Jum'ah 1 Rabi'uts Tsani 1446 - 4 Oktober 2024
Indonesian

Menginginkan Agar Isterinya Membatalkan Puasanya dan Mengqadha Tanpa Uzur

Pertanyaan

Takdir sudah berkehendak bahwa pekan pertama bulan Ramadan menjadi pekan pertama pernikahan saya. Suami saya tidak dapat menahan hasratnya sedangkan saya tidak ingin membatalkan puasa. Suami saya mengatakan bahwa tidak apa-apa jika saya berbuka sehari dan mengqadhanya di kemudian hari.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Ucapan anda 'Takdir sudah berkehendak' tidak benar. Yang benar adalah bahwa Allah menghendaki segala sesuatu, Dialah Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan. Lengkapnya masalah ini telah dibahas pada jawaban no. 8621

Kedua:

Berbuka di bulan Ramadan tanpa uzur termasuk dosa besar. Pelakunya dianggap fasik. Dia harus bertaubat kepada Allah dari kemaksiatan yang besar tersebut.

Kedua:

Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang ancaman yang sangat besar bagi siapa yang berbuka di bulan Ramadan tanpa uzur.

Al-Hakim meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melihat azab bagi orang yang berbuka di bulan Ramadan tanpa uzur. Dia berkata, "Tiba-tiba saya melihat satu kaum yang tergantung di kakinya. Mulut-mulut mereka pecah dan mengeluarkan darah. Aku berkata, "Siapakah mereka?" Dia menjawab, "Mereka adalah orang yang berbuka puasa sebelum puasa mereka usai." (Dishahihkan Al-Albanya dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 3951)

Dengan demikian, wajib bagi suami untuk bertakwa kepada Allah Ta'ala dan tidak meremehkan perkara puasa. Perkaranya sangat berat. Dan buat anda (sebagai isteri) tidak boleh menaatinya dalam perkara ini, karena tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Khaliq.

Kebolehan berbuka di bulan Ramadan dan mengqadhanya hanya disyariatkan bagi mereka yang memiliki uzur, seperti sakit, safar dan semacamnya. Adapun meminta seseorang berbuka puasa tanpa uzur di bulan Ramadan, sesungguhnya dia sedang menanti murka Allah dan azab-Nya. Kita mohon kepada Allah Ta'ala semoga diberikan keselamatan. 

Perhatikan soal no. 38747

Kedua:

Jimak termasuk perkara yang membatalkan puasa. Bahkan dia termasuk dosa yang sangat besar. Karena itu diwajibkan melakukan kafarat.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam fatwa puasanya, hal. 337, "Orang yang berjimak di siang Ramadan sedangkan dia berpuasa dan menetap (tidak safar) harus membayar kafarat yang berat. Yaitu memerdekakan budak. Jika tidak dapat, berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka dia harus memberi makan 60 orang miskin. Sang isteri seperti itu juga jika dia ridha. Namun jika dia dipaksa, maka tidak ada kewajiban apapun baginya. Jika mereka sedang safar, maka tidak ada dosa dan tidak ada kafarat bagi mereka serta tidak diwajibkan menahan (dari perkara yang membatalkan puasa) pada sisa harinya. Keduanya hanya diwajibkan qadha hari itu. Karena puasa ketika itu (safar) tidak diwajibkan bagi mereka berdua."

Orang yang berjimak di negerinya (tidak safar) sementara dia termasuk orang yang wajib melakukan puasa, menanggung lima perkara;

Pertama, dosa

Kedua, puasanya batal.

Ketiga, Dia harus meneruskan puasanya

Keempat, diharuskan mengqadhanya.

Kelima, diharuskan membayar kafarat.

Dalil keharusan membayar kafarat, terdapat dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لابَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ . رواه البخاري (1936) ومسلم 1111)

"Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seseorang, lalu dia berkata, 'Wahai Rasulullah, celakalah saya.' Beliau berkata, 'Ada apa denganmu?' dia berkata, 'Aku telah menggauli isteriku dalam keadaan puasa.' Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 'Apakah engkau memiliki budak yang engkau merdekakan?' Dia berkata, 'Tidak.' Lalu beliau berkata, 'Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut.' Dia berkata, 'Tidak.' Lalu beliau berkata, 'Apakah engkau dapat memberi makan 60 orang miskin?' Dia berkata, 'Tidak.' Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam dia bebera saat. Ketika kami adalam keadaan demikian, ada yang membawakan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam sekerangjan korma. Lalu dia berkata, 'Mana yang bertanya tadi?' Dia berkata, 'Saya.' Beliau berkata, 'Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya.' Orang itu berkata, 'Kepada orang yang lebih fakir dariku ya Rasulullah, demi Allah, tidak ada keluarga di antara dua gunung ini, maksudnya dua perkampungan, yang lebih miskin dari keluarga saya.' Nabi shallallahu alaihi wa salalm tertawa hingga tampak gigi gerahamnya. Kemudian beliau berkata, 'Berilah makan keluargamu." (HR. Bukhari, no. 1936 dan Muslim, no. 1111)

Orang tersebut, jika tidak mampu berpuasa dan memberi makan, maka gugurlah kewajiban kafarat baginya, karena Allah Ta'ala tidak membebankan seseorang kecuali yang dia mampu. Tidak ada kewajiban bersama ketidakberdayaan. Tidak ada perbedaan, apakah keluar mani atau tidak selama telah terjadi jimak. Berbeda jika yang terjadi adalah keluar mani tanpa jimak, maka tidak ada kewajiban kafarat ketika itu. Yang ada hanyala dosa dan kewajiban meneruskan puasanya serta qadha.

Beliau juga ditanya tentang seseorang yang memaksa isterinya untuk berjimak di siang hari Ramadan?

Beliau menjawab, "Diharamkan bagi sang isteri untuk menaati suami atau memberinya kesempatan untuk itu jika kondisinya demikian. Karena ini adalah puasa fardhu, dia harus menolaknya semampunya. Diharamkan bagi suaminya untuk menjimaknya dalam kondisi demikian. Jika sang isteri tidak berdaya menghindari kemauan suaminya, maka tidak ada dosa baginya dan tidak ada qadha serta tidak ada kafarat, karena dia terpaksa." (Fatawa Shiyam, hal. 339)

Wallahua'lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam