Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Apakah di dalam Islam ada istilah menikah sementara (selama waktu tertentu) ?
Teman saya pernah membaca bukunya Prof. Abu Al Qasim Jurji, dan teman saya itu terpengaruh dengan pendapat yang mengatakan bahwa tidak apa-apa jika seseorang menikah masing-masing dari mereka saling menikmati, yang dimaksud adalah istilah syar’i tentang pernikahan sementara dalam Islam.
Definisi pernikahan sementara (pada waktu tertentu) adalah jika anda tertarik dengan seorang wanita maka tidak masalah anda menikahinya pada waktu tertentu saja.
Apakah anda berkenan untuk menjelaskan dengan rinci tentang nikah mut’ah ?, madzhab manakah yang percaya dengan pemikiran tersebut ?, saya mohon disertakan beberapa dalil dari al Qur’an dan hadits
Alhamdulillah.
Nikah mut’ah atau pernikahan sementara adalah menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita sampai pada batas tertentu dengan membayar sekian.
Hukum asal dari sebuah pernikahan adalah berkelanjutan dan untuk seterusnya, pernikahan sementara –nikah mut’ah- dahulu mubah pada masa awal-awal Islam lalu dimansukh (dihapus) menjadi haram sampai hari kiamat.
Dari Ali –radhiyallahu anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
" نهى عن نكاح المتعة وعن لحوم الحمر الأهلية زمن خيبر ."
“Melarang pernikahan mut’ah dan daging keledai rumahan pada masa perang Khoibar”.
Dan dalam riwayat yang lain:
" نهى عن متعة النساء يوم خيبر وعن لحوم الحمر الإنسية ." رواه البخاري ( 3979 ) ومسلم ( 1407(
“Beliau melarang untuk menikahi wanita secara mut’ah pada perang khoibar dan melarang daging keledai rumahan”. (HR. Bukhori: 3979 dan Muslim: 1407)
Dari Rabi’ bin Sabroh al Juhani bahwa bapaknya meriwayatkan kepadanya bahwa beliau pernah bersama Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- beliau bersabda:
" يا أيها الناس إني قد كنت أذنت لكم في الاستمتاع من النساء وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة فمن كان عنده منهن شيء فليخل سبيله ولا تأخذوا مما آتيتموهن شيئاً " . رواه مسلم ( 1406(
“Wahai manusia, saya dahulu telah mengizinkan kalian untuk menikahi wanita secara mut’ah, dan sungguh Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barang siapa yang masih terikat dengan pernikahan tersebut maka bebaskanlah wanita tersebut dari perbuatan tersebut, dan janganlah kalian mengambil lagi sesuatu yang telah diberikan kepada mereka”. (HR. Muslim: 1406)
Allah –Ta’ala- telah menjadikan pernikahan tanda-tanda kekuasan-Nya yang mengajak kita untuk berfikir dan merenunginya, Dia –Ta’ala- juga menjadikan di antara sepasang suami istri rasa cinta dan kasih sayang, menjadikan istri sebagai tempat tinggal (marasa tentram) bagi suami, Dia (Allah) juga menganjurkan agar menghasilkan keturunan, menjadikan wanita memiliki masa iddah dan hak waris, semua itu tidak bisa didapat pada nikah mut’ah yang diharamkan tersebut.
Wanita yang dinikahi mut’ah menurut Rafidhah –mereka adalah syi’ah yang berpendapat boleh dilakukan- bukanlah sebagai seorang istri ataupun pembantu, Allah –Ta’ala- telah berfirman:
والذين هم لفروجهم حافظون . إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين المؤمنين / 5 – 7 .
“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”. (QS. Al Mukminun: 5-7)
Kelompok Rafidhoh telah menjadikan dalil bolehnya nikah mut’ah dengan beberapa di bawah ini yang sebenarnya tidak cocok untuk dijadikan dalil:
1. Firman Allah –Ta’ala-:
فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة النساء / 24
“…Maka isteri-isteri yang telah kamu ni`mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna)..”. (QS. An Nisa’: 24)
Mereka berkata:
“Ayat tersebut menjadi dalil akan bolehnya nikah mut’ah, mereka telah menjadikan firman Allah –Ta’ala-: أجورهن menjadi qarinah (indikasi) bahwa yang dimaksud dengan firman-Nya: استمتعتم adalah nikah mut’ah”.
Bantahannya adalah:
“Bahwa Allah menyebutkan sebelumnya tentang beberapa wanita yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki, kemudian Dia (Allah) menyebutkan apa yang dihalalkan baginya pada ayat ini, dan menyuruh agar memberikan mas kawinnya kepada wanita yang telah dinikahi.
Dia (Allah) telah mengungkapkan tentang nikmatnya pernikahan dengan kata: الاستمتاع. Hal serupa apa yang tertera di dalam sunnah dari hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
" المرأة كالضِّلَع إن أقمتَها كسرتَها ، وإن استمتعتَ بها استمتعتَ بها وفيها عوج " رواه البخاري ( 4889 ) ومسلم ( 1468
“Seorang wanita seperti tulang rusuk, jika kamu meluruskannya maka akan patah, dan jika kamu nikmati maka kamu akan menikmatinya meskipun terdapat bentuk yang bengkok”. (HR. Bukhori: 4889 dan Muslim: 1468)
Dia (Allah) juga menggunakan tentang mas kawin dengan kata: أجر , maksudnya adalah bukan berarti harta yang diberikan kepada mempelai wanita dalam nikah mut’ah. Telah disebutkan juga di dalam al Qur’an penamaan mas kawin sebagai: أجر (upah) pada ayat yang lain:
يا أيها النبي إنا أحللنا لك أزواجك اللاتي آتيت أجورهن
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya”. (QS. Al Ahzab: 50)
Maka menjadi jelas bahwa ayat di atas bukanlah dalil, juga bukan qarinah akan dibolehkannya nikah mut’ah.
Kalau misalnya kita anggap bahwa ayat di atas menunjukkan akan bolehnya nikah mut’ah maka kami mengatakan ayat di atas sudah mansukh (dihapus) oleh sunnah yang shahih yang mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat.
2.Apa yang diriwayatkan oleh sebagian para sahabat bahwa mereka membolehkan, khususnya Ibnu Abbas.
Bantahannya adalah:
“Dalam hal ini merupakan bentuk bahwa Rafidhoh telah memperturutkan hawa nafsunya, karena mereka mengkafirkan para sahabat Rasul -radhiyallahu ‘anhum- kemudian anda melihat sendiri mereka berdalil dengan perbuatan mereka dalam masalah ini dan pada masalah-masalah yang lain.
Adapun sebagian mereka yang membolehkan karena belum sampai kepada mereka dalil yang mengharamkan, para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- (di antara mereka adalah: Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Zubair) telah membantah pendapat Ibnu Abbas yang membolehkan nikah mut’ah.
Dari Ali bahwa beliau mendengar Ibnu Abbas melunak dalam hal nikah mut’ah, maka beliau berkata:
مهلا يا ابن عباس فإن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عنها يوم خيبر وعن لحوم الحمر الإنسية . رواه مسلم ( 1407(
“Jangan terburu-buru wahai Ibnu Abbas; karena Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang nikah mut’ah pada saat perang Khoibar dan juga melarang daging keledai rumahan”. (HR. Muslim: 140)
Untuk penjelasan lebih lanjut bisa dibaca juga pada jawaban soal nomor: 2377
Wallahu a’lam .