Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Hukum Puasa Pada Hari-hari Tasyriq

Pertanyaan

Seseorang berpuasa pada tanggal 11 dan 12 Dzul Hijjah, maka bagaimanakah hukum puasanya ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Tanggal 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah adalah dinamakan hari Tasyriq.

Telah ditetapkan riwayatnya dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau melarang berpuasa pada hari tasyriq, dan tidak ada rukhshoh (keringanan) agar dibolehkan berpuasa pada hari-hari tersebut, kecuali haji tamattu’  dan qiran yang tidak mendapatkan hewan sembelihan haji.

Imam Muslim 1141 meriwayatkan dari Nubaisyah al Hudzali –radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلَّهِ    .(

“Hari-hari tasyriq adalah hari-hari (waktunya) makan dan minum dan berzikir kepada Allah”.

Imam Ahmad (16081) juga meriwayatkan dari Hamzah bin ‘Amr al Aslamy –radhiyallahu ‘anhu- bahwasanya ia pernah melihat seorang laki-laki menaiki unta mengikuti rombongan jama’ah haji di Mina, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ada di situ dan menyaksikan. Orang tersebut mengatakan: “Janganlah kalian berpuasa pada beberapa hari ini, karena ia adalah hari (untuk) makan dan minum”. (Dishahihkan al Baani dalam “Shahih al Jami’ 7355)

Imam Ahmad (1459) dan Abu Daud (2418) dari Abu Murrah, pembantu Ummu Hanik, bahwa ia bersama Abdullah bin ‘Amr menemui ayahnya ‘Amr bin Ash, seraya ia menyuguhkan kepada kami berdua makanan, dan berkata: “makanlah”. Abdullah bin ‘Amr menjawab: “Saya sedang berpuasa”. Amr berkata: “Makanlah, karena beberapa hari inilah yang Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyuruh kita semua untuk berbuka (tidak berpuasa) dan melarang berpuasa”. Malik berkata: “Hari-hari tersebut adalah hari tasyriq”. (Dishahihkan oleh al Baani dalam “shahih Abu Daud”)

Imam Ahmad (1459) meriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqqash –radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyuruhku agar menyeru pada waktu di Mina, yaitu; “Bahwa hari-hari di Mina adalah hari (waktunya) makan dan minum, maka tidak ada puasa di dalamnya”. Yang dimaksud adalah hari-hari tasyriq. (Peneliti “Musnad Imam Ahmad” berkata: hadits ini shahih li ghairihi)

Imam Bukhori (1998) meriwayatkan dari ‘Aisyah dan Ibnu Umar –radhiyallahu ‘anhuma- keduanya berkata: “Tidak ada rukhshoh (keringanan) pada hari-hari tasyriq untuk berpuasa, kecuali bagi yang tidak mendapatkan hady (sembelihan haji)”. Hadits ini dan beberapa hadits yang lain adalah larangan untuk berpuasa pada hari tasyriq.

Oleh karenanya, banyak di antara para ulama menyatakan bahwa tidak sah puasa sunnah seseorang pada hari tasyriq.

Sedangkan untuk puasa qadha puasa Ramadhan pada hari tasyriq sebagian ulama membolehkannya. Namun yang benar adalah tidak boleh.

Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata dalam “al Mughni” 3/51: “Tidak dihalalkan berpuasa sunnah pada hari tasyriq menurut kebanyakan para ulama, dan dari Ibnu Zubair bahwa ia berpuasa pada hari tasyriq. Diriwayatkan dengan riwayat serupa dari Ibnu Umar, Aswad bin Zaid dan Thalhah bahwa mereka tidak berpuasa hanya pada dua hari raya idul fitri dan idul adha saja. Namun nampaknya larangan Rasulullah tersebut belum sampai kepada mereka, kalau seandainya mereka sudah mendengarnya, mereka tidak akan menggantinya dengan yang lain”.

Adapun puasa wajib (pada hari tasyriq) terdapat dua riwayat: salah satunya tidak boleh, karena larangan berpuasa pada hari tersebut, dan serupa dengan dua hari raya.

Sedangkan riwayat kedua: boleh berpuasa wajib pada hari tasyriq, berdasarkan riwayat Ibnu Umar dan ‘Aisyah bahwa keduanya berkata: “Tidak ada keringanan pada hari tasyriq untuk boleh berpuasa kecuali bagi seseorang yang tidak mendapatkan hady (sembelihan haji)”. Yaitu; yang melaksanakan haji tamattu’. (HR. Bukhori, hadits shahih). Maka dikiaskan kepadanya semua puasa wajib.

Dan yang menjadi sandaran madzhab Hanabilah adalah tidak dibolehkan berpuasa qadha’ untuk Ramadhan. (Baca: Kasyful Qana: 2/342)

Adapun puasa orang yang melaksanakan haji tamattu’ dan qiran yang tidak mendapatkan hady (sembelihan haji), sudah dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah dan Ibnu Umar. Inilah madzhab Malikiyah, Hanabilah dan Syafi’I dalam madzhab lamanya.

Sedangkan madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah mengatakan tidak boleh berpuasa pada hari tasyriq.

(Baca: al Mausu’ah al Fiqhiyah: 7/323)

Yang rajih adalah pendapat pertama, yaitu; boleh berpuasa (pada hari tasyriq) bagi seseorang yang tidak mendapatkan hewan sembelihan haji.

Imam Nawawi –rahimahullah- dalam “al Majmu’ “, 6/486:

“Ketahuilah bahwa yang benar menurut rekan-rekan kami adalah pendapat madzhab yang baru, yaitu; tidak boleh berpuasa apapun pada hari tasyriq, tidak juga bagi pelaku haji tamattu’ atau yang lainnya. Dan pendapat yang paling kuat adalah pelaku haji tamattu’ boleh berpuasa pada hari tasyriq; karena hadits yang membolehkan pelaku haji tamattu’ berpuasa ada hari tersebut adalah shahih sebagaimana yang kami jelaskan. Hadits tersebut sangat jelas dan belum ada dalil lain yang merubahnya”.

Kesimpulan dari jawaban kami adalah:

Tidak sah puasa seseorang pada hari tasyriq, baik puasa sunnah maupun wajib, kecuali pelaku haji tamattu’ dan qiran jika tidak mendapatkan hewan sembelihan haji.

Syeikh Ibnu Baaz –rahimahullah- berkata: “Tidak boleh berpuasa pada tanggal 13 Dzul Hijjah, baik puasa sunnah maupun wajib, karena hari tersebut adalah (waktunya) makan dan minum dan berzikir kepada Allah, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang berpuasa ada hari tersebut dan tidak memberikan keringanan kecuali bagi mereka yang tidak mendapatkan hewan sembelihan haji”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz: 15/381)

Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:

“Hari-hari Tasyriq adalah tiga hari setelah hari raya, dinamakan hari tasyriq karena banyak orang yang menjemur daging agar menjadi kering, hingga tidak menimbulkan bau tak sedap ketika hendak disimpan. Tiga hari ini yang Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebutkan dalam sabdanya:

( أيام التشريق أيام أكل وشرب وذكر لله عز وجل )

“Hari-hari tasyriq adalah (waktunya) makan dan minum dan berdzikir kepada Allah”.

Jadi, jika anjuran utama syari’at adalah makan, minum dan berdzikir, maka berarti bukan waktu untuk berpuasa, oleh karenanya Ibnu Umar dan ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anhum- keduanya berrkata:

( لم يرخص في أيام التشريق أن يصمن إلا لمن لم يجد الهدي )

“Tidak ada keringanan pada hari-hari tasyriq untuk berpuasa kecuali bagi mereka yang tidak mendapatkan hewan sembelihan haji”.

Yaitu; bagi mereka yang melaksanakan haji tamattu’ dan qiran, karena mereka berpuasa tiga hari selama ibadah haji berlangsung dan tujuh hari setelah kembali ke tanah air mereka. Maka dibolehkan bagi jama’ah haji tamattu’ dan qiran untuk berpuasa tiga hari pada hari tasyriq hingga tidak sampai terlambat dan musim haji sudah habis. Selain mereka tidak boleh berpuasa, bahkan jika seseorang yang diwajibkan berpuasa dua bulan berturut-turut, ketika bertepatan pada hari raya dan hari tasyriq ia harus berbuka, lalu melanjutkan puasanya setelahnya”.  (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 20/419)

Oleh karenanya, berdasarkan uraian di atas, bagi siapa saja yang berpuasa pada semua hari tsyriq atau sebagiannya, padahal ia tidak sedang berhaji tamattu’ atau qiran yang sedang tidak mendapatkan hewan sembelihan haji, maka ia harus segera beristighfar kepada Allah –Ta’ala-; karena ia telah melanggar larangan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, meskipun puasanya puasa qadha Ramadhan tidak sah dan harus mengqadha’ lagi di hari lain.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam