Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Siapakah Kerabat Yang Wajib Disambung?

Pertanyaan

Allah telah mewasiatkan kepada Rasul-Nya nan mulia sallallahu alaihi wa sallam untuk menyambung kerabat. Pertanyaanku adalah siapakah kerabat yang harus disambung? Apakah dari jalur ayah atau ibu ataukah istri?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Para ulama berbeda pendapat tentang definisi kerabat yang harus disambungnya menjadi tiga pendapat:

Pendapat pertama: Kerabat yang dimaksud adalah kerabat mahram.

Pendapat kedua; Kerabat yang mempunyai hak waris.

Pendapat ketiga: Kerabat dari nasab (keturunan) baik mereka mendapatkan warisan atau tidak.

Yang terkuat dari pendapat ahli ilmu adalah pendapat ketiga yaitu kerabat adalah kerabat dari nasab (keturunan), bukan dari sepersusuan, dari jalur ayah dan ibu.

Adapun kerabat istri bukan termasuk kerabat suami. Begitu juga kerabat suami bukan termasuk kerabat istri.

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Siapa yang dimaksud sanak saudara dan kerabat, karena sebagian orang mengatakan bahwa kerabat istri bukan termasuk sanak saudara?”

Maka beliau menjawab, “Sanak saudara adalah kerabat dari nasab (keturunan) dari jalur ibu dan ayah anda. mereka itu yang dimaksudkan oleh Allah Subahanahu wata’ala dalam fimran-Nya di surat Al-Anfal dan Al-Ahzab:

 وأولوا الأرحام بعضهم أولى ببعض في كتاب الله

سورة الأنفال/75 والأحزاب/6

“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.” (QS. Al-Anfal: 75 dan Al-Ahzab: 6)

Yang paling dekat adalah ayah, ibu, kakek, anak-anak dan cucunya selagi ada jalur nasab, kemudian yang lebih dekat dan lebih dekat lagi dari saudara-saudara dan anak-anaknya. Paman dan bibi dari jalur ayah dengan anak-anaknya. Paman dan bibi dari jalur ibu dan anak-anaknya.

Terdapat hadits shahih dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda ketika ada orang yang bertanya, “Siapakah yang lebih saya dahulukan dalam berbakti wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi” Beliau menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, ”Kemudian siapa lagi?” Beliau bersabda, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau bersabda, “Ayahmu, kemudian yang lebih dekat dan yang lebih dekat.” (HR. Imam Muslim dalam shahihnya dan hadits-hadits tentang hal itu banyak)

Sementara kerabat istri, mereka bukan termasuk sanak saudara bagi suaminyaa kalau mereka bukan dari kerabatnya. Akan tetapi mereka menjadi sanak kerabat untuk anak-anaknya. Wabillahit taufiq. (Fatawa Islamiyah, 4/195).

Maka kerabat masing-masing dari suami istri bukan sanak saudara bagi pasangannya. Meskipun begitu, selayaknya berbuat baik kepada mereka karena hal itu termasuk berbuat baik di antara kedua pasangan suami istri. Dan termasuk salah satu sebab menambah kasih sayang dan kecintaan,

Kedua:

Silaturrahmi dapat diwujudkan dengan berbagai macam cara, di antaranya mengunjunginya, bersedekah, berbuat baik kepada mereka, mengunjungi yang sakit, memerintahkan mereka untuk melakukan kebaikan dan melarang dari kemunkaran dan yang lainnya.

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Silaturrahim dapat dilakukan dengan berbuat baik kepada kerabat sesuai kondisi yang menyambung dan yang disambung. Terkadang bisa dengan uang, terkadang dengan pelayanan, terkadang dengan berkunjung, memberikan salam dan selain dari itu.” (Syarh Muslim, 2/201).

Syekh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Bersilaturrahim dapat dilakukan dengan cara yang biasa dilakukan masyarakat. Karena hal itu tidak dijelaskan dalam Kitab (Qur’an) dan Sunnah baik dari jenis macam ataupun jenis serta ukurannya. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam tidak membatasi dengan suatu batasan. Oleh karena itu dikembalikan kepada kebiasan (urf) masyarakat. Apa yang telah menjadi kebiasaan, jika hal itu dianggap sebagai silaturrahim, maka itu adalah silaturrahim. Dan apa yang dikenal oleh masyarakat sebagai sikap memutus kekerabatan, maka juga termasuk memutus kekerabatan.” (Syarh Riyadus Shalihin, 5/215)

wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam