Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Pertama:
Kita tidak memungkiri disana ada kerancuan dalam banyak perkataan dan penukilan dikalangan manusia antara musik dan nyanyian. Sebab kerancuan ada tiga hal.
Pertama, tidak meneliti arti dua kata dalam Kitab dan Sunah serta perkataan ulama salaf
Kedua, penggunaan sebagian ahli ilmu kata musik untuk nyanyian. Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullh mengatakan, “Dikutip dari Al-Qurtubi dari ‘Jauhari’ bahwa musik sama dengan nyanyian. Ibnu Hajar juga mengatakan, “Istilah ‘nyanyian’ dapat bermakna alat musik dan semua permainan dengan alat musik.” (Fathul Bari, 10/55).
Ketiga, bahwa nyanyian sekarang selalu diiringi dengan alat musik. Sehingga dinamakan ‘Nyanyian’ kata ini tanpa ragu mencakup musik (peralatan musik). Sedangkan kata ‘Nasyid’ –seringkali- digunakan untuk yang tidak ada peralatan musik yang dikenal. Sehingga orang yang berbicara tentang nyanyian tercela maksudnya adalah lantunan seronok yang diiringi peralatan musik. Dan orang yang berbicara tentang musik maksudnya adalah berbicara tentang penggunaannya oleh para penyanyi dalam nyanyiannya.
Perlu diperhatikan adanya perbedaan dalam penggunaan kata ‘ma’azif’ (المعازف) dan ‘musik’. Kebanyakan orang menganggap keduanya sebagai hal yang sama. Yang benar bahwa kata ‘Musik (Ma’azif) dalam bahasa arab dimaksudkan sebagai alat yang dipukul, yaitu peralatan yang melenakan. Sementara kata ‘musik’ berasal dari kata Yunani, menunjukkan seni menggunakan peralatan musik. Adapun music dalam istilah adalah ilmu mengenal lirik dan nada dan tatacara mengarang nyanyian dan membuat peralatannya. Sebagaimana tercantum dalam ‘Al-Mausu’ah Fiqhiyah’ 38/168).
Hubungan antara ma’azif dan musik adalah bahwa ma’azif digunakan dalam musik, sebagaimana dalam referensi tadi.
Kedua:
Nash membedakan antara musik dan nyanyian. Begitu yang dikutip dari para ulama. Kita akan menyebutkan sebagian dari nash-nash ini setelah menjelaskan perbedaan di antara keduanya kemudian kita sebutkan hukum masing-masing.
Pengertian nyanyian dan macam-macamnya
Kata ‘Gina’ (nyanyian) maknanya meninggikan suara dan berdendang. Di antara bentuk yang terkenal adalah nyanyian orang-orang safar dalam perjalannya. Dinamakan dengan ‘Gina Rukban’ atau ‘Nasbu’ atau apa yang dinyanyikan penggembala ketika menggembala unta, dinamakan ‘Al-Hida’. Termasuk apa yang didendangkan para jamaah haji sebagai ungkapan rasa rindu untuk berhaji dan shalat di Mekah. Juga apa yang didendangkan para ahli syair dalam jihad untuk menggelorakn semangat bagi para pejuang. Begitu juga didendangkan seorang ibu untuk anaknya dalam permainannya. Semuanya ini macam nyanyian yang tidak ada peralatan dan musik. Semuanya termasuk nyanyian yang dibolehkan – seperti yang akan dijelaskan-.
Ibnu Manzur mengatakan, “Kata ‘An-Nasbu’ adalah salah satu macam nyanyian arab. Jika dikatakan Qod nasoba rokibu nasban maksudnya Sang pengendara sudah beryanyi. (Lisanul Arab, 1/758).
Az-Zubaidi –menukil dari ‘Al-Faiq Fi Goribil Hadits’ karangan Az-Zamakhzyari mengatakan, “Arti dari ‘Nasbi’ dinamakan demikian karena suara dikeraskan dan ditinggikan (Tajul Arus, (1/972).
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,”Nyanyian dinamakan meninggikan suara dan berdendang dinamakan oleh orang arab dengan nama An-Nasbu dan Al-Hida. Pelakunya tidak dinamakan penyanyi, karena yang dinamakan penyanyi adalah orang yang menyanyikan dengan dibuat-buat, mendayu-dayu serta berdendang mengundang kerinduan, termasuk di dalamnya ada ajakan kemungkaran, baik secara isyarat atau terang-terangan. (Fathul Bari, 2/442).
Pengertian musik (Ma’azif) dan macam-macamnya
Ma’azif (musik) adalah alat yang melalaikan ia digunakan dengan nyanyian. Berbeda macam-macamnya mengikuti zaman yang digunakan. Dibuat –seringkali- dahulu dan sekarang dari senar, pelepah dan kulit. Fairuz Abadi mengatakan, “Ma’azif adalah yang melalaikan seperti kayu dan mandolin. Aazif adalah pemainnya dan yang menyanyi (penyanyi). (Qamus Muhith, 1082)
Ma’azif adalah permainan yang ditabuh seperti kecapi, mandolin, rebana dan lainnya. Dalam hadits Ummu Zar’I (Ketika kami mendengarkan suara musik, kami yakin dia akan binasa. ‘Azif adalah pemainnya begitu juga penyanyi. (Tajul Arus, 1/6022).
Mandolin adalah alat tabuh senar. Panjang punuknya. Ada kotak setengah telur. Ada dua atau tiga senar –sebagaimana yang dikatakan Al-Albany dalam kitab Tahrim Alat Tharbi, hal. 76.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulla mengatakan, “Musik (Ma’azif) adalah yang melalaikan (Malahi), sebagaimana disebutkan pakar Bahasa. Jamaknya ‘Mi’zafah’ yaitu alat yang digunakan untuk musik. Maksudnya yang dikeluarkan suaranya. (Majmu’ Fatawa, 11/576).
Beliau mengatakan, “Ma’azif (musik) adalah alat yang melalaikan menurut pakar Bahasa dan ini mencakup semua peralatan.” (Majmu Fatawa, 11/535).
Ibnu Qoyim bertakata, “Ma’azif adalah semua alat permainan. Tidak ada perbedaan dikalangan pakar Bahasa akan hal itu.” (Igotsatul Lahfan, 1/260).
Riwayat yang ada tentang Ma’azif:
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu berkata, Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ (رواه البخاري في كتاب الأشربة معلقا مجزوماً بصحته ، وقد وصله البيهقي في السنن، 3/272)
“Akan ada dari umatku suatu kaum yang akan menghalalkan zina dan sutera. Khamar dan nyanyian.”
(HR. Bukhari di Kitab Asyribah secara mu’allaq dan dikuatkan keshahihannya. Disambungkan oleh Baihaqi di Sunannya, 3/272 dan Ath-Thabrani di Mu’jamul Kabir, 3/319, Ibnu Hibban dalam Ash-Shahihnya, 8/265, 266, dinyatakan shahih oleh Ibnu Qoyim dalam Tahzibus Sunan, 5/270-272. Al-Hafiz Ibnu Hajar di ‘Fath, 10/51 dan Albany dalam Shahihnya, 91)
Ibnu Hazm menyatakan bahwa hadits terputus (munqathi), diikuti oleh orang yang taklid kepadanya. Tapi para peneliti membantahnya.
Al-Hafiz Abu Umar bin Sholah mengatakan, “Ibnu Hazm menyangka hadits ini terputus antara Bukhari dan Hisyam dan dia menjadikannya sebagai jawaban atas dalil pengharaman nyanyian. Hal itu keliru dari beberapa sisi. Hadits ini shahih dan sudah diketahui bersambung dengan syarat shahih. Imam Bukhari terkadang melakukan hal itu karena beliau telah sebutkan hadits itu di tempat lain dalam kitabnya dengan sanad yang tersambung. Atau beliau melakukan hal itu dengan sebab lain namun tidak diiringi cacat terputusnya perawi. (Muqodimah Ibnu Sholah, hal. 36).
Riwayat yang ada tentang nyanyian.
Dari Anas bin Malik radhiallahu nahu berkata, “Dahulu Nabi sallallahu alaihi wa sallam mempunyai seorang pelantun dan dia namakan ‘Anjasyah’. Dia orang yang bagus suaranya. Beliau mengatakan kepadanya,
رُوَيْدَكَ يَا أَنْجَشَةُ لَا تَكْسِرْ الْقَوَارِيرَ
“Turunkan suaramu wahai Anjasyah, jangan membuat kaum wanita terpikat.”
Qatada berkata, “Maksud (qowarir) adalah kaum wanita yang gemulai.” (HR. Bukhari, no. 5857 dan Muslim, no. 2323).
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Huda’ adalah menuntun unta dengan memukul secara khusus dalam nyanyian. Huda’ seringkali dilakukan dengan syair rajaz, terkadang dengan syair lainnya. Oleh karena itu –Bukhari- menyambungkan antara syair dan rajaz. Kebiasaannya, unta akan berjalan cepat kalau disenandungkan dengannya.” (Fathul Bari, 10/538).
Ibnu Qoyim rahimahullah mengatakan, “Umar bin Abdul Aziz menulis surat ke pendidik anaknya. Agar pertama kali yang diyakini dari adab anda adalah benci terhadap mainan (yang melalaikan). Karena hal itu berawal dari setan dan berujung pada kemarahan Allah (Rahman). Saya diberitahu dari orang terpercaya bahwa suara musik dan sengaja mendengarkan nyanyian dan permainan itu dapat menumbuhkan kenifakan dalam hati sebagaimana tumbuhnya rumput di atas air.” (Igotsatul Lahfan, 1/250).
Ketiga:
Hukum Ma’azif (Musik).
Para imam empat tidak berbeda akan pengharaman penggunaan semua bentuk alat musik. Siapa yang menukil, bahwa salah satu di antara mereka membolehkan atau (boleh) menggunakannya, maka dia telah berbohong. Apa yang dikatakan oleh para imam besar adalah kandungan dari apa yang ada dalam nash jelas shahih. Yaitu apa yang dinukilkan dari para shahabat Nabi sallallahu alaihi wa sallam dan orang setelahnya.
Al-Qurtubi mengatakan, “Sementara seruling, tendon (senar) dan gendang tidak ada perbedaan dalam pengharaman mendengarkannya. Saya tidak mendengar seorang pun yang pendapatnya diakui dari kalangan ulama salaf dan para imam khalaf yang membolehkan hal itu. Bagaimana tidak diharamkan, ia adalah syiar peminum khamar dan orang fasik. Pemicu syahwat dan kerusakan serta kegilaan. Maka, hal seperti itu tidak diragukan keharamannya dan pelakunya fasik serta berdosa.” (Dikutip dari Ibnu Hajar Haitsami di kitabnya ‘Zawajir ‘An Iqtirob Kabair, 2/193).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mazhab Imam Empat berpendapat bahwa semuat alat musik adalah haram.” (Majmu Fatawa, 11/576).
Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 38/177, “Para ahli fikih berpendapat mengharamkan penggunaan alat musik dan tendon (senar) seperti mandolin, rebab, kamanjah, qonun dan semua alat musik bersenar. Menggunakannya maksudnya dengan memukulnya.”
Dengan demikian, maka pengharaman mencakup semua alat musik lama maupun baru. Sebagian berdasarkan nash dan sebagian lagi masuk dalam keumuman pengharaman alat musik.
Syekh Al-Albani rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah wahai saudaraku, hadits-hadits tadi jelas menunjukkan pengharaman alat musik dengan semua bentuk dan macamnya. Sebagian dinyatakan dengan jelas (nash) seperti seruling, gendang dan jenis alat musik. Yang lainnya bersifat mengikutinya. Karena dua perkara:
Pertama: Semua itu tercakup dalam Lafaz ‘Ma’azif’ dari segi bahasa.
Kedua: Memiliki makna yang sama dalam hal suara dan melalaikan.
Yang menguatkan hal itu adalah pendapat Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma, “Rebana haram, alat musik haram, kubah (sejenis alat musik seperti gitar) haram dan seruling haram. (HR. Baihaqi, 10/222, dari jalur Abdul Karim Jarzi dari Abu Hisyam Al-Kufi . saya mengatakan, sanad ini shahih. Abu Hisyam Al-Kufi adalah Abu Hisyam As-Sanjari yang dinamakan Sa’ad, beliau adalah Jazri seperti Abdul Karim. Disebutkan bahwa beliau meriwayatkan darinya akan tetapi tidak melihatnya ada orang yang menyebutkan beliau orang Kufah dalam kitab ‘Tsiqat Ibnu Hibban, 4/296). Wallahu a’lam (Tahrim Alat Tharbi, hal. 92).
Tidak dikecualikan dari pengharaman alat musik kecuali rebana saja dalam kondisi tertentu. Terdapat penjelasan dalam jawaban soal no. 20406.
Hukum nyanyian
Melihat dari definisinya yang telah kami sebutkan tadi, diketahui tidak diharamkan nyanyian dari sisi asalnya. Bahkan ia mubah. Kecuali digunakan dengan alat permainan dan alat musik. Atau jika ada lirik jorok dan munkar yang mengandung perkara haram.
Ibnu Bar rahimahullah mengatakan, “Dalam bab ini di antara nyanyian ada yang membolehkan di kalangan para ulama. Terdapat atsar dari ulama salaf yang membolehkannya yaitu yang dinamakan nyanyian rukban, nyanyian nasob dan huda. Nyanyian semacam ini tidak ada perbedaan tentang dibolehkannya di kalangan ulama. Diriwayatkan Ibnu Wahb dari Usamah dan Abdullah ibnai Zaib bin Aslam dari ayahnya Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa Umar bin Khotob berkata,, “Nyanyian merupakan bekal pengendara atau bekal orang musafir. Yang kami ketahui tidak ada perbedaan di antara para ulama tentang kebolehannya jika syairnya tidak ada kata kotor.” (At-Tamhid, 22/197, 198).
Beliau rahimahullah mengatakan, “Adapun nyanyian yang dimakruhkan oleh para ulama, adalah nyanyian yang memotong huruf hijaiyah, merusak tatanan syair, menyanyianan untuk mendapatkan permainan dan sesuai lantunan music dan keluar dari mazhab orang arab.
Dalil yang membearkan apa yang kami sebutkan adalah bahwa orang yang membolehkan seperti apa yang kami sebutkan berupa nyanyian nasbu dan huda’ mereka juga memakruhkan jenis nyanyian ini. Di antara mereka tidak mungkin mendatangkan sesuatu yang dia sendiri melarangnya. (At-Tamhid, 10/198).
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Termasuk Hida’ di sini nyanyian para jamaah haji yang mencakup kerinduan untuk berhaji dengan menyebut ka’bah dan pemandangan lainnya. Yang sepadan dengan itu juga nyanyian para mujahid untuk berperang. Di antaranya juga nyanyian seorang ibu untuk menenangkan anaknya dalam gendongan.” (Fathul Bari, 10/538).
Semua nyanyian yang ada pengharaman atau celaan dari ulama salaf, adalah yang disertai dengan alat musik. Atau nyanyian wanita asing di hadapan lelaki atau sebaliknya. Atau di dalamnya ada lenggak lenggok dan gerakan kebanci-bancian. Atau di dalamnya ada kata yang mengharuskan untuk diharamkan dan dicela. Atau berlebih-lebihan dalam penggunaannya sehingga melalaikannya dari kewajiban agama.
Maka nyanyian yang mubah itu sesuai dengan syarat, yaitu:
Pertama, bebas dari peralatan yang melalaikan dan nyanyian.
Kedua, tidak menyerupai orang fasik lelaki dan wanita dari kalangan penyanyi lelaki dan wanita.
Ketiga, tidak berlebih-lebihan sehingga menjadi kebiasaannya dan meninggalkan apa yang Allah wajibkan kepadanya.
Keempat, wanita tidak di depan lelaki non mahram.
Kelima, hendaknya perkataannya tidak ada keyakinan yang merusak atau seronok atau buruk atau menyanjung perbuatan haram.
Keenam, tidak dijadikan pekerjaan sehingga dikenal dengannya.
Syarat-syarat ini ada dalilnya, baik secara umum dan khusus, diantaranya:
1.Dari Ibnu Umar radhiallahu anhu berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (رواه أبو داود، رقم 4031 و صححه الألباني في " صحيح أبي داود)
“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia bagian darinya.” (HR. Abu Dawud, no. 4031, dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Dawud)
2.Wanita tidak disyariatkan azan dan mengimami orang. Dianjurkan baginya tepuk tangan dalam shalat kalau dia ingin mengingatkan imam yang salah dan tidak dianjurkan baginya bertasbih. Jika demikian, bagaimana halnya dengan hukum nyanyian mereka depan lelaki –apalagi kalau ada lirik porno? (Mestinya tidak dibolehkan)
3.Dari Robi’ binti Muawwiz radhiallahu anha berkata:
دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي وَجُوَيْرِيَاتٌ يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ ، يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِهِنَّ يَوْمَ بَدْرٍ ، حَتَّى قَالَتْ جَارِيَةٌ وفينا نبي ٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ " فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ تَقُولِينَ ( رواه البخاري، رقم 3779 )
“Nabi sallallahu alaihi wa sallam mendatangiku hari pernikahanku. Maka beliau duduk di atas ranjangku seperti duduk anda di samping diriku. Sementara anak-anak wanita menabuh rebana dengan menyebut orang yang terbunuh dari ayah mereka waktu perang badar. Sampai salah satu anak wanita itu mengatakan, “Di antara kita ada nabi yang mengetahui hari esok.” Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jangan mengatakan seperti itu, katakan seperti apa yang anda katakana (tadi).” (HR. Bukhari, no. 3779).
Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam melarang nyanyian yang mengandung perkataan menyalahi agama.
4.Dari Aisyah radhiallahu anha berkata:
دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ ، قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ : أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا (رواه البخاري، رقم 909 ، ومسلم، رقم 892)
“Abu Bakar masuk sementara di sisiku ada dua anak wanita di antara anak-anak wanita Anshar mendendangkan peristiwa yang dialami kaum Ansor pada perang Bu’ats. (Aisyah) mengatakan, keduanya bukan sebagai penyanyi. Abu Bakar mengatakan, “Apakah pantas seruling setan ada di rumah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam?” Hal itu terjadi waktu hari raya. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum ada hari raya, dan ini hari raya kita.” (HR. Bukhari, no. 909, Muslim, no. 892)
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Al-Qurtubi mengatakan, “ungkapan ‘Keduanya bukan penyanyi’ maksudnya bukan orang yang dikenal menyanyi sebagaimana halnya penyanyi wanita yang telah dikenal. Hal ini mengecualikan nyanyian yang sudah terkenal. Yaitu, nyanyian yang dapat menggerakkan yang diam dan mengeluarkan yang tersembunyi. Biasanya berisi keelokan wanita, khamar dan lainnya dari perkara yang diharamkan –. Kalau ini, tidak diperselisihkan keharamannya. (Fathul Bari, 2/442).
Ibnu Qudama rahimahullah mengatakan, “Intinya, siapa yang menjadikan nyanyian sebagai pekerjaan, dia didatangkan dan mendatangkan atau menjadikan anak lelaki atau anak perempuan sebagai penyanyi untuk mengumpulkan orang-orang, maka dia tidak layak dijadikan saksi. Karena hal ini bagi yang tidak mengharamkannya termasuk kebodohan, kerendahan dan menjatuhkan wibawanya. Sedangkan bagi yang mengaharamkannya, maka disamping bodoh, dia juga berdosa terang-terangan dalam dosa serta menampakkan kefasikannya. Inilah yang dikatakan Asy-Syafi’i dan Ashabur ro’yi (ulama mazhab Hanafi, pent).
Keempat:
Peneliti tidak dapat menghukumi masalah ini dengan mengabaikan lirik nyanyian sekarang yang rendahan dan seronok atau gerakan berlenggak lenggok atau pengaruh musik yang membangkitkan syahwat serta pengaruh yang dihasilkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Musik menutupi jiwa, mempengaruhi jiwa lebih besar dibandingkan yang dilakukan tegukan gelas (khamar). Kalau mereka telah mabuk dengan suara, maka telah halal kesyirikan baginya, lalu dia mendorong kepada perzinahan dan kezaliman. Akibatnya mereka melakukan kesyirikan dan membunuh jiwa yang diharamkan Allah, serta melakukan perzinaan. Tiga hal ini banyak sekali terjadi pada pelaku musik.” (Majmu Fatawa, 10/417).
Ibnu Qoyim rahimahullah mengatakan, “Yang kami lihat juga oleh selain kami dan kami ketahui dengan pengalaman, tidaklah musik dan alat yang melalaikan merajalela dan meluas pada suatu kaum, dan mereka sibuk dengannya kecuali Allah, kecuali mereka akan dikuasai musuh. Diuji kekeringan, kelaparan dan pemimpin jahat. Orang yang berakal hendaknya memperhatikan fenomena alam dan melihatnya. Wallahul musta’an.” (Madarijus Salikin, 1/500).
Wallahu a’lam .