Jum'ah 19 Ramadhan 1445 - 29 Maret 2024
Indonesian

Hukum Memberi Sifat Al-Quran Sebagai Kalamullah Yang Qadim

Pertanyaan

Apa hukum memberi sifat Al-Quran bahwa dia adalah kalamullah yang qadim?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Al-Quranul Karim merupakan kalamullah taala, baik lafaznya, hurufnya maupun maknanya, dariNya bermula dan kepadanya kembali, Allah berbicara dengannya, lalu didengar oleh Jibril alaihissalam, kemudian dia menurunkannya kepada Muhamad shallallahu alaihi wa sallam.

Allah Taala berfirman,

إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ

سورة الواقعة: 77- 80

“Sesungguhnya dia adalah Al-Quran yang mulia. Pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuz). Tidak menyentuhnya kecuali orang yang disucikan. Diturunkan dari rabbul alamin.” (QS. Al-Waqiah: 77-80)

Dia juga berfirman,

الم تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ

سورة السجدة: 1، 2

“Alif Laam Mim, turunnya Al-Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya (adalah) dari Tuhan semesta alam.” (QS. As-Sajadah: 1-2)

FirmanNya:

تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

سورة الزمر: 1

“Turunnya Al-Quran (adalah) dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Az-Zumar: 1)

Ini termasuk dalam ucapanNya yang juga merupakan salah satu sifatNya. Siapa yang berkata bahwa Al-Quran adalah makhluk, maka dia kafir. Inilah keyakinan Ahlussunah wal Jamaah, berbeda dengan pandangan kelompok sesat dan menyimpang.

Ath-Thahawi berkata dalam kitab Aqidahnya yang terkenal, “Sesungguhnya Al-Quran adalah kalamullah, darinya bermula tanpa mempertanyakan bagaimana Dia berkata, lalu diturunkan kepada RasulNya sebagai wahyu, lalu kaum mukminin membenarkannya dengan haq dan meyakininya bahwa dia adalah firman Allah Taala secara hakiki, bukan makhluk seperti ucapan manusia. Siapa yang mendengarnya lalu menuduhnya bahwa dia adalah ucapan manusia, maka dia kafir. Allah telah mengecam orang tersebut dan mengancamnya dengan neraka saqar. Dia berfirman,

سأصليه سقر

سورة المدثر: 26

“Aku akan masukkan dia ke (neraka) saqor.”

Ketika Allah mengancam dengan neraka saqar bagi orang yang mengatakan,

إن هذا إلا قول البشر

سورة: 25

“Sesungguhnya ini (Al-Quran) semata-mata hanyalah perkataan manusia.”

Maka kita ketahui dan kita yakini bahwa dia adalah ucapan pencipta manusia, tidak serupa dengan ucapan manusia.”

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

Di antara firman Allah Taala adalah Al-Quranul karim. Dia adalah kitab Allah yang nyata, tali yang kuat, jalan yang lurus, diturunkan dari Tuhan semesta alam, diturunkan oleh ruhul amin (Jibril alaihissalam) ke hati pemimpin para rasul dengan bahwa Arab yang jelas. Dia turunkan dan bukan makhluk. DariNya bermula dan kepadanya kembali. Dia adalah surat-surat yang jelas hukumnya, ayat-ayat yang tegas, huruf-huruf dan kalimat-kalimat. Siapa yang membacanya, makanya baginya untuk setiap satu huruf terdapat sepuluh kebaikan, ada awal dan akhirnya, ada juz dan bagian-bagiannya, dibaca dengan lisan, tersimpan dalam dada, terdengar oleh telinga, tertulis dalam mushaf. Di dalamnya ada ayat yang tegas dan masih samar, ada ayat yang menghapus dan dihapus, khusus dan umum, perintah dan larangan.

لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

سورة فصلت: 42

“Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya yang diturunkan dari Rbb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushilat: 42)

Dan firman Allah Taala:

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

سورة الإسراء: 88

 “Katakanlah: Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan semisal Al-Quran, mereka tidak dapat mendatangkan yang serupa dengannya, walaupun sebagian mereka membantu sebagian lainnya.” (QS. Al-Isra: 88)

Ini adalah kitab berbahasa Arab yang oleh orang-orang kafir dikatakan,

لَنْ نُؤْمِنَ بِهَذَا الْقُرْآنِ

سورة سبأ: 31

 “Kami tidak akan beriman kepada Al-Quran ini.” (QS. Saba: 31)

Sebagian mereka berkata,

إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ

سورة المدثر: 25

“Sesungguhnya (Al-Quran) ini hanyalah perkataan manusia.” (QS. Al-Mudatsir: 25)

Maka Allah berfirman,

 سَأُصْلِيهِ سَقَرَ

سورة المدثر: 26

“Aku akan masukkan dia ke (neraka) saqor.” (QS. Al-Mudatsir:  26)

Tidak ada perbedaan di antara kaum muslimin bahwa siapa yang menentang Al-Quran, baik dalam satu surat, satu ayat, satu kalimat atau huruf, maka disepakati bahwa dia adalah kafir. Hal ini menjadi argument yang jelas bahwa dia adalah kumpulan huruf-huruf.”

(Lum’atul I’tiqad, hal. 22-28)

Makna dari pandangan Ahlusunah,

منه بدأ

“Darinya dia bermula.”

Adalah bahwa Allah Taala berbicara dengannya, kemunculan dan awalnya dari Allah Taala.

Adapun makna pandangan mereka,

وإليه يعود

“Kepadanya dia kembali.”

Yaitu bahwa Al-Quran akan diangkat dari dada setiap manusia dan dari mushaf-mushaf di akhir zaman. Maka tidak tersisa lagi satupun ayat di dalam dada dan di dalam mushaf, sebagaimana disebutkan dalam berbagai atsar.

Al-Hafiz Dhiyaudin Al-Maqdisi (wafat tahun 643H) memiliki makalah seputar masalah ini dengan judul ‘Kekhususan Al-Quran Kembali Kepada Ar-Rahman.”

Para pengikut bid’ah ada pandangan-pandangan yang lain yang bertentangan dengan apa yang ditunjukkan oleh logika yang jelas serta dalil nash yang shahih dalam bab ini. Pandangan mereka dapat disimak juga termasuk bantahan para ulama dalam kitab-kitab Ahlusunah yang dikarang dalam bab ini. Di antaranya karangan-karangan yang khusus membantah pandangan ahli bid’ah dalam masalah sifat kalam. Misalnya, ‘Al-Burhan Fi Mas’alatil Qur’an’ (Argumen dalam beberapa masalah Al-Quran) dan ‘Hikayatul Munazarah Fil Quran’ (Hikayat Debat Dalam Al-Quran), keduanya karangan  Ibnu Qudamah, pengarang kitab Al-Mughni rahimahullah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah juga memiliki beberapa karangan berupa buku dan makalah yang terkait dengan sifat kalam Allah. Silakan merujuk jilid ke 12 dari kita Majmu Fatawanya. Di antara kitabnya yang penting dalam masalah ini adalah kitab At-Tis’iniyah (sembilanpuluh) yang membantah pandangan-pandangan bid’ah kaum Asy’ari dalam masalah sifat kalam dengan 90 argumen.

Adapun karangan-karangan masa kini, ada buku yang cukup bermutu dalam masalah ini yang dikarang oleh Syekh Abdullah Al-Judai’ dalam kitabnya ‘Al-Aqidah As-Salafiah Fi Kalami Rabbil bariyah’ (Aqidah salaf tentang kalam tuhan manusia). Ini merupakan kitab yang bermanfaat dalam masalah ini.

Kedua:

Memberi sifat Al-Quran dengan sebutan al-qidam atau qadim, di dalamnya terkandung dua makna;

Pertama: Bahwa dia bukan makhluk, sebagaimana telah dijelaskan dan bahwa jenis kalam dalam hak Allah Taala adalah qadim. Dia terus berkata, kapan dia kehendaki, bagaimana Dia kehendaki dan berbicara kepada hambaNya yang dia kehendaki. Ini adalah pandangan yang benar. Inilah yang dimaksud mereka yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah ‘qidam’ atau terhadap kalamullah taala secara umum, dari kalangan Ahluussunah.

Di antara mereka adalah: Abul Qasim Al-Laalikai dalam kitabnya ‘Syarh Ushul I’tiqad Ahlussunah wal Jamaah’, dia berkata (2/224), ‘Kontek dari apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam menunjukkan bahwa Al-Quran termasuk sifat Allah yang qadim.”

Kemudian dia berkata (2/227), “Diriwayatkan bahwa para sahabat telah ijmak bahwa Al-Quran bukan makhluk.”

Termasuk yang menyatakannya secara mutlak adalah; Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Lum’atul I’tiqad, dia berkata (15), “Di antara sifat-sifat Allah Taala bahwa dia berbicara dengan kalam yang qadim dapat didengar oleh siapa yang dikehendaki dari kalangan hambaNya, didengar oleh Musa alaihissalam tanpa perantara, didengar oleh Jibril alaihissalam dan siapa saya yang Dia kehendaki dari kalangan malaikatNya dan rasul-rasulNya, dan bahwa Dia berbicara kepada orang-orang beriman di akhirat dan mereka akan berbicara kepadaNya dan bahwa mengizinkan mereka berjumpa denganNya. Allah Taala berfirman, 

وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا

سورة النساء: 164

“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (QS. An-Nisa: 164)

يَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالَاتِي وَبِكَلَامِي

سورة الأعراف: 144

 “Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara langsung denganKu dan untuk berbicara langsung denganKu.” (QS. Al-A’raf: 144)

مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ

سورة البقرة: 253

“Di antara mereka ada yang Allah ajak berbicara.” (QS. Al-Baqarah: 253)

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ

سورة الشورى: 51)

“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaaan wahyu atau dibelakng tabir.” (QS. Asy-Syuro: 51)

فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ يَا مُوسَى . إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِي الْمُقَدَّسِ طُوًى

سورة طه : 11 – 12

“Maka ketika ia datang ke tempat api itu, ia dipanggil, “Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa.” (QS. Thaha: 11-12)

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي

سورة طه: 14

 “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Aku. Maka beribadahlah kepadaKu.” (QS. Thaha: 14)

Tidak benar jika dikatakan bahwa dia adalah seseorang selain Allah..”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Kalangan salaf berkata, ‘Al-Quran adalah kalamullah yang diturunkan, bukan makhluk dan mereka berkata bahwa Allah berbicara jika Dia kehendaki. Mereka menjelaskan bahwa kalam Allah adalah qadim, maksudnya jenisnya qadim. Tapi tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata, ‘Sesungguhnya perkataan tertentu sifatnya qadim dan tidak ada seoarng pun yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah qadim. Tapi mereka berkata, ‘Sesungguhnya perkataan Allah (Al-Quran) yang diturukan, bukanlah makhluk.”

Jika Allah telah berkata dengan Al-Quran sebagaimana Dia kehendaki, maka Al-Quran adalah kalamNya, dan dia diturunkan dariNya dan bukan makhluk. Meskipun demikian, dia tidak bersifat azali qadim dengan qidamnya Allah, meskipun Allah selalu saja berkata apabila Dia kehendaki. Maka jenis kalamnya adalah qadim.

Siapa yang memahami pandangan kaum salaf dan membedakan antara berbagai pandangan, akan sirnalah berbagai syubhat dalam masalah pelik ini yang mengguncang penduduk bumi.” (Majmu Al-Fatawa, 12/54)

Beliau juga berkata, “Kalamullah maksudnya adalah Allah berbicara langsung, Dia berbicara atas kehendaknya dan kekuasaannya, perkataannya bukan mukhluk yang terpisah darinya, tidak berdiri sendiri di luar kekuasaan dan kehendakNya.

Kalangan salaf berkata, “Allah selalu berbicara jika Dia berkehendak.’ Jika ada yang berkata, kalam Allah qadim, dengan makna bahwa dia tidak berbicara setelah Dia berbicara, dan bahwa perkataannya bukan makhluk, dan bahwa maknanya bukan berarti dia berdiri sendiri, akan tetapi Dia senantiasa berbicara jika Dia kehendaki, maka ucapan itu benar.”

Tidak ada seorang pun salaf  yang berkata bahwa zat perkataan tertentu itu qadim. Mereka hanya berkata, ‘Al-Qurana adalah kalam Allah yang diturunkan, bukan makhluk, darinya berawal dan kepadanya kembali.

Tidak ada di antara mereka yang berkata, ‘Sesungguhnya Al-Quran adalah qadim. Mereka tidak berkata, ‘Sesungguhnya perkataannya satu makna yang berdiri sendiri’ Mereka juga tidak berkata, ‘Sesungguhnya huruf-huruf Al-Quran atau huruf-huruf dan suara-suaranya qadim azali berdiri dengan zat Allah, walaupun jenis huruf-hurufnya senantiasa Allah berbicara dengannya jika Dia kehendaki. Tapi yang mereka katakan adalah; Sesungguhnya huruf-huruf Al-Quran bukanlah makhluk dan mereka mengingkari orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah menciptakan huruf-hurufnya.” (Majmu Fatawa, 12/566-567)

Makna kedua: Bahwa Al-Quran adalah makna, atau makna dan huruf, Allah berbicara dengannya pada masa azali, kemudian setelah itu tidak berkata lagi sesudahnya. Ini merupakan salah satu bid’ahnya kaum Asy’ariyah dan siapa yang sepaham dengan mereka dari ahli kalam yang ingin keluar dari bid’ah mu’tazilah dan jahmiah yang berkata bahwa Al-Quran adalah makhluk.

Siapa yang berkata tentang Al-Quran atau sifat-sifat Allah Taala serta perbuatan yang bersifat memilih bahwa dia adalah qadim dan itu yang dia maksud, maka tujuannya adalah batil, kemudian lafaz tersebut yang di mutlakkan tersebut bersifat global yang tidak terdapat landasan nashnya.

Karena adanya kemungkinan pemahaman yang batil yang terkandung dalam lafaz yang bersifat mutlak, dan karena lafaz ini tidak ada landasan nashnya, maka yang lebih kuat adalah tidak menyebutkan istilah qidam terhadap Al-Quran, tapi katakanlah seperti perkataan salaf bahwa Al-Quran adalah kalam Allah dan bukan makhluk.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Para pengikut kaum salaf rahimahullah berkata bahwa kalam Allah adalah qadim, maksudnya Dia senantiasa berbicara jika Dia kehendaki. Mereka tidak mengatakan bahwa perkataan tertentu itu sendiri yang bersifat qadimah, sebagaimana seruannya kepada Nabi Musa dan semacamnya.

Akan tetapi, mereka (kelompok Asy’ary dan siapa yang setuju dengan pendapat mereka) meyakini bahwa Al-Quran dan seluruh kalam Allah adalah qadim zatnya dan bahwa Allah Taala tidak berbicara dengan kehendaknya dan kekuasaannya.

Lalu mereka berbeda pendapat;

Di antara mereka ada yang berpendapat; Qadim maksudnya adalah satu makna, yaitu seluruh makna kitab Taurat, Injil dan Al-Quran dan bahwa kitab Taurat jika diungkapkan dengan bahasa Arab, maka dia menjadi Al-Quran sedangkan Al-Quran jika dibahasakan dengan bahasa Ibrani, maka dia menjadi Taurat. Mereka berkata bahwa AL-Quran berbahasa Arab, Allah tidak berbicara dengannya, tapi bisa jadi Dia menciptakannya pada sebagian tubuh, bisa juga diperbuat oleh Jibril dan Muhamad maka menjadi kalam dari Rasul tersebut yang dia terjemahkan dari makna yang satu dan berdiri dengan zat Tuhan yang Dia merupakan kumpulan seluruh makna kalam.

Di antara mereka ada yang berkata, bahkan Al-Quran yang qadim itu adalah huruf-huruf atau huruf-huruf dan suara-suara, dia qadim dan azali, berdiri dengan zat Rab, azali dan abadi. Jika Dia berbicara kepada Musa atau Malaikat atau para hamba pada hari kiamat, maka dia tidak berkata dengan perkataan yang dia berkata dengannya dengan kehendakNya dan kekuasaanNya ketika Dia berbicara, akan tetapi Dia menciptakan baginya kemampuan untuk mengetahui perkataan yang qadim yang melazimi zat Allah secara azali dan abadi. Menurut mereka, Dia senantiasa berkata,

يا آدم اسكن أنت وزوجك

سورة البقرة: 35

“Wahai Adam, tinggallah engkau dan isterimu.” (QS. Al-Baqarah: 35)

يا نوح اهبط بسلام منا وبركات عليك

سورة هود: 48

“Wahai Nuh, mendaratlah dengan keselamatan dari kami dan barakah atasmu.” (QS. Hud: 48)

يا إبليس ما منعك أن تسجد لما خلقت بيدي

سورة ص: 75

“Wahai Iblis, apa yang mencegahmu untuk bersujud kepada makhluk yang Aku ciptakan dengan kedua tanganKu.” (QS. Shaad: 75)

Dan ayat semacamnya. Beliau telah menguraikan panjang lebar pendapat-pendapat tersebut dalam beberapa tempat.

Intinya adalah bahwa kedua pendapat tersebut, tidak ada seorang pun yang dapat mengutip tentang keduanya dari seorang pun kalangan salaf. Yang saya maksud adalah dari kalangan sahabat dan tabiin serta para tokoh ulama kaum muslimin yang telah dikenal ilmu dan agamanya yang di tengah umat telah dikenal lisannya yang benar. Tidak di masa Imam Ahmad bin Hambal, tidak dizamannya Imam Syafii tidak pula di zamannya Abu Hanifah dan masa sebelum mereka. Yang pertama kali mengada-ada masalah ini adalah Abu Muhamad Abdullah bin Said bin Kullab… “ (Majmu Fatawa, 17/85)

Karena itu, siapa yang berkata, Al-Quran adalah qadim, atau kalam Allah adalah qadim, sedangkan yang diinginkan adalah makna pertama, bahwa yang Al-Quran dan seluruh kalam Allah Taala diturunkan dari sisiNya dan dia bukan makhluk dan bersamaan dengan itu dia bergantung dengan kehendaknya dan pilihanNya, maka tujuannya benar. Meskipun yang lebih utama dan lebih selamat dalam masalah tersebut adalah membatasi dengan lafaz-lafaz yang berasal dari kalangan salaf yang selamat dari keumuman makna serta dapat mengandung makna-makna yang batil.

Jika yang dia inginkan adalah makna kedua dan menafikan bahwa kalamullah taala berkaitan dengan kehendak dan pilihanNya, maka maksudnya adalah batil sedangkan lafaz yang dia ucapkan secara mutlak juga bid’ah.

Lihat juga, Minhaju As-Sunah An-Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah, 5/419-421

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam