin Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu melakukan shalat dua raka’at thawaf di lembah (wadi) Dhi Tuwa, dan itu terletak jauh dari masjidil haram, apalagi jika masih termasuk dalam bagian masjidil haram.
Seseorang harus bertaqwa kepada Allah di dalam dirinya, dan bertaqwa kepada Allah di dalam saudara-saudaranya; maka ia seharusnya tidak melakukan shalat di belakang maqam Ibrahim alaihi as-salam, ketika orang-orang yang sedang thawaf membutuhkan tempat tersebut, dan jika ia tetap melakukannya maka tidak ada kehormatan baginya, dan kita boleh mencegahnya, kita juga boleh memintanya menghentikan shalat, kita juga boleh melangkahinya ketika ia sedang bersujud, karena dalam hal ini ia telah berbuat dzalim dan melampaui batas, wal ‘iyyadz billahi. Akhir kutipan dari “fatawa ulama al-Balad al-Haram” (Hal: 220).
Kesimpulan:
Bahwa dua raka’at thawaf boleh dikerjakan dimana saja di Mekah dan di tanah haram, dan diutamakan untuk dikerjakan dibelakang maqam Ibrahim, apabila tidak ada keramaian, dan apabila shalat dua rakaat tersebut tidak mengganggu jalan atau menimbulkan kesulitan bagi orang-orang yang sedang thawaf.
Wallahu a’lam.