Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Batasan Aurat Antara Sesama Wanita

Pertanyaan

Syaikh hafizhahullah, kami mendengar bahwa batasan aurat antara sesama wanita adalah dari pusar hingga lutut. Benarkah demikian? Kami sering melihat wanita-wanita yang datang ke tempat-tempat resepsi dengan mengenakan gaun-gaun pendek dan transparan atau berbelah hingga tampak betisnya. Atau mengenakan gaun yang tidak berlengan dan yang menampakkan sebagian dada atau punggungnya. Sehingga penampilan wanita-wanita muslimah itu persis seperti para selebritis di negara-negara kafir atau artis-artis film yang biasa tampil di televisi. Jika kita larang, mereka akan membantah, "Gaun seperti ini boleh-boleh saja sebab aurat antara sesama wanita adalah dari pusar hingga lutut." Hingga rasa malupun sudah tidak ada lagi, menyerupai wanita-wanita kafir dan sifat nyinyir sudah melanda kaum wanita, akibatnya kondisipun semakin parah. Berilah kami jawaban semoga Allah membalas Anda dengan pahala kebaikan.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

sesungguhnya seluruh tubuh wanita adalah aurat bagi lelaki yang bukan mahramnya. Ia tidak boleh menampakkan diri di hadapan kaum lelaki meskipun tubuhnya ditutupi dengan pakaian jika dengan melihat sosoknya dan cara berjalannya dapat menimbulkan fitnah. Adapun yang disebutkan dalam soal bahwa batasan aurat antara sesama wanita adalah dari pusar hingga lutut, hal itu berlaku dalam kondisi khusus, yaitu jika ia berada di rumahnya di tengah saudara-saudara wanitanya dan karib kerabat wanita yang tinggal di rumahnya. Meskipun pada dasarnya ia wajib menutup seluruh tubuhnya agar para wanita lainnya tidak mengikuti dan menyebarkan kebiasaan yang jelek itu kepada yang lainnya (kebiasaan membuka aurat). Begitu pula ia wajib menutup anggota-anggota tubuhnya yang menarik di hadapan mahramnya dan di hadapan wanita-wanita asing, agar dia tidak menjadi bahan pembicaraan disebabkan sebagian mahram atau wanita-wanita asing itu menceritakan hal tersebut kepada orang lain. Dalam hadits Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:

"Janganlah seorang wanita menceritakan seluk beluk wanita lain di hadapan suaminya hingga seolah-olah suaminya itu melihatnya dengan mata kepala."

Maksudnya, jika ia menampakkan anggota-anggota tubuh yang menarik, seperti dada, lengan, perut, punggung, bahu, leher dan betisnya, maka siapa saja yang melihat pasti terlintas dalam pikirannya hal itu. Biasanya kaum wanita suka menceritakan apa yang mereka lihat dari wanita lain kepada keluarga mereka yang laki-laki ataupun perempuan. Mereka akan menceritakan hal tersebut kepada lelaki-lelaki asing yang membangkitkan ketertarikan mereka kepada wanita tersebut. Hal itu tentu saja membuat jiwa-jiwa yang buruk terkait dengannya. Oleh sebab itu ia wajib menutup anggota-anggota tubuh yang menarik, seperti dada, punggung, lengan, betis dan lainnya meskipun di hadapan mahram dan kaum wanita. Lebih-lebih lagi di tempat-tempat keramaian, tempat-tempat pesta, resepsi, di rumah sakit-rumah sakit, sekolah-sekolah meskipun di sekelilingnya hanya kaum wanita. Kadangkala tanpa sengaja pandangan kaum pria dan anak-anak usia puber tertumbuk pada mereka. Kadangkala pula tanpa sengaja mereka terfoto dalam keadaan terbuka auratnya hingga dapat menimbulkan fitnah bagi yang melihatnya. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam telah mengancam dengan keras kaum wanita yang mengenakan pakaian tipis dan sempit dalam sabdanya:

"Dua kelompok manusia yang termasuk penghuni neraka. Salah satunya: Wanita-wanita yang berbusana tetapi pada hakikatnya telanjang, berjalan berlenggak-lenggok menarik perhatian manusia, kepala-kepala mereka laksana punuk unta, mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak mencium aromanya."

Makna kaasiyaat 'aariyaat (memakai busana tapi sebenarnya telanjang) adalah memakai busana yang transparan dan sempit hingga membentuk lekuk-lekuk tubuh mereka dan terdapat celah yang menampakkan dada dan payudara serta anggota-anggota tubuh yang menarik. Termasuk juga menampakkan diri di pesta-pesta dan tempat-tempat keramaian umum.

Wallahu a'lam.

Refrensi: Dinukil dari fatwa Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin