Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Meminum Air Zam-zam Itu Sunnah Bukan Wajib

49791

Tanggal Tayang : 30-10-2016

Penampilan-penampilan : 17647

Pertanyaan

Saya akan berniat insya Alloh untuk melaksanakan umrah pada bulan Ramadhan, sesuai jadwal, saya akan sampai di Makkah pada waktu shalat dzuhur jika ditemouh dengan jalan darat. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa seseorang yang sedang berumrah dia wajib meminum air zam-zam setelah shalat di belakang maqam Ibrohim pada hari-hari biasa, namun pada saat bulan Ramadhan sedangkan saya berniat untuk puasa, maka bagaimana saya harus minum air zam-zam ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Meminum air zam-zam bukanlah suatu kewajiban, akan tetapi hanya sunnah saja, yang disunnahkan tidak hanya setelah mendirikan shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrohim, namun meminum air zam-zam disunnahkan pada setiap waktu.

Syeikh Islam dalam Majmu’ Fatawa (26/144) pernah berkata:

“Dan disunnahkan untuk meminum air zam-zam dan mengenyangkan diri dengannya, dan berdoa dengan doa bebas pada saat meminumnya dengan doa-doa yang disyari’atkan”.

Al Muwaffiq berkata di dalam al Mughni:

“Disunnahkan untuk mendatangi sumur zam-zam dan meminum airnya sesuka hatinya, dan mengenyangkan diri dengannya. Jabir berkata tentang sifat hajinya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Kemudian beliau mendatangi bani Abdul Muthalib pada saat mereka meminumnya, seraya mereka pun memberi beliau sebuah timba dan meminum darinya”.

Arti dari "يتضلع" adalah memperbanyak minum hingga memenuhi sisi-sisi perutnya. (Hasyiyat As Sandi ‘ala Ibni Majah)

An Nawawi dalam Al Majmu’ berkata:

“Syafi’i, sahabat-sahabatnya dan yang lainnya berkata: “Disunnahkan untuk meminum air zam-zam, memperbanyak meminumnya, dan mengenyangkan diri dengannya. Dan disunnahkan untuk meminumnya untuk semua keinginannya dari urusan dunia dan akhirat. Jika seseorang ingin meminumnya agar supaya diampuni atau agar disembuhkan dari penyakit atau yang serupa dengannya maka hendaknya menghadap kiblat dan menyebut Nama Alloh –Ta’ala- kemudian berkata:

( اللَّهُمَّ إنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَك صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ اللَّهُمَّ إنِّي أَشْرَبُهُ لِتَغْفِرَ لِي , اللَّهُمَّ فَاغْفِرْ لِي أَوْ اللَّهُمَّ إنِّي أَشْرَبُهُ مُسْتَشْفِيًا بِهِ مِنْ مَرَضٍ , اللَّهُمَّ فَاشْفِنِي ) وَنَحْوَ هَذَا

“Ya Alloh, telah sampai kepada saya bahwa Rasul-Mu –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda: “Air zam-zam itu sesuai dengan tujuan meminumnya”. Ya Alloh, saya meminumnya agar Engkau mengampuni (dosa) saya, Ya Alloh ampunilah saya, atau Ya Alloh saya meminumnya agar disembuhkan dari penyakit, Ya Alloh, sembuhkanlah saya, atau yang serupa dengan itu”.

Dan disunnah agar mengambil nafas tiga kali, sebagaimana pada saat minum air pada umumnya. Dan jika sudah selesai maka membaca hamdalah”.

Syiekh Ibnu Baaz dalam Majmu’ Fatawa (16/138) berkata:

“Disunnahkan bagi jama’ah haji dan umrah dan selain dari mereka agar meminum air zam-zam jika hal itu mudah dilakukan”.

Atas dasar itulah maka jika anda melaksanakan umrah pada saat anda berpuasa, maka tidak ada dosa bagi anda jika tidak meminumnya, akan tetapi anda meminumnya setelah berbuka.

Kedua:

Jika anda pergi berumrah ke Makkah, maka seorang musafir boleh puasa dan boleh tidak puasa sesuai dengan ijma’ para ulama, namun mereka berbeda pendapat mana yang lebih utama. Telah disebutkan pada jawaban soal nomor: 20165 bahwa yang lebih utama adalah yang lebih memudahkan. Bagi seseorang yang tidak mengalami kesulitan maka berpuasa lebih utama, dan barang siapa yang mengalami kesulitan untuk berpuasa dalam perjalanan maka berbuka (tidak berpuasa) lebih utama, apalagi jama’ah umrah membutuhkan kekuatan (fisik) dan fitalitas sehingga mampu menunaikan umrah dengan sempurna dengan doa dan kekhusu’annya.

Sebagian jama’ah umrah telah melakukan kesalahan karena mereka mempersulit diri sendiri dengan memaksakan diri untuk tetap berpuasa padahal mereka mengalami kesulitan sehingga akan mempengaruhi pelaksanaan umrah mereka. Telah diriwayatkan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau tidak berpuasa pada hari Arafah.

Asy Syaukani berkata:

“Berpuasa pada hari Arafah hukumnya sunnah bagi siapa saja, dan makruh bagi siapa saja yang sedang berada di Arafah sebagai jama’ah haji. Hikmahnya adalah karena bisa jadi akan menjadikannya lemah untuk berdoa dan berdzikir pada hari Arafah dan menunaikan manasik haji lainnya”.

Telah diriwayatkan dalam Shahihain bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang untuk berpuasa pada hari Jum’at saja”.

An Nawawi berkata:

“Makruh hukumnya berpuasa pada hari jum’at saja, kecuali bertepatan dengan kebiasaan berpuasanya. Jika dia melanjutkannya dengan hari sebelum dan sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan berpuasanya, seperti bernadzar untuk berpuasa pada hari kesembuhannya totalnya, dan ternyata bertepatan pada hari jum’at maka hukumnya tidak makruh”.

Para ulama berkata:

“Hikmah dari larangan tersebut adalah karena hari jum’at adalah hari berdoa, berdzikir dan beribadah; dari mulai mandi, bersegera menuju masjid untuk menunaikan shalat, menunggu tibanya waktu shalat (di masjid), mendengarkan khutbah, memperbanyak dzikir setelah selesai shalat, berdasarkan firman Alloh –Ta’ala-:

فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلاةُ فَانْتَشَرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا

“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al Jumu’ah: 10)

Dan ibadah-ibadah lainnya pada hari tersebut, maka disunnahkan tidak berpuasa pada hari tersebut, maka akan banyak membantu untuk melaksanakan ibadah-ibadah tersebut dengan sungguh-sungguh, penuh lapang dada, dan menikmatinya, jauh dari rasa bosan dan jenuh. Hal itu serupa dengan jama’ah haji pada hari Arafah di Arafah, maka yang disunnahkan baginya adalah tidak berpuasa, sebagaimana hikmah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka jika dikatakan: “Jika demikian, maka larangan dan kemakruhan untuk berpuasa sebelum dan sesudahnya tetap berlaku !?”, maka jawabannya adalah: “Maka dengan berpuasa sebelum dan sesudahnya akan menyebabkan kelesuan dan kurang semangat untuk beberapa kewajiban pada hari jum’at karena puasanya. Maka inilah yang menjadi sandaran pada hikmah larangan untuk berpuasa pada hari jum’at saja”.

Syeikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya dalam Fatawa Arkan Islam (464) tentang musafir jika telah sampai di Makkah dalam keadaan berpuasa, maka apakah perlu membatalkan puasanya agar menjadi lebih kuat untuk melaksanakan umrah ?

Beliau menjawab:

“Kami berpendapat: Sesungguhnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memasuki Makkah pada tanggal 20 Ramadhan pada tahun pembebasan kota Makkah, dan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada saat itu tidak berpuasa…

Dan telah diriwayatkan dalam Shohih Al Bukhori bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga tidak berpuasa pada hari-hari yang tersisa dari bulan tersebut; karena beliau sebagai musafir, maka perjalan seorang musafir untuk berumroh tidak terputus dengan sampainya di Makkah, dan juga tidak diharuskan menahan dari makan jika sampai dalam kondisi tidak berpuasa. Terkadang sebagian orang meneruskan puasanya meskipun di dalam perjalanan; karena melihat bahwa perjalanan pada era sekarang ini tidak menyulitkan umat, maka mereka tetap melanjutkan puasanya, kemudian sesampainya di Makkah baru merasakan capek, lalu mereka berkata pada diri mereka sendiri: “Apakah saya melanjutkan puasa saya atau menunda umroh saya sampai setelah hari raya atau saya membatalkan puasa saya agar kuat melaksanakan umroh sesaat setelah saya sampai di Makkah ?”

Maka pada kondisi seperti itu kami berpendapat:

“Yang lebih utama adalah anda membatalkan puasa anda agar bisa menunaikan umroh anda sesampainya anda di Makkah, anda pun dalam keadaan fit; karena termasuk sunnah bagi siapa saja yang memasuki Makkah untuk melaksanakan manasik agar bersegera untuk menyelesaikannya; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- jika telah memasuki Makkah untuk menunaikan manasik maka beliau langsung menuju Masjid, bahkan beliau memberhentikan kendaraannya di Masjid, lalu beliau masuk untuk menunaikan manasiknya yang telah dikenakannya. Maka anda wahai jama’ah umroh… anda membatalkan puasa anda untuk menyelesaikan umroh anda dengan giat pada siang hari akan lebih utama dari pada anda tetap berpuasa, kemudian jika anda tidak berpuasa pada malam hari anda mengqadha’ umrah anda. Telah diriwayatkan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau berpuasa pada saat berada dalam perjalanan fathu Makkah, kemudian ada banyak orang yang menghadap beliau dan berkata: “Wahai Rasulullah, banyak orang-orang yang merasa kesulitan untuk berpuasa dan mereka menunggu apa yang akan anda lakukan”, hal tersebut terjadi setelah shalat ashar, maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- minta diambilkan air dan meminumnya. Semua orang melihat beliau, jadi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah membatalkan puasanya dalam perjalanan, bahkan beliau membatalakannya pada sore hari, semua itu untuk menjelaskan kepada umat bahwa yang demikian itu boleh dilakukan. Sebagian orang memaksakan diri untuk berpuasa dalam perjalanan yang memberatkan, maka tidak diragukan lagi bahwa yang demikian itu menyelisihi sunnah dan sesuai dengan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

( ليس من البر الصيام في السفر)

“Bukan termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan”.

Maka jika puasa dalam perjalanan anda akan mempengaruhi pelaksaksanaan umroh anda, maka yang lebih utama bagi anda untuk membatalkan puasa anda dan menggantinya pada hari lain.

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam