Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Saya ingin bertanya, sampai batasan manakah kewajiban suami kepada istrinya?, pertanyaan ini didasari karena saya mempunyai masalah yang besar dengan suami saya disebabkan muamalah suami saya yang tidak baik kepada ibu saya pada waktu ia mengunjungi kami –terjadi konflik antara ibu saya dan keluarga suami-. AlHasil suami saya ‘mengusir’ ibu saya, dan saya terpaksa pergi mengikuti ibu saya, dan menolak keinginan suami untuk tetap tinggal bersamanya –sebelumnya saya dan suami tinggal di kota lain, sekarang saya dan ibu pulang ke kota kami sendiri- , meskipun sebenarnya sikap suami baik-baik saja kepada saya, tapi saya marah dan tidak terima dengan perlakuannya terhadap ibu saya. Sebenarnya suami sudah minta maaf kepada ibu tapi ia belum bisa memaafkan. Apakah perbuatan saya ini sudah benar, atau saya termasuk istri yang tidak taat pada suami sebagaiman yang Allah –subhanahu wa ta’ala- perintahkan?
Alhamdulillah.
Pertama:
Hendaknya seorang suami menyambung tali silaturrahim dengan keluarga istrinya, berbuat baik kepada mereka, ini bagian cara bergaul yang baik kepada istri. Perbuatan seperti ini akan menjadikan seorang istri bahagia, dan menghormati dan memuliakan suaminya, dan akan menambah cinta dan sayang di antara keduanya.
Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman:
( وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ) النساء/19(
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut”. (QS. An Nisa’: 19)
Ibnu Katsir berkata:
“Yaitu; bangunlah komunikasi yang baik dengan mereka (para istri), perbaikilah perbuatan dan penampilan kalian sesuai kemampuan kalian, sebagaimana yang kalian harapkan dari istri kalian. Maka berbuatkah sebagaimana yang istri anda perbuat. Sebagaimana firman Allah –ta’ala-:
( وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ) البقرة: 228
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf”. (QS. Al Baqarah: 228)
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
خيركم خيركم لأهله ، وأنا خيركم لأهلي ) صححه الألباني في "السلسلة الصحيحة" 285(
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan saya sebaik-baik kalian kepada keluarga saya”. (dishahihkan oleh al Baani dalam “Silsilah Shahihah” 285)
(Tafsir Ibnu Katsir: 1/477)
Kedua:
Adapun pengusiran suami anda terhadap ibu anda, ia sudah minta maaf. Dan selayaknya bagi seseorang yang dimintai maaf oleh saudaranya, ia memaafkannya.
Dan hendaklah anda ketahui, bahwa seorang wanita yang sudah menikah, taat kepada suami harus didahulukan dari pada taat kepada bapak dan ibunya. Seorang suami seharusnya tidak mendahulukan seorang pun atas ibunya dalam hal berbakti, dan seorang istri tidak selayaknya mendahulukan seorang pun atas suaminya dalam hal ketaatan; hal ini karena besarnya hak suami terhadap istri. Dan saking besarnya hak suami terhadap istri, hampir saja syari’ah ini menyuruh seorang istri bersujud kepada suaminya, hanya saja tidak dibolehkan bagi seseorang bersujud kepada sesame manusia.
Suami tidak boleh melarang keluarga istrinya untuk mengunjungi anak mereka; kecuali jika dihawatirkan akan merusak dan mempengaruhinya untuk melakukan nusyuz (tidak taat pada suami), maka suami pada saat itu boleh melarangnya datang.
Ketiga:
Anda telah melakukan kesalahan dua kali, dan perbuatan anda bertentangan dengan ketentuan agama.
Kesalahan pertama : anda keluar dari rumah tanpa izin suami.
Kesalahan kedua : anda bepergian tidak dengan mahram.
Adapun keluar rumah tanpa izin suami termasuk yang diharamkan, bahkan Allah –ta’ala- melarang wanita yang dicerai suaminya dengan talak raj’i (talak yang masih bisa rujuk) agar tidak keluar rumahnya, bagaimana jika seorang istri yang dicerai saja belum. Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman:
( يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ) الطلاق/1 (
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri”. (QS. Ath Thalaq: 1)
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Zaid bin Tsabit berkata: “Suami adalah tuan dalam al Qur’an, lalu beliau membaca ayat:
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ ) يوسف/25(
“… dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu”. (QS. Yusuf: 25)
Umar bin Khattab berkata:
النكاح رق , فلينظر أحدكم عند من يرق كريمته
“Menikah itu perbudakan, maka hendaklah setiap orang melihat kepada siapa menitipkan anak perempuannya”.
Dan diriwayatkan oelh Tirmidzi dan yang lainnya, bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ، فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٍ عِنْدَكُمْ – أي : أسيرات- )
“Berilah nasehat kepada para istri itu dengan baik, karena mereka adalah tawanan kalian”.
Jadi, seorang wanita dihadapan suaminya serupa dengan budak atau tawanan, ia tidak boleh keluar rumah kecuali atas izin suaminya, baik disuruh bapaknya maupun ibunya, atau yang lainnya. Pendapat ini disepakati para Imam. (Fatawa Kubro: 3/148)
Ibnu Muflih al hambali berkata:
“Diharamkan bagi seorang wanita keluar rumah suaminya tanpa seizinnya, kecuali karena darurat atau kewajiban syari’at”. (Adab Syar’iyyah: 3/375)
Sedangkan bepergiannya seorang wanita tanpa mahram, hal ini hukumnya haram, berdasarkan beberapa hadits shahih Rasulullah yang berkaitan dengan masalah ini.
Imam Nawawi berkata:
“Kesimpulannya, pada setiap yang dinamakan safar, maka seorang wanita dilarang keluar kecuali dengan suami atau mahramnya, baik selama tiga hari, dua hari, satu hari, satu mil atau semacamnya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
( لا تسافر امرأة إلا مع ذي محرم )
“Seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali bersam mahram”.
Hadits di atas menyangkut semua bentuk safar. Wallahu a’lam. (Syarh Muslim: 9/103, dengan sedikit perubahan)
Silahkan dibuka jawaban soal nomor: 10680, di sana juga dijelaskan tentang hak dan kewajiban suami istri.
Wallahu a’lam .