Selasa 11 Jumadil Ula 1446 - 12 November 2024
Indonesian

Membayar Zakat Fitrah Kepada Bibi

Pertanyaan

Seseorang memiliki bibi yang sudah bercerai dan tidak memiliki anak lelaki. Sang bibi hanya memiliki anak-anak perempuan yang sudah menikah, serta sepetak kecil tanah (500 m2). Ia tidak memiliki sumber penghasilan lainnya. Bolehkah orang itu membayar zakat fitrah kepada bibinya, ataukah ia harus membayarkannya kepada orang fakir lainnya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama: Para ulama berselisih pendapat dalam masalah penyaluran zakat fitrah. Jumhur ulama berpendapat bahwa zakat fitrah disalurkan kepada salah satu dari delapan golongan mustahiq zakat yang terdapat di dalam al-Quran. Sebagian lagi berpendapat bahwa zakat fitrah harus disalurkan kepada seluruhnya. Dan yang lain berpendapat bahwa zakat fitrah hanya disalurkan kepada kaum fakir dan miskin saja.

Di dalam al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah (23/344) disebutkan: Para fuqaha berbeda pendapat dalam masalah siapa saja yang berhak menerima zakat fitrah. Pendapat mereka terbagi menjadi tiga kelompok. Jumhur ulama berpendapat bahwa zakat fitrah boleh dibagi-bagi kepada delapan golongan mustahiq zakat mal (zakat harta) semuanya. Sementara ulama mazhab Maliki dan satu riwayat Ahmad yang dipilih oleh Ibnu Taymiah menyatakan bahwa zakat fitrah hanya khusus diberikan kepada kaum fakir dan miskin saja. Sedangkan ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa zakat fitrah wajib diberikan kepada delapan golongan mustahiq zakat atau siapa saja yang ada di antara mereka.

Syeikh al-Islam Ibnu Taymiah telah menyanggah pendapat pertama dan ketiga di atas. Di dalam Majmu’ al-Fatawa (25/73-78), ia menjelaskan bahwa zakat fitrah itu berhubungan dengan tubuh, bukan dengan harta. Oleh sebab itu, Allah swt. mewajibkan zakat fitrah dengan makanan saja, sebagaimana mewajibkan kaffarat dengan makanan. Atas dasar itu, pemberian zakat makanan ini tidak akan berpahala kecuali kepada orang yang berhak menerima penyaluran kaffarat. Sebab mereka adalah orang-orang yang menerima makanan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri. Dengan demikian, zakat fitrah tidak bisa diberikan kepada seorang mu`allaf atau budak yang ingin memerdekakan dirinya sendiri (riqab), tidak pula kepada yang lainnya. Pendapat ini lebih kuat dalilnya.

Dan pendapat yang paling lemah adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang diwajibkan atas setiap muslim adalah membayarkan zakatnya kepada 12 atau 18 golongan, 24 atau 32 golongan, atau 28 golongan dan lain sebagainya. Karena pendapat ini bertentangan dengan tradisi dan kebiasaan kaum muslimin di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khulafa`ur Rasyidin dan seluruh sahabat. Di masa mereka, tak seorang pun muslim yang menerapkan pendapat ini. Yang ada ketika itu ialah, seorang muslim membayarkan satu porsi zakat fitrahnya atau zakat fitrah keluarganya kepada seorang muslim saja. Sekiranya mereka melihat ada orang yang membagikan satu sha’ makanan kepada beberapa puluh mustahiq sehingga masing-masing akan mendapatkan secuil makanan, niscaya mereka akan mengingkarinya dan menganggapnya sebagai bid’ah dan tindakan yang buruk. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama sendiri menetapkan zakat fitrah yang diperintahkan itu sebesar satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum, atau setengah dan satu sha’ jelai, tergantung kebutuhan satu orang miskin. Beliau juga menganggap zakat fitrah ini sebagai makanan bagi mereka di hari Id. Bila seorang miskin hanya mendapatkan secuil makanan saja, tentu makanan itu tidaklah berguna baginya dan tidak tepat sasaran. Demikian pula seorang yang terlilit utang atau Ibnu Sabil, bila hanya mendapatkan secuil makanan, tentu keduanya tidak bisa memanfaatkannya. Dan syari’ah terbebas dari tindakan buruk seperti ini, dan yang tidak bisa diterima akal sehat serta tidak pernah dilakukan oleh para imam dan pendahulu umat ini.

Lagi pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama yang berbunyi “Sebagai makanan untuk kaum miskin” merupakan ungkapan yang jelas bahwa zakat fitrah adalah hak kaum miskin. Sebagaimana firman Allah swt. tentang kaffarat Dhihar, “Memberi makan enam puluh orang miskin”. Bila kaffarat saja tidak boleh disalurkan kepada delapan golongan mustahiq zakat, apalagi zakat fitrah.

Dengan demikian, pendapat yang paling kuat di antara tiga pendapat itu adalah yang menyatakan bahwa zakat fitrah hanya diberikan kepada kaum fakir dan miskin, tidak kepada golongan lainnya. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Utsaimin di dalam asy-Syarh al-Mumti’ (6/117).

Kedua: Zakat mal dan zakat fitrah, bila disalurkan kepada kerabat yang membutuhkan dan termasuk golongan mustahiq, hal itu lebih afdhal ketimbang kepada mustahiq lainnya. Sebab dengan begitu, zakat tersebut menjadi zakat sekaligus penyambung silaturahim. Tetapi syaratnya adalah, agar kerabat ini tidak termasuk orang yang dibiayai oleh muzakki.

Syeikh Utsaimin pernah pula ditanya tentang hukum membayar zakat fitrah kepada kerabat yang fakir. Maka jawab beliau, “Zakat mal dan zakat fitrah boleh dibayarkan kepada kerabat yang fakir, bahkan itu lebih afdhal ketimbang kepada orang lain. Sebab dengan demikian, ia menjadi zakat dan sekaligus penyambung silaturahmi. Akan tetapi syaratnya agar pembayaran zakat itu tidak bertujuan untuk menghemat hartanya, seperti bila kerabat fakir itu termasuk orang yang dibiayainya. Tidak boleh pula membayarkan zakat fitrahnya kepada kerabatnya yang kaya. Sebab bila demikian, berarti ia telah bertujuan menghemat hartanya dengan zakat itu. Tindakan ini tidak dibolehkan dan tidak dihalalkan. Adapun bila kerabat itu bukan termasuk orang yang dibiayainya, maka ia boleh membayar zakat fitrah kepadanya, bahkan tindakannya itu lebih afdhal ketimbang memberikan zakatnya kepada orang asing. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 صدقتك على القريب صدقة وصلة

‘Sedekahmu kepada kerabat adalah sedekah sekaligus penyambung silaturahim.’” (Majmu’ Fatawa Syeikh Ibni Utsaimin, 18/soal no: 301).

Kesimpulannya, bila bibi Anda seorang fakir, maka ia berhak menerima zakat fitrah dari Anda, meski ia memiliki 500 m2 tanah dan sebenarnya bisa menjual tanahnya itu untuk memenuhi kebutuhannya. Seorang muslim tidak boleh mengabaikan kerabatnya. Karena itu, sebelum Ramadhan usai, hendaknya ia memeriksa kerabatnya sambil membawa satu sha’ makanan. Bahkan, yang wajib bagi seluruh kaum muslim adalah memeriksa keadaan orang-orang fakir dan yang membutuhkan, dan bersegera memenuhi kebutuhan mereka, baik berupa makanan, harta maupun pakaian. Terlebih kepada orang-orang kaya, agar memeriksa keadaan kerabat mereka yang fakir.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam