Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Saya merupakan keturuanan muslim. Akan tetapi, saya belum pernah melakukan shalat wajib. Bahkan ketika suatu kali saya berusah melakukannya, saya melakukannya tidak sesui. Semoga Allah memaafkan saya. Saya mendengar bahwa orang yang meninggalkan shalat, maka dia kafir, bukan seorang muslim. Akan tetapi orang yang shalat lima waktu, atau dua waktu dan meninggalkan sisanya, dia dianggap muslim. Demikian pula, saya belum pernah mengeluarkan zakat harta saya. Akan tetapi, minimal, sejak dua tahun lalu, saya berhasil menyempurnakan puasa ramadan saya dan saya niat untuk menjaganya. Saya ingin belajar shalat dan menjadikannya bagian dari kehidupan saya serta ibadah lainnya.
Apakah saya wajib mengeluarkan zakat untuk tahun-tahun yang panjang sebelumnya? Serta mengqadha hari-hari yang saya tidak berpuasa pada hari itu? Usia saya sekarang telah mencapai 31 tahun. Anda dapat perkirakan bahwa masalah ini sangat menyulitkan saya. Untuk menolak kesulitan, apakah mungkin bagi saya untuk mengawali dari awal lagi? Apakah Allah mengampuni saya jika hal itu saya lakukan?
Alhamdulillah.
Pertama:
Kami memuji kepada Allah atas hidayah dan taubat nasuha yang Allah berikan kepada anda atas kelalaian anda yang lalu. Semoga Allah sempurnakan nikmat-Nya dan meneguhkan anda di jalan-Nya yang lurus.
Adapun kewajiban qadha atas ibadah-ibadah yang ditinggalkan, dalam masalah ini terdapat dua pendapat di kalangan para ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat wajibnya qadha, ini merupakan pendapat jumhur ulama. Di antara ulama ada juga yang berpendapat, tidak wajib qadha shalat yang dia tinggalkan, berdasarkan pendapatnya bahwa orang yang meninggalkannya adalah kufur. Maka taubat orang seperti itu adalah dengan masuk Islam kembali yang dapat menghapus dosa sebelumnya.
Diantara para ulama ada yang berpendapat tidak wajib qadha bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja, apakah dia dianggap kufur atau tidak. Karena nash yang ada hanya mewajibkan qadha bagi orang yang tidur dan lupa.
Pendapat yang kuat dalam masalah orang yang meninggalkan shalat tanpa uzur, adalah tidak wajib mengqadha shalat, yang diwajibkan baginya adalah taubat. Serta pada masa berikutnya dia harus menjaga shalatnya dan puasanya. Disunahkan baginya untuk memperbanyak amalan sunah, baik berupa shalat maupun puasa. Semoga Allah menerima taubatnya.
Mewajibkan orang yang bertaubat untuk mengqadha apa yang telah lewat, akan menghalanginya untuk bertaubat dan menyulitkannya. Akan tetapi, orang yang bertaubat hendaknya memperbanyak amal saleh. Berdasrkan firman Allah Ta'alam,
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى (سورة طه: 82)
"Dan Sesungguhnya aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar." (QS. Thaha: 82)
Kedua: Jika kita hukumi kufurnya orang yang meninggalkan shalat, maka orang yang tidak shalat dan meninggalkan zakat, kondisinya tidak lepas dari dua hal berikut:
Pertama: Dia meninggalkan shalat sebelum wajibnya zakat baginya, orang seperti itu, jika dia bertaubat dari shalat, maka dia tidak harus mengqadha zakat yang dia tinggalkan. Karena diantara syarat wajibnya zakat adalah Islam. Orang ini tidak dalam keadaan Islam sehingga diwajibkan zakat baginya. Maka dia tidak diharuskan mengeluarkan zakat.
Kedua:
Dia meninggalkan shalat setelah dirinya terkena kewajiban zakat. Orang seperti itu, kewajibannya untuk mengqadha setelah taubat, terdapat perbedaan pendapat para ulama rahimahumullah.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, "Jika dia murtad sebelum (masa menyimpan harta) belum berlalu setahun, lalu ketika berlalu setahun, dia dalam keadaan murtad, maka tidak ada zakat yang ditetapkan baginya. Karena Islam merupakan syarat wajibnya zakat. Ketiadaan Islam pada sebagian putaran tahunnya akan menggugurkan zakat, seperti kepemilikan dan nishab. Jika dia kembali kepada Islam sebelum berlangsung setahun, maka masa haulnya dihitung dari awal lagi, sebagaimana kami sebutkan. Imam Ahmad berkata, 'Jika seorang yang murtad kembali kepada Islam, sedangkan hartanya sudah terkumpul selama setahun, maka hartanya itu miliknya, tidak perlu dizakatkan, dia mulai lagi hitungannya hingga setahun, karena sebelumnya dia terhalang dari itu.
Adapun jika dia murtad setelah masa kepemilikian telah berlangsung setahun, maka kewajiban zakatnya tidak gugur. Pendapat ini dipegang oleh Imam Syafii. Sedangkan Abu Hanifa berpendapat gugur, karena di antara syaratnya adalah niat, dan itu menjadi gugur dengan murtadnya dia, seperti halnya shalat. Sedangkan menurut kami, hak harta tidak gugur dengan murtad, seperti hutang." (Al-Mughni, 2/348-349)
Disebutkan dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah (23/234-235), "Adapun orang yang murtad, jika dia murtad setelah masa kepemilikan harta telah berlalu setahun (haul) dan mencapai nishab, maka tidak gugur kewajiban zakatnya berdasarkan pendapat mazhab Syafii dan Hambali. Karena hak harta tidak gugur seperti hutang. Hendaknya pemimpin mengambil harta zakatnya sebagaiman dia hendakanya mengambil zakat orang muslim yang enggan mengeluarkannya. Jika dia masuk Islam kembali, tidak diwajibkan menunaikannya kembali.
Sedangkan mazhab Hanafi berpendapat bahwa kewajiban zakatnya gugur bagi orang murtad yang telah wajib zakat sebelum dia murtad. Karena di antara syarat zakat adalah niat ketika menunaikannya, sedangkan niatnya adalah untuk ibadah, sedangkan dia kafir yang tidak dianggap niatnya. Maka kewajiban zakat menjadi gugur seperti shalat, bahkan termasuk zakat yang keluar dari bumi. Adapun jika murtadnya terjadi sebelum sempurna kepemilikan selama setahun dalam harta yang telah mencapai nishab, maka tidak ada ketetapan wajib zakat menurut jumhur ulama dari kalangan mazhab Hanafi, Hambali dan ini pun pendapat ulama di kalangan mazhab Syafii."
Kesimpulannya dalam masalah zakat, bahwa jika seseorang meninggalkannya, sedangkan dia shalat, baik karena malas atau bakhil, maka hendaknya dia menunaikan zakat yang ditinggalkannya di waktu tersebut. Hutang terhadap Allah, lebih utama untuk dilunasi.
Adapun jika dia meninggalkannya bersama meninggalkan shalat, hendaknya dia bertaubat kepada Allah dari hal itu dan tidak mengulangi lagi yang lalu-lalu. Lalu dia hendaknya mengawali amal saleh, semoga Allah menerima taubatnya dan menghapus dosa yang telah lalu. Allah Ta'ala berfirman,
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ الْأَوَّلِينَ
(سورة الأنفال: 38)
"Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi Sesungguhnya akan Berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu." (QS. Al-Anfal: 38)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Amr bin Ash radhiallahu anhu ketika dia menyatakan masuk Islam,
أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ (رواه مسلم، رقم 121)
"Tahukah engkau bahwa Islam menghapus masa sebelumnya." (HR. Muslim, no. 121)
Semua itu berlaku apabila seseorang meninggalkan shalatnya sama sekali. Adapun yang meninggalkan shalat sekali-kali melakukannya sekali-kali, telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendapat yang dipilih adalah orang tersebut tidak kafir. Jika dia tidak kafir, maka yang wajib baginya adalah menunaikan zakat yang telah ditinggalkannya, karena dia merupakan hutang yang menjadi tanggungannya, kewajibannya tidak gugur kecuali dengan menunaikannya.
Hal ini jika dia mengetahui bahwa dia memiliki harta yang telah mencapai nishab di waktu itu dan telah berlalu masa penyimpanan selama setahun dan dia belum keluarkan zakatnya. Jika dia tidak punya harta, atau punya harta tidak sampai senishab, atau mencapai senishab tapi belum tersimpan selama setahun, maka dia tidak wajib zakat sedikitpun.
Demikian pula halnya jika dia ragu dalam kepemilikan hartanya, atau mencapai nishabnya. Maka hukum aslinya adalah bahwa seseorang terbebas dari beban kewajiban.
Adapun shalat, maka di dalamnya terdapat perbedaan pendapat yang diakui dalam kondisi seperti ini. Mazhab jumhur ulama, dia harus mengqadha yang telah lewat, tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih hati-hati bagi pelakunya dan lebih membebaskan dari kewajiban.
Perhatikan jawaban soal no. 185619
Kami memohon kepada Allah semoga kita diberikan keteghuan dalam taat kepada-Nya dan dilindungi dari kejahatan diri kita, sesungguhnya Dia Maha Pemurah dan Dermawan.
Berikut ini sebagian jawaban yang terkait anjurang untuk sabar dalam menunaikan shalat. Silakan ditelaah untuk mendapatkan manfaat, soal no. 47123 99139
Wallahua'lam.