Alhamdulillah.
Pertama:
Pendahuluan
Sesungguhnya derajat kenabian adalah derajat yang mulia, Allah –Ta’ala- telah memilih para Nabi-Nya dari sekalian alam semester sesuai dengan ilmu-Nya. Dan sayangnya, ada sebagian buku-buku israiliyyat dan sebagian kitab tafsir meruntuhkan derajat kemuliaan tersebut bagi para Nabi –shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim-, di antara contohnya adalah apa yang diriwayatkan oleh sebagian mereka bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mencintai Zainab binti Jasyh, dan beliau mengutarakannya kepada suaminya Zaid bin Haritsah dengan berkata:
أمسك عليك زوجك
“Tahanlah terus isterimu”. (QS. Al Ahzab: 37)
padahal beliau menyembunyikan rasa cintanya di hati beliau.
Pernyataan demikian tidak layak bagi derajat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- jika diriwayatkan dan dinisbahkan kepada beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Semua yang diriwayatkan oleh seorang ulama salaf dalam buku-buku tafsir yang serupa dengan riwayat di atas, maka hal itu tidak benar adanya. Ada juga orang yang tertipu dengan riwayat di atas dan menjadikannya sebagai penafsiran dari ayat-ayat yang berkaitan dalam masalah tersebut.
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata: “Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim menyebutkan ada beberapa atsar dari sebagian ulama salaf –radhiyallahu ‘anhum- kami lebih menyukai untuk memaafkannya, karena ketidakshahihannya, dan tidak meriwayatkannya”. (Tafsir Ibnu Katsir: 6/424)
Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik dan ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anhuma- yang menjelaskan beratnya ayat ini bagi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Dan termasuk pemahaman kedua sahabat –radhiyallahu ‘anhuma- tersebut bahwa keduanya mengabarkan kalau saja Nabi –shallalla hu ‘alaihi wa sallam- menyembunyikan sesuatu dari wahyu, maka beliau pasti menyembunyikan ayat ini.
Dari Anas berkata: Bahwa ketika Zaid bin Harits datang mengadu, maka menjadikan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
اتَّقِ اللَّهَ وَأَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ
“Bertaqwalah kepada Allah, Tahanlah terus isterimu”.
Anas berkata: “Kalau saja Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyembunyikan sesuatu maka beliau akan menyembunyikan yang satu ini. Maka Zainab merasa bangga dan mengutarakannya di hadapan istri-istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang lain, dengan mengatakan: “Anda semua dinikahkan oleh keluarga anda, sedangkan saya Allah –Ta’ala- (langsung) yang menikahkan dari atas tujuh lapis langit”. (HR. Bukhori: 6984).
Imam Muslim (177) meriwayatkan dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- seperti pernyataan Anas –radhiyallahu ‘anhu-.
Kedua:
Penyebutan ayat dan sebab turunnya adalah secara mujmal (global) yang artinya:
Allah berfirman:
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا (سورة الأحزاب: 37)
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni`mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni`mat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. (QS. al Ahzab: 37)
Syeikh Abdurrahman as Sa’di –rahimahullah- berkata:
“Sebab turunnya ayat di atas, bahwa Allah –Ta’ala- ingin mensyari’atkan syari’at umum kepada semua umat Islam, bahwa anak-anak angkat tidak sama hukumnya dengan anak sendiri dari semua sisi. Dan bahwa istri-istri anak angkat dibolehkan bagi bapak angkat dari suaminya untuk menikahinya”.
Ini adalah termasuk perkara yang sudah menjadi kebiasaan yang hampir tidak bisa sirna kecuali dengan kejadian besar, maka Allah menyampaikan syari’at ini secara redaksional dan realita dari Rasulullah. Dan jika Allah menghendaki sesuatu, maka Dia akan menurunkan pula sebab terjadinya. Zaid bin Haritsah tersebut dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengangkatnya sebagai anak, maka ia dipanggil dengan sebutan Zaid bin Muhammad, sampai turunnya ayat:
ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka”. (QS. al Ahzab: 5)
maka sebutannya berubah menjadi Zaid bin Haritsah.
Ia memiliki istri namanya Zainab binti Jahsy –anak bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur ayah beliau- dan pernah terlintas di hati beliau kalau saja Zaid menceraikannya maka beliau akan menikahinya, maka Allah telah mentakdirkan apa yang terjadi antara Zaid dan istrinya sesuai dengan ketentuan Allah, hingga Zaid bin Haritsah meminta izin kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk menceraikannya.
Allah berfirman:
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni`mat kepadanya…”. (QS. al Ahzab: 37)
yaitu; kenikmatan Islam.
وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ
“kamu (juga) telah memberi ni`mat kepadanya”.
yaitu; dengan memberikan kebebasan kepadanya, pada saat mendatangimu untuk untuk berkonsultasi untuk menceraikan istrinya. Dan kamu (Muhammad) menasehatinya dan menjelaskan kemaslahatan baginya, padahal terlintas di hatimu rasa mencintainya, dengan mengatakan:
أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ
“Tahanlah terus isterimu".
yaitu; Jangan menceraikannya, dan bersabarlah dengan apa yang telah terjadi di antara kalian berdua.
وَاتَّقِ اللَّهَ
“Dan bertaqwalah kepada Allah”.
-Subhanahu wa ta’ala- pada semua urusanmu secara umum, dan ada urusan istrimu secara khusus, karena ketaqwaan akan membawamu kepada kesabaran.
وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ
“sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya”.
Yang beliau sembunyikan adalah: kalau misalnya Zaid jadi menceraikannya maka Nabi akan menikahinya.
وَتَخْشَى النَّاسَ
“dan kamu takut kepada manusia”.
untuk tidak diketahui manusia apa yang tersiman di dalam hatimu.
وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ
“sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti”.
Karena rasa takut kepada Allah akan mendatangkan semua kebaikan, dan mencegah semua keburukan.
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَراً
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya)”.
yaitu; jiwanya sudah yakin (untuk menceraikannya), tidak lagi mencintainya, dan menceraikannya.
زَوَّجْنَاكَهَا
“Kami kawinkan kamu dengan dia”.
Sesungguhnya Kami (Allah) melakukan hal tersebut untuk manfaat yang besar, yaitu;
لِكَيْ لا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ
“supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka”.
Karena mereka melihat bahwa engkau menikahi istri Zaid bin Haritsah yang sebelumnya ia dinisbahkan nasabnya kepadamu.
(Tafsir as Sa’di: 665-666)
Adalah merupakan perbedaan yang sangat jelas antara apa yang disembunyikan oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hatinya dari rasa cintanya kepada Zainab, dan pada saat menikahinya. Oleh karenanta Zainab –radhiyallau ‘anha- merasa bangga, karena yang menikahkannya adalah Allah –Ta’ala- sebagaimana yang telah disebutkan dalam riwayat sebelumya dalam “Shahih Bukhori”. Hal ini menguatkan akan benarnya pendapat yang mengatakan bahwa yang beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sembunyikan adalah menikahi mantan istri anak angkatnya, dan khawatir akan menjadi bahan pembicaraan masyarakat.
Ketiga:
Rincian pendapat tentang ayat di atas:
Pertama:
Imam al Qurtubi –rahimahullah- berkata:
“Diriwayatkan dari Ali bin Husain bahwasanya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mendapatkan wahyu dari Allah bahwa Zaid akan menceraikan istrinya, dan beliau menikahinya karena Allah yang menikahkannya. Ketika Zaid mengadukan kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang akhlak Zainab bahwa ia tidak mentaatinya, dan mengabarkan kepada beliau bahwa ia akan menceraikannya, maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepadanya dengan penuh etika dan sebagai nasehat:
" اتق الله في قولك ، وأمسك عليك زوجك "
“Bertaqwalah kepada Allah dalam perkataanmu!, dan pertahankanlan istrimu”.
padahal beliau sebenarnya sudah mengetahui bahwa Zaid akan menceraikannya dan akan dinikahi oleh beliau. Hal inilah yang beliau simpan di dalam hatinya, dan tidak ingin menyuruhnya untuk menceraikannya; karena beliau mengetahui bahwa nantinya beliau akan menikahinya, dan beliau hawatir menjadi celah pembicaraan masyarakat bahwa beliau menikahi Zainab setelah diceraikan oleh Zaid, dan beliaunya yang menyuruhnya untuk bercerai. Maka Allah mengingatkan beliau akan hal tersebut dan merasa hawatir akan menjadi perbincangan orang dibolehkan oleh Allah dalam firman-Nya:
أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ
“Pertahankanlah terus isterimu".
padahal beliau mengetahui nantinya Zaid akan menceraikannya.
Namun Allah juga memberitahukan kepada beliau bahwa yang paling berhak untuk ditakuti adalah Allah –subhanahu wa ta’ala- dalam segala urusan.
Ulama kami –rahimahumullah- berkata: “Pendapat ini adalah pendapat yang terbaik di dalam mentafsiri ayat ini, inilah juga pendapat para peneliti dari ulama tafsir, juga para ulama yang ilmunya mendalam seperti az Zuhri, al Qadhi Abu Bakr bin ‘Ala’ al Qusyairi dan al Qadhi Abu Bakr bin Al ‘Arabi dan lain-lain.
Adapun maksud dari firman Allah:
وتخشى الناس
adalah untuk menutup penyebaran berita bohong dari orang-orang munafik, bahwa beliau melarang menikah dengan istri anak laki-lakinya, dan beliau menikah dengan (mantan) istri anak (angkatnya).
Sedangkan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-mencintai Zainab istrinya Zaid, dan bahkan sebagian orang memakai kata: عشق “merindukannya”, maka pendapat ini berasal dari orang-orang yang tidak memahami akan kema’shuman Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari segala kesalahan, atau ingin menjatuhkan kehormatan beliau.
(Tafsir al Qurtubi: 14/190-191)
Kedua:
Syeikh asy Syinqithi –rahimahullah- berkata:
Setelah diteliti maka insya Allah makna yang benar dalam masalah ini adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa al Qur’an sendiri sudah menunjukkannya, yaitu; Allah telah mengabarkan kepada Nabi-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa Zaid akan menceraikan Zainab, dan Dia (Allah) akan menikahkannya dengan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan pada saat itu status Zainab masih sebagai istri Zaid. Ketika Zaid mengadukan masalahnya kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- beliau bersabda keadanya:
" أمسك عليك زوجك واتق اللَّه "
“Pertahankanlah istrimu, dan bertaqwalah kepada Allah”.
Maka Allah menegur beliau karena pernyataanya tersebut, setelah beliau mengetahui bahwa Zainab nantinya akan menjadi istri beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Pernyataan Nabi tersebut didasari rasa hawatir masyarakat akan mengatakan: Kalau saja beliau menyampaikan apa yang telah ia ketahui bahwa nantinya beliau akan menikah dengan Zainab, bahwa beliau ingin menikahi istri anaknya dimana statusnya masih menjadi istri yang sah bagi Zaid.
Dalil yang nenunjukkan akan hal tersebut adalah dua perkara:
1.Seperti yang telah kami jelaskan di awal bahwa Allah –Jalla wa ‘Ala- berfirman:
وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ
“sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya”.
inilah yang Allah –Jalla wa ‘ala- nyatakan, yaitu pernikahan beliau dengan zainab, dalam firman-Nya:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia”.
Dan Allah tidak menampakkan apa yang mereka tuduhkan kepada Rasulullah bahwa beliau mencintainya. Kalau memang tuduhan tersebut benar maka pasti Allah akan menampakkannya.
2.Allah –Jalla wa ‘Ala- telah berterus terang bahwa Dia-lah yang menikahkan keduanya, hikmah ilahiyahnya adalah untuk menghalalkan menikah dengan mantan istri anak angkat, yang sebelumnya dianggap haram, sebagaimana dalam firman-Nya:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka”.
Maka firman Allah –ta’ala-:
لِكَيْ لا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ
adalah sebab utama Dia menikahkan beliau dengan Zainab, bukan karena rasa cintanya Rasulullah kepada Zainab yang menyebabkan diceraikan oleh Zaid sebagaimana yang mereka tuduhkan. Hal tersebut telah dijelaskan dalam firman Allah:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَراً
Ayat ini menunjukkan bahwa Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), dan sudah tidak memiliki rasa cinta kepadanya, maka ia menceraikannya yang didasari oleh pilihannya sendiri. Dan segala ilmu kembali kepada Allah –Ta’ala-.
(Adhwa’ul Bayan: 6/582-583)
3.Ulama Lajnah Daimah pernah ditanya:
Bagaimanakah kisahnya Zaid bin Haritsah dan pernikahannya dengan Zainab yang nantinya dinikahi oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ?, bagaimanakah kisah awal dan berakhirnya pernikahannya ?, karena kami mendengar dari sebagian orang di sebagian negara-negara Arab bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah merindukannya, dan lain-lain. Dan saya tidak bekenan untuk menuliskan untuk anda semua tentang apa yang saya dengar, maka mohon penjelasannya ?
Mereka menjawab:
“Zaid adalah anaknya Haritsah bin Syurahbil al Kalbi, pembantu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau telah memerdekakannya dan menjadikannya sebagai anak angkatnya, pernah dipanggil dengan sebutan: Zaid bin Muhammad sampai Allah menurunkan ayat:
ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka”. (QS. al Ahzab: 5)
Maka mereka memanggilnya dengan nama Zaid bin Haritsah.
Sedangkan Zainab adalah anaknya Jahsy bin Rabab al Asadiyah, dan ibunya adalah Amimah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari jalur ayahnya.
Adapun kisah pernikahan Zaid dengan Zainab, bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang menanggung semua keperluan nikahnya, karena ia adalah pembantu dan anak angkatnya, maka beliau yang melamar Zainab untuk Zaid, namun Zainab menolak dan mengatakan: “nasab saya lebih baik darinya”, dan diriwayatkan Allah menurunkan sebuah ayat dalam masalah ini:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. al Ahzab: 36)
Maka ia menerima karena taat kepada Allah, dan menyambut baik keinginan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ia mengarungi bahtera rumah tangga bersama Zaid sekitar selama satu tahun, kemudian terjadi apa yang bisa terjadi antara suami dan istri, lalu Zaid mengadukannya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- karena keduanya memiliki hubungan dekat dengan beliau, Zaid sebagai pembantu dan anak angkatnya, dan Zainab adalah anak dari bibinya “Amimah”, seakan Zaid mengutarakan akan menceraikannya, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyuruh untuk mempertahankannya, dan bersabar dengannya, padahal beliau mengetahui melalui wahyu dari Allah bahwa Zaid nantinya akan menceraikannya, dan Zainab akan menjadi istri beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- akan tetapi beliau hawatir akan menjadi bahan pembicaraan orang karena menikahi istri anaknya, yang pada masa jahiliyah dilarang. Maka Allah menegur beliau dengan firman-Nya:
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni`mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni`mat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti”. (QS. al Ahzab: 37)
yaitu; -wallahu a’lam- engkau sembunyikan dalam dirimu apa yang Allah telah berutahukan kepadamu akan terjadinya perceraian Zaid dengan istrinya, dan nantinya akan menjadi istri beliau untuk mengamalkan perintah dan hikmah Allah –Ta’ala-, dan engkau takut akan perbincangan masyarakat dan celaan mereka kepadamu, padahal Allah yang lebih berhak untuk ditakuti, maka hendaknya engkau sampaikan wahyu yang telah diwahyukan kepadamu dari rincian urusanmu dan urusan Zaid dan istrinya Zainab tanpa menghiraukan perbincangan dan celaan masyarakat.
Sedangkan pernikahan Nabi dengan Zainab, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melamarnya setelah berakhirnya iddah dari talaknya Zaid. Dan Allah menikahkan beliau dengan Zainab tanpa wali dan saksi, karena beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah wali dari semua orang-orang yang beriman, bahkan lebih utama dari mereka, Allah –Ta’ala- berfirman:
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri”. (QS. al Ahzab: 6)
Allah membatalkan dengan peristiwa tersebut akan kebiasaan mengangkat anak pada masa jahiliyah, dan menghalalkan bagi umat Islam untuk menikahi mantan istri anak angkat mereka karena ditinggal mati atau karena cerai, ini merupakan rasa kasih sayang Allah kepada orang-orang yang beriman dan tidak menyulitkan mereka.
Adapun riwayat yang mengatakan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat Zainab dari balik tirai, dan beliau mengaguminya bahkan merindukannya, dan diketahui oleh Zaid hingga ia menjadi tidak menyukainya dan lebih itsar (mendahulukan) Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hingga menceraikannya agar bisa dinikahi oleh beliau, maka semua riwayat yang seperti ini tidak ada yang shahih, karena para Nabi adalah yang paling agung kedudukannya, yang paling bisa menjaga dirinya, paling mulia akhlaknya, paling tinggi derajat dan kemuliaannya untuk melakukan hal seperti itu. Lalu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sendiri yang melamarkan Zainab untuk Zaid –radhiyallahu ‘anhu-, Zainab juga seupunya (anak bibi dari jalur ayahnya). Kalau saja misalnya hati beliau terpaut dengan Zainab pasti sejak awal mungkin sudah beliau utarakan, apalagi Zainab awalnya menolak untuk menikah dengan Zaid dan tidak mau menerima Zaid sampai turunnya ayat taat baru Zainab mau dengan Zaid.
Aa yang terjadi ini adalah merupakan takdir dan pengaturan Allah –subhanahu wa ta’ala- untuk membatalkan adat istiadat masyarakat Quraisy dan sebagai rahmat dan kemudahan bagi manusia, sebagaimana firman Allah:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا . مَا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا . الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا . مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. (QS. Al Ahzab: 37)
(Syeikh Abdul Aziz bin Baaz, Syeikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Syeikh Abdullah bin Ghadyan, Syeikh Abdullah bin Qu’ud)
(Fatawa Islamiyah: 18/137-141)
Wallahu a’lam.