Alhamdulillah.
Atirah adalah sembelihan yang disembelih orang jahiliyah di bulan Rajab. Mereka menjadikan hal itu sebagai sunah (kebiasaan) seperti sembelihan hewan kurban di hari raya idul Adha.
Yang benar diantara pendapat para ulama seperti yang akan dijelaskan bahwa hadits-hadits yang memerintahkan dan memberikan keringanan untuk melakukannya itu terjadi pada masa permulaan islam kemudian dilarang oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam dikemudian hari.
Para ulama berbeda pendapat terkait dengan hukumnya menjadi beberapa pendapat:
Pendapat pertama: Perbuatan ini termasuk sunah yang dianjurkan. Ini pendapat Imam Syafi’I rahimahullah. Beliau berdalil akan hal itu dengan beberapa dalil diantaranya:
1.Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, (6674) dan Nasa’i, (4225) dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya,
Nabi sallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang ‘Itroh, maka beliau menjawab,
الْعَتِيرَةُ حَقٌّ ( حسنه الألباني في صحيح الجامع، رقم 4122)
“Al-atirah itu benar.” Dinyatakan hasan oleh Albani di Shahih Al-Jami’, (4122).
2.Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud, (2788) Tirmizi, (1518) dari Mihnaf bin Sulaim berkata:
“Kami berdiri bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam di Arafah, dan saya mendengar beliau bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ وَعَتِيرَةٌ . هَلْ تَدْرُونَ مَا الْعَتِيرَةُ ؟ هِيَ الَّتِي تُسَمُّونَهَا الرَّجَبِيَّةَ (حسنه الألباني في صحيح أبي داود)
“Wahai manusia, dianjurkan atas setiap penduduk rumah setiap tahunnya kurban dan atirah. Apakah kalian mengetahui apa itu atirah? Atirah ialah yang kamu semua namakan dengan Rajabiyah (sembelihan dibulan rajab, pen).” (Dinyatakan hasan oleh Albani di Shahih Abi Dawud)
3.Hadits yang diriwayatkan Nasa’i, no. 4226 dari Harits bin Amr,
أَنَّ رَجُلاً مِنْ النَّاسِ قال : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، الْعَتَائِرُ ؟ قَالَ : مَنْ شَاءَ عَتَرَ ، وَمَنْ شَاءَ لَمْ يَعْتِرْ( ضعفه الألباني في ضعيف النسائي)
“Ada seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah apa hukumnya atiroh? Nabi bersabda, “Siapa yang mau silakan beratirah dan siapa yang tidak mau silakan tidak melakukan atirah.” (Dinyatakan lemah oleh Albany dalam Dha’if Nasa’i)
Silahkan melihat “Al-Majmu”, (8/445, 446).
Pendapat kedua: Atirah tidak dianjurkan dan tidak dimakruhkan. Pendapat ini dikatakan oleh sebagian Syafiyyah. Sebagaimana diceritakan oleh Nawawi dari mereka dalam “Al-Majmu”, (8/445).
Pendapat ketiga: Hukum atirah adalah makruh. Berdasarkan larangan Nabi sallallahu alaihi wa sallam dan sebagian ulama mengatakan perbuatan ini hukumnya haram. Mereka mengatakan bahwa hadits-hadits yang berisi tentang perintah untuk mengerjakannya itu di masa permulaan islam, Kemudian dihapus/ diganti dengan larangan Nabi sallallahu alaihi wa sallam dikemudian hari. Imam Nawawi rahimahullah dalam “Syarh Muslim”, (13/137) menukilan dari Qodi Iyad perkataannya, “Perintah atirah dihapus adalah pendapat mayoritas para ulama”.
Mereka berdalil akan pengharamannya :
1.Hadits yang diriwatkan Bukhori, (5474) dan Muslim, (1976) dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda:
لا فَرَعَ وَلا عَتِيرَة
“Tidak ada (dalam syariat islam, pen) fara’ dan tidak ada atirah.”
Al-Fara’ adalah anak unta yang pertama lahir dimana mereka menyembelihnya untuk berhalanya.
2.Atiroh termasuk kebiasaan orang jahiliyah, dan tidak diperbolehkan menyerupai mereka dalam beribadah berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
من تشبه بقوم فهو منهم (رواه أبو داود، رقم 4031 وصححه الألباني في "إرواء الغليل"، رقم 1269)
“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongannya.” HR. Abu Dawud, (4031) dinyatakan shahih oleh Albany di “Irwaul Golil”, (1269).
3.Ibnu Qoyim rahimahullah mengatakan -setelah menyebutkan sebagian hadits yang menunjukkan disyariatkannya atirah-, “Ibnu Munzir mengatakan –setelah menyebutkan sebagian hadits tentang atirah – dahulu bangsa arab waktu jahiliyah melakukan hal itu. Dan dilakukan oleh sebagian umat Islam. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkannya kemudian melarang keduanya. Seraya bersabda:
لا فَرَعَ وَلا عَتِيرَة
“Tidak ada fara’ dan tidak ada atirah.”
Maka orang-orang berhenti melakukan keduanya setelah mereka dilarang oleh nabi. Dan telah diketahui bersama bahwa tidaklah ada larangan terhadap sesuatu kecuali perbuatan itu pernah dilakukan sebelumnya. Dan kami tidak mengetahui seorang pun dari ahli ilmu mengatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dahulu pernah melarang kemudian mengizinkan keduanya. Dalil bahwa perbuatan dahulu pernah dilakukan sebelum ada larangan, ungkapan beliau dalam hadits Nubaisyah,
إِنَّا كُنَّا نَعْتِر عَتِيرَة فِي الْجَاهِلِيَّة , وَإِنَّا كُنَّا نُفْرِع فَرَعًا فِي الْجَاهِلِيَّة
“Sesungguhnya kita mengadakan atirah waktu jahiliyah dan dahulu kami mengadakan fara waktu jahiliyah.”
Dan adanya ijma’ ( kesepakatan, pen) mayoritas ulama yang tidak melakukan hal itu menunjukkan bahwa mereka berhenti melakukan keduanya disertai ada ketetapan larangan hal itu sebagaimana yang telah kami jelaskan.”
Syekh Muhammad bin Ibrohim rahimahullah menegaskan dalam ‘Fatwanya, (6/165) tentang pengharaman atiroh. Seraya mengatakan, sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam :
لا فَرَعَ وَلا عَتِيرَة
“Tidak ada fara’ dan tidak ada atirah.”
Sebagaimana yang saya fahami sekarang bahwa hal itu lebih dekat pada pengharaman.
Dan larangan dalam agama menunjukkan kebatilan, seperti sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam :
لا عدوى ولا طيرة
“Tidak ada adwa (penyakit menular) dan tidak ada tiyarah (mengundi nasib dengan perilaku burung, pen)”.
Dan tidakkah sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam, “Tidak ada fara’ dan tidak ada atirah.” menunjukkan kebatilan juga?
Apalagi disertai dengan dalil “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kelompok mereka” maka dilarang perbuatan menyerupai orang-orang jahiliyah.
Kemudian ditambah lagi ini termasuk bab ibadah, sementara ibadah itu tauqifi (paten) meskipun Nabi sallallahu alaihi wa sallam belum melarangnya, maka hukum asalnya adalah terlarang. Karena semua urusan jahiliyah itu terlarang dan tidak diperlukan penegasan larangan pada setiap permasalahannya.
Sebagian ulama dengan terang-terangan memakruhkannya. Dan yang kami pahami itu adalah haram. Ini terkait dengan pengkhususan sembelihan anak pertama yang dilahirkan unta. Dan penyembelihan pada sepuluh pertama di bulan Rajab. Sementara apa yang dilakukan oleh orang jahiliyah untuk sesembahan mereka, maka itu termasuk syirik.”
Syekh Ibnu Utsaimin dalam “Syarh Mumti”, (7/325) mengatakan, “Sabda Rasul sallallahu alaihi wa sallam,
لا فَرَعَ وَلا عَتِيرَة
“Tidak ada fara’ dan tidak ada atirah.”
Dalam redaksi lain, “Tidak ada fara’ dan tidak ada atirah dalam Islam” pengkhususan hal itu dalam Islam mengisyaratkan ia termasuk perilaku jahiliyah. Oleh karena itu sebagian ulama memakruhkan atirah. Berbeda dengan far’ah karena ada dalam sunah karena atirah layak untuk dimakruhkan –yaitu sembelihan di awal bulan Rajab- apalagi kalau hal itu disembelih di awal Rajab dan dikatakan kepada orang-orang bahwa hukum hal ini adalah boleh, sementara jiwa manusia condong terhadap perilaku seperti ini maka bisa muncul anggapan bulan Rajab seperti bulan sembelihan Dzulhijjah sehingga orang banyak melakukan hal itu. Dan banyaknya manusia yang melakukannya akan membuat mereka beranggapan hal ini adalah salah satu bentuk syiar islam di dalam bab manasik dan tanpa ragu lagi hal ini adalah terlarang.
Yang kuat menurutku (syaikh,pen) adalah bahwa far’ah tidak mengapa karena ada dalam sunah. Sementara atirah minimal kondisinya adalah makruh.” .