Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi jamaah haji dapat disimpulkan sebagai berikut:Para ulama telah berfatwa bolehnya melakukan tawaf di tingkat atas, meskipun berat, tapi hal itu lebih memungkinkan baginya melakukan manasik sebagaimana mestinya dan lebih menghindari dari kepadatan serta dampak-dampak buruknya.
Karena itu, kami nasehatkan agar jamaah haji mengurangi makan dan minum selama di Arafah dan di Muzdalifah sehingga tidak terlalu membutuhka buang hajat sehingga menyulitkan dirinya.
Karena itu, kami nasehatkan bagi jamaah haji untuk menghindari waktu puncak macet, yaitu waktu Fajar pada hari Idul Adha (tanggal 10 Zulhijah) dan juga waktu tergelincirnya matahari pada hari-hari tasyriq. Hendaknya melontar di malam hari ketika kepadatan sudah mulai berkurang sekali sehingga sambil melontar dapat melakukan zikir kepada Allah dengan tenang. Para ulama telah mengeluarkan fatwa bawah waktu melontar memanjang dari sejak tergelincirnya matahari hingga waktu fajar, maka tidak harus pergi saat kedapatan sangat tinggi sehingga dapat membahayakan diri dan orang lain.
Karena itu kami nasehatkan jamaah haji untuk menunda penyelesaian hajinya pada hari ketiga hari tasyriq, dan tidak tergesa-gesa, dia dapat meraih pahala lebih besar dibanding mereka yang tergesa-gesa. Juga kami nasehatkan untuk menunda kepulangannya beberapa hari saja hingga sebagian jamaah haji sudah pulang, sehingga dia dapat menunaikan tawaf Wada dengan maksimal.
Demikianlah apa yang dapat disimpulkan dari berbagai tantangan dan kesulitan yang umumnya dialami jamaah haji. Inilah di antara hikmah Allah Taala menjadikan ibadah ini dilakukan di tempat yang tandus, jarangan tanaman dan tetumbuhan dan sangat panas, agar dapat menjadi pembeda antara satu hamba dengan hamba lainnya dan bahwa tidak ada yang dapat yang memenuhi panggilan Allah kecuali mereka yang benar-benar ikhlas niatnya.
Dalam kesempatan ini, kamipun ingin berpesan bahwa berbagai halangan dan kesulitan tersebut hendaknya tidak menghalangi seseorang untuk menunaikan ibadah yang telah diwajibkan Allah Taala dalam KitabNya dan melalui lisan Nabinya shallallahu alaihi wa sallam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa besarnya pahala, juga tergantung tingkat kesulitannya. Semakin bertambah kesulitannya, maka bertambah pula pahalanya.
عن أم المؤمنين قالت : قلت يا رسول الله يصدر الناس بنسكين وأصدر بنسك واحد قال " انتظري فإذا طهرت فاخرجي إلى التنعيم فأهلي منه ثم القينا عند كذا وكذا قال أظنه قال غدا ولكنها على قدر نصبك أو قال نفقتك " .
رواه البخاري ( 1695 ) ومسلم ( 1211 ) .
Dari Ummul Mukminin dia berkata, “Aku berkata, wahai Rasulullah, orang-orang telah selesai dengan melaksanakan dua ibadah (haji dan umrah) sedangkan aku baru selesai satu ibadah (haji saja),” Lalu beliau bersabda, “Tunggulah sampai engkau suci, lalu berangkatlah ke Tan’im, kemudian engkau mulai ihram dari sana, lalu bertemu kami di sini dan di sini.” Saya menduga bahwa beliau mengatakan ‘esok hari’ tapi ‘sesuai keletihanmu’ atau dia berkata, ‘Sesuai nafkahmu.” (HR. Bukhari, no. 1695 dan Muslim, no. 1211)
An-Nawawi berkata, “Sabdanya, ‘Akan tetapi sesuai keletihanmu atau beliau berkata, sesuai dengan nafkahmu’ hal ini tampak menunjukkan bahwa pahala dan keutamaan akan bertambah sesuai beratnya tantangan dan “Nafkah. Yang dimaksud keletihan di sini adalah yang tidak dicela oleh syariat.” (Syarh Muslim, no. 8/152-153)
Al-Hafiz Ibnu Hajar mengomentari ucapan beliau dengan berkata, “Demikianlah sebagaimana yang beliau sampaikan, akan tetapi masalahnya tidak bersifat mutlak, boleh jadi ada sebagian ibadah yang lebih ringan dibanding lainnya, tapi dia lebih banyak keutamaan dan pahalanya, jika dikaitkan dengan waktu, seperti qiyamullail pada Lailatul Qadar jika dibanding qiyamullail pada malam-malam Ramadan lainnya. Atau juga jika dikaitkan dengan tempat, seperti shalat dua rakaat di Masjidil Haram jika dibandingkan dengan shalat beberapa rakaat di masjid selainnya, atau dikaitkan dengan keutamaan ibadah harta dan fisik, seperti shalat fardhu dari sisi jumlah rakaatnya atau panjangnya bacaan dan semacamnya lebih banyak pahalanya daripada shalat sunah, atau seperti satu dirham untuk zakat lebih besar pahalanya daripada sadaqah sunah. Perkara ini telah diisyaratkan oleh Ibnu Abdissalam dalam kitab Al-Qawaid, dia berkata, Shalat merupakan penghibur Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sementara bagi orang lain terasa berat. Dan tidaklah shalat orang selainnya walau diiringi kesulitan sama nilainya dengan shalat beliau secara mutlak.
Wallahu a’lam (Fathul Bari, 3/611)