Ahad 23 Jumadil Ula 1446 - 24 November 2024
Indonesian

Apakah Diperbolehkan Orang Yang Shalat Menjaharkan (Mengeraskan Bacaan) Pada Shalat-shalat dan Raka’at Berikut Ini

Pertanyaan

Apakah shalat-shalat di bawah ini dilaksanakan dengan jahr (suara keras) atau dengan sir (suara lirih), shalat sunnah maghrib, raka’at ketiga dari shalat witir yang dilaksanakan seperti shalat maghrib, qiyamullail, shalat sunnah fajar, dan shalat dhuha ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Para ulama –rahimahumullah- telah menyebutkan bahwa yang disyari’atkan adalah seseorang membaca dengan suara lirih pada shalat sunnah pada siang hari, dan boleh memilih antara suara keras atau suara lirih pada shalat sunnah pada malam hari, hanya saja dilaksanakan dengan suara keras lebih utama.

Telah disebutkan di dalam Kasyfu Al Qana’ (1/441) bahwa yang dimaksud dengan siang itu adalah terbitnya matahari bukan terbitnya fajar, maka shalat sunnah fajar termasuk shalat pada malam hari.

Kami telah menukil pendapat para ulama dalam masalah ini pada jawaban soal nomor: 91325

Atas dasar inilah maka, orang yang shalat mengucapkan dengan suara lirih pada shalat dhuha; karena shalat dhuha termasuk shalat pada siang hari.

Adapun shalat sunnah maghrib, raka’at ketiga dari shalat witir, qiyamullail, shalat sunnah fajar, maka seseorang boleh memilih antara melaksanakannya dengan suara keras atau dengan suara lirih, dengan suara keras lebih utama, hanya saja dengan suara lirih lebih khusu’ baginya, atau ada orang lain yang merasa terganggu dengan suara kerasnya, seperti orang yang sedang tidur, orang yang sedang sakit dan lain sebagainya.

Syiekh Abdul Aziz bin Baaz –rahimahullah- berkata:

“Yang disunnahkan pada shalat malam adalah bacaan dengan suara keras, baik ia dalam keadaan shalat sendirian maupun ada makmum yang mengikutinya, jika istri atau wanita lain yang menjadi makmumnya maka mereka posisinya di belakang (imam) meskipun sendirian, adapun jika ia shalat sendirian maka ia boleh memilih antara melaksanakannya dengan suara keras atau dengan suara lirih, yang disyari’atkan baginya agar mengerjakan apa yang lebih sesuai dengan hatinya, A’isyah –radhiyallahu ‘anha- pernah ditanya dalam masalah ini dan beliau menjawab:

 كان النبي صلى الله عليه وسلم في صلاة الليل ربما جهر وربما أسر 

“Bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada saat shalat malam, terkadang membaca dengan keras dan terkadang membaca dengan lirih”.

Dan telah ditetapkan riwayatnya beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari hadits Hidzaifah –radhiyallahu ‘anhu- dan yang lainnya:

 أنه صلى الله عليه وسلم كان يجهر بالقراءة في صلاة الليل ويقف عند آية الرحمة فيسأل وعند آية الوعيد فيتعوذ وعند آية التسبيح فيسبح 

“Bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah membaca dengan keras pada shalat malam dan berhenti pada ayat rahmat, seraya beliau berdoa dan (berhenti) pada ayat ancaman, seraya beliau berlindung, dan (berhenti) pada ayat tasbih seraya beliau bertasbih”.

Maksudnya pada saat menyebutkan ayat-ayat yang terdapat Nama-nama Allah dan sifat-Nya maka beliau bertasbih kepada Allah –Ta’ala-, dan Allah –Ta’ala- telah berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

الأحزاب/21

 “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. (QS. Al Ahzab: 21)

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 صلوا كما رأيتموني أصلي

أخرجه البخاري في صحيحه 

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. (HR. Bukhari di dalam Shahihnya)

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa mengeraskan bacaan pada shalat malam lebih utama; karena hal itu lebih khusu’ bagi hati dan lebih bermanfaat bagi mereka yang menyimaknya kecuali jika di sekelilingnya ada orang-orang sakit, orang tidur, orang shalat, atau orang yang membaca Al Qur’an, maka lebih utama untuk melirihkan bacaannya sehingga tidak sampai mengganggu orang-orang yang shalat, mereka yang sedang membaca Al Qur’an, membangunkan orang yang tidur atau sampai mengganggu orang sakit.

Dan jika melirihkan bacaan pada sebagian shalat malam pada saat sendirian maka tidak masalah berdasarkan hadits ‘Aisyah di atas dan karena hal itu bisa jadi akan lebih khusu’ bagi hatinya dan lebih sesuai baginya pada sebagian waktu.

(Majmu’ Fatawa Syeikh Bin Baaz: 11/124-125)

Beliau –rahimahullah- juga berkata:

“Jika seseorang sedang shalat sendirian, maka disyari’atkan baginya untuk melakukan yang lebih sesuai dengan hatinya baik dengan suara keras atau dengan suara lirih, jika pada shalat sunnah pada malam hari dan tidak ada orang yang merasa terganggu dengannya, namun jika ada orang disebelahnya yang merasa terganggu, seperti; mereka yang sedang shalat, yang sedang tilawah, yang sedang tidur, maka disyari’atkan baginya untuk melirihkan suaranya.

Adapun pada shalat-shalat pada siang hari, seperti; shalat dhuha, sunnah rawatib, shalat zhuhur dan ashar, maka sunnahnya adalah dengan bacaan lirih.

(Majmu’ Fatawa Syeikh bin Baaz: 11/126-127)

Kedua:

Adapun ucapan penanya: “dan raka’at ketiga pada shalat witir pada saat dilaksanakan seperti shalat maghrib”, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang untuk mengerjakan shalat witir seperti shalat maghrib, sabda beliau adalah:

 لا توتروا بثلاث ، تشبهوا المغرب

رواه الحاكم ( 1/304 ) والبيهقي ( 3 / 31 ) والدار قطني ( ص 172 ) ، وقال الحافظ ابن حجر في " فتح الباري " ( 4 / 301 ) : إسناده على شرط الشيخين .

“Janganlah kalian melaksakan shalat witir dengan tiga (raka’at) yang menyerupai shalat maghrib”. (HR. Hakim (1/304), Baihaqi: (3/31), Daru Quthni: (172) dan Al Hafidz Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Baari: (4/301) “Sanadnya sesuai dengan syarat Bukhori & Muslim”)

Telah ditetapkan riwayat dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau melaksanakan shalat witir dengan dua cara:

Cara Pertama:

Shalat dengan tiga raka’at dengan dua tasyahhud dan dua salam, jadi ia shalat dua raka’at lalu salam, kemudian shalat lagi satu raka’at lalu salam.

Dari Ibnu Umar –radhiyallahu ‘anhuma- berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفصل بين الشفع والوتر بتسليم يسمعناه  

رواه ابن حبان ( 2435 ) وقال الحافظ ابن حجر في " فتح الباري " ( 2 / 482 ) : وإسناده قوي .

“Bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memisah antara yang genap dengan yang ganjil dengan salam yang kami semua mendengarnya”. (HR. Ibnu Hibban (2435) dan Al Hafidz Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Baari (2/482)0 dan sanadnya adalah kuat)

Cara Kedua:

Shalat dengan tiga raka’at dengan satu tasyahhud dan dua salam.

Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anah- berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يوتر بثلاث لا يقعد إلا في آخرهن 

رواه البيهقي ( 4581 ) . والحديث : صححه الحاكم ووافقه الذهبي " المستدرك " ( 1 / 304 ) ، وصححه النووي في " المجموع " ( 4 / 7(

“Bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengerjakan shalat witir sebanyak tiga raka’at, beliau tidak duduk kecuali pada akhir raka’at”. (HR. Baihaqi: 4581 dan hadits ini telah ditashih oleh Al Hakim dan disetujui oleh Adz Dzahabi, Al Mustadrak: 1/304 dan telah ditashih oleh Nawawi di dalam Al Majmu’: 4/7)

Syeikh Albani –rahimahullah- berkata:

“Adapun shalat lima dan tiga (raka’at) dengan duduk setiap dua raka’at tanpa salam, kami tidak menemukan ada riwayat yang tetap dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hukum asalnya adalah boleh akan tetapi karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang untuk mengerjakan witir dengan tiga raka’at dan menjelaskan alasannya dengan sabdanya:

 ولا تشبهوا بصلاة المغرب 

“Janganlah kalian menyerupai dengan shalat maghrib”.

Maka dengan demikian diwajibkan bagi orang yang melaksanakan witir tiga raka’at agar bisa keluar dari penyerupaan ini, maka dengan salah satu cara berikut ini:

  1. Mengucapkan salam pada raka’at genap dan ganjil, inilah yang lebih kuat dan lebih utama.
  2. Tidak duduk di antara raka’at genap dan witir, Wallahu Ta’ala A’lam

(Qiyam Ramadhan: 22)

Untuk penjelasan lebih lanjut baca jawaban soal nomor: 46544

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam