Rabu 6 Rabi'uts Tsani 1446 - 9 Oktober 2024
Indonesian

Apakah Lebih Utamanya Kita Mengatakan Dalam Salat Sayyidina Muhammad?

85116

Tanggal Tayang : 07-02-2018

Penampilan-penampilan : 11717

Pertanyaan

Mana yang lebih utama kita baca tasyahud dalam shalat
أشهد أن سيدنا محمداً رسول الله ، واللهم صل على سيدنا محمد
“Saya bersaksi bahwa tuan kami Muhammad itu adalah utusan Allah. Ya Allah berikan shalawat kepada tuan kami Muhammad.
Atau cukup kita mengatakan “Muhammad” saja tanpa kata “Sayyidina (tuan kami)?”

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Tidak diragukan bahwa sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Siyadah (Tuan) adalah sifat yang benar. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tuan kita, bahkan tuan manusia selurunya. Imam Muslim meriwayatkan, (2278) dari Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

( أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ )

“Saya adalah tuan anak Adam pada hari kiamat”.

Imam Tirmidzi juga meriwayatkan, (3615) dari Abu Said radhiallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا فَخْرَ ، وَبِيَدِي لِوَاءُ الْحَمْدِ وَلَا فَخْرَ ، وَمَا مِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ آدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلَّا تَحْتَ لِوَائِي ، وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الْأَرْضُ وَلَا فَخْرَ ) صححه الألباني في صحيح الترمذي

“Saya adalah tuan anak Adam pada hari kiamat dan tidak sombong. Di tangaku ada bendera sanjungan (Hamdu) dan tidak sombong. Tidak ada nabi waktu itu baik nabi Adam dan selainnya kecuali berada di bawah benderaku. Dan saya yang pertama kali dibangkitkan dari tanah dan tidak sombong.” Dinyatakan shohih oleh Albani di Shohih Tirmidzi.

Kedua:

Harus diketahui bahwa ibadah dibangun atas ittiba’ (mengikuti tuntunan Rasulullah, pen). Tidak boleh ditambah sedikitpun dalam ibadah dari apa yang telah disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ini termasuk salah satu tanda kecintaan seorang hamba kepada Allah Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman:

(قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ) آل عمران /31

“Katakanlah(wahai Muhammad): "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Ali Imron: 31

Dan ittiba’ adalah melakukan seperti apa yang dilakukan (Rasulullah) dan mengatakan seperti apa yang dikatakan. Meninggalkan apa yang ditinggalkan tidak menambah dan tidak mengurangi dari perilakunya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ) رواه البخاري (2697) ومسلم (1718)

“Siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak.” HR. Bukhori, (2697) dan Muslim, (1718).

Yang ada riwayatnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tasyahud dalam shalat adalah:

(وأشهد أن محمدا عبده ورسوله)(Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya). Dan yang ada dalam shalawat kepadanya adalah:

(اللهم صل على محمد ... اللهم بارك على محمد)(Ya Allah berikan shalawat kepada Nabi Muhammad … Ya Allah berikan keberkahan kepada Nabi Muhammad). Tidak ada sama sekali dari beliau mengajarkan kepada kita mengucapkan (Sayyidina /tuan kami). Maka jangan ditambah dari apa yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam kepada kita, dan hal itu yang  kita amalkan. Dan tidak diragukan lagi bahwa inilah yang paling utama. Dan bagaimana mungkin yang lebih utama itu menyalahi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mengatakan secara terang-terangan dalam setiap khutbah jum’at  di atas mimbar:

أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَخَيْرُ الْهدي هديُ مُحَمَّدٍ - صلى الله عليه وسلم (رواه مسلم 867)

Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baiknya perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” HR. Muslim, 867.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah pernah ditanya, “Apakah yang lebih utama mengatakan dalam shalawat kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam (Sayyidina) karena hal itu sifat bagi beliau atau tidak mengatakan itu karena tidak ada dalam hadits?

Maka beliau menjawab, “Mengikuti lafal yang ada itu lebih benar, jangan dikatakan, “Mungkin meninggalkan hal itu karena tawaduknya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam”. Sementara umatnya dianjurkan mengatakan hal itu setiap kali mengucapkan namanya. Oleh karena itu kita katakan “Kalau sekiranya hal itu (mengucapkan sayyidina, pen) benar, pasti telah ada contohnya dari para Shahabat dan para Tabiin. Sementara kami tidak mendapatkan sedikitpun asar dari salah seorang Shahabat dan tidak juga dari para Tabiin yang mengatakan seperti itu padahal telah banyak riwayat dari mereka akan hal itu. Kemudian alhafidz ibnu hajar menyebutkan beberapa asar dari sebagian shahabat dan tabiin dan Imam Syafi’I tidak ada di dalamnya lafal (Sayyidina). Kemudian beliau mengatakan, “Dan masalah ini terkenal dalam kitab fikih, dan yang menjadi dalil dalam hal ini bahwa setiap kali disebutkan masalah ini hampir semua ulama fikih tidak ada perkataan seorangpun diantara mereka tentang lafal (Sayyidina). Kalau sekiranya tambahan ini dianjurkan, tidak akan asing bagi mereka semua bahkan sampai melalaikannya. Semua kebaikan itu ada pada mengikuti nabi (ittiba’). Wallahu a’lam.

Sebagaimana yang dinukil  imam Albani  dari al hafidz ibnu hajar di kitabnya “Sifatus Sholat” hal. 153-155.

Para ulama lajnah Daimah ditanya, “Apakah diperbolekan kita mengatakan disela-sela sholawat kita kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (dalam tasyahud, pen) “Sayyidina Muhammad” tanpa ada riwayat dari beliau seperti dalam shalawat Ibrohimiyah atau lainnya?

Maka mereka menjawab, “Shalawat kepada Rasulullah sallahu alaihi wa sallam dalam tasyahud –sepengetahuan kami- tidak ada kata “Sayyidina”   اللهم صل على سيدنا محمد ..إلخ

“Ya Allah berikan shalawat kepada tuan kami Muhammad dan seterusnya”. Begitu juga sifat azan dan iqamah. Tidak dikatakan di dalamnya “Sayyidina” karena tidak ada dalam hadits shohih yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam kepada para shahabatnya tata cara shalawat kepadanya begitu pula tata cara azan serta iqamah. Karena ibadah itu tauqifiyah (paten) maka tidak ditambah di dalamnya selagi Allah tidak mensyariatkannya. Sementara mengucapkannya di selain dari itu (tasyahud) maka tidak mengapa. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: (Saya adalah penghulu anak Adam pada hari kiamat dan tidak sombong). ‘Fatawa Lajnah Daimah, (7/65) .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam