Senin 24 Jumadil Ula 1446 - 25 November 2024
Indonesian

Terkena Penyakit Jiwa, Bagaimana (cara) Berpuasa dan Shalat?

Pertanyaan

Putriku mengalami gangguan kejiwaan kronis. Pada bulan Ramadan lalu dia tidak berpuasa karena kambuh dan kesadarannya hilang. Saya sangat berat menghadapinya penderitaannya selama berbulan-bulan. Apa yang harus saya lakukan?.
Pertanyaan kedua: Putriku ini kalau tidur tidak dapat dibangunkan untuk shalat apa saja, sampai dia bangun sendiri. Karena kesulitan tersebut, apakah ibunya terkena dosa? Anak wanitaku berumur 23 tahun dan mengalami sakit sudah 4 tahun, dan kambuh dua kali dalam setahun. Mohon doa anda agar dia sembuh.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama: Kami memohon kepada Allah agar menyembuhkan putri anda, dan memperbaiki kondisinya.

Kedua: Kalau penyakitnya parah sampai hilang kesadarannya selama bulan Ramadan. Maka dia tidak diharuskan mengqada dan membayarat kaffarah. Karena waktu itu dia tidak termasuk terkena beban berpuasa. Sedangkan kalau kondisi sakitnya hanya sebatas stres, sedangkan kesadaraannya masih ada, dalam hal ini ada dua kondisi.

Kondisi pertama, jika sakitnya ada harapan sembuh menurut rekomendasi para dokter. Maka dia harus mengqada yang telah terlewat ketika penyakitnya telah hilang.

Kondisi kedua, penyakitnya tidak ada harapan sembuh. Maka dia tidak wajib berpuasa, cuma  diharuskan memberi makan untuk setiap hari yang tidak berpuasa kepada seorang miskin.

Syekh Ibnu Baz rahimahullah pernah sebagai berikut, 'Ada orang sakit telah mendapatkan sebagian bulan Ramadan kemudian mengalami hilang kesadaran dan terus berlanjut. Apakah anak-anaknya mengqada untuknya?' Beliau menjawab: “Dia tidak perlu mengqada kalau mengalami hilang kesadaran atau yang dikenal dengan pingsan. Kalau kesadarannya kembali, dia tidak perlu mengqada. Hal ini seperti kondisi orang gila atau idiot, tidak wajib qada. Melainkan kalau pingsannya sebentar, misalnya sehari, dua hari atau paling lama tiga hari. Maka tidak mengapa diqada sebagai kehati-hatian. Adapun kalau waktunya lama, maka tidak wajib mengqada karena disamakan seperti orang idiot. Kalau Allah kembalikan akalnya, maka dia mulai lagi dengan amalan (yang baru).' (Majmu Fatawa Syekh Ibn Baaz)

Ketiga: Jika putri anda tidak bangun untuk menunaikan shalat pada waktunya, dan anda tidak dapat membangunkannya. Maka tidak mengapa bagi anda Insya Allah Ta’ala. Jika sudah bangun, dia harus mengqada shalat-shalat yang terlewatkan. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ نَسِيَ صَلاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا (رواه مسلم، رقم 684)

“Barangsiapa lupa (menunaikan) shalat atau tertidur, maka tebusannya adalah menunaikan shalat  ketika mengingatnya.” (HR. Muslim, no. 684)

Kalau pelaksanaan shalat setiap waktu membuatnya berat, maka dia dibolehkan menjama antara Zuhur dan Ashar, dan antara Magrib dan Isya, baik taqdim (memajukan waktu akhir di waktu yang lebih awal) maupun ta’khir (mengakhirkan waktu awal ke waktu yang akhir), mana yang mudah baginya.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyan rahimahullah berkata: “Qashar (memendekkan shalat) sebabnya adalah khusus safar. Tidak diperkenankan selain safar. Sedangkan jamak (menggabungkan dua shalat menjadi satu) sebabnya adalah keperluan dan uzur. Kalau dia butuh, maka dia dapat menjama dalam safar, baik safar sebentar ataupun lama. Begitu juga dibolehkan menjamak jika ada hujan dan semisalnya. Dan sebab-sebab lainnya. Karena tujuan jamak adalah menghilangkan kesulitan pada umat.” (Majmu’ Fatawa, 22/293)

Wallallahu ‘alam .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam