Alhamdulillah.
Pertama:
Redaksi ayatnya adalah sebagai berikut:
( يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ ) المائدة/ 67 .
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (QS. al Maidah: 67)
Adapun redaksi haditsnya adalah sebagai berikut:
‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata: Bahwasanya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda pada saat akhir-akhir masa sakit beliau:
يَا عَائِشَةُ ، مَا أَزَالُ أَجِدُ أَلَمَ الطَّعَامِ الَّذِى أَكَلْتُ بِخَيْبَرَ ، فَهَذَا أَوَانُ وَجَدْتُ انْقِطَاعَ أَبْهَرِى مِنْ ذَلِكَ السَّمِّ . رواه البخاري ( 4165 (
“Wahai ‘Aisyah, saya masih merasakan dampak dari makanan (kambing yang sudah diracun) yang telah aku makan pada saat di Khoibar, maka inilah saatnya saya mendapatkan terputusnya nafasku disebabkan oleh racun tersebut”. (HR. Bukhori: 4165)
Adapun asal kisahnya adalah sebagai berikut:
Dari Anas bahwasanya ada seorang wanita yahudi yang menghidangkan bagi Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kambing beracun, seraya Rasulullah memakan sebagiannya, maka wanita tadi dihadirkan di hadapan beliau dan ditanya, ia menjawab: “saya ingin membunuhmu”. Beliau bersabda:
مَا كَانَ اللَّهُ لِيُسَلِّطَكِ عَلَى ذَاكِ . رواه البخاري ( 2474 ) ومسلم ( 2190 (
“Allah tidak akan menjadikanmu mampu melakukan hal itu”. (HR. Bukhori: 2474 dan Muslim 2190)
Kedua:
Seorang muslim wajib mengetahui bahwa tidak ada yang bertentangan antara nash-nash wahyu. Dan apa yang dianggap oleh sebagian orang bahwa ada kontradiksi dari beberapa nash wahyu adalah relatif sesuai perspektif orang tersebut, karena kenyataannya tidak ada kontradiksi dalam nash-nash wahyu tersebut. Oleh karenanya para ulama yang mendalam ilmunya mereka tidak merasa kesulitan –dengan pertolongan Allah- untuk menjelaskan beberapa ayat yang seakan bertentangan satu sama lain, namun faktanya tidak demikian, berbeda dengan seseorang yang berpendapat sulit untuk menggabungkan kedua ayat tersebut.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
“Tidak boleh di dalam syari’at ada dua berita yang bertentangan satu sama lain dari semua sisi yang tidak ada tarjih yang diutamakan”. (al Musawwadah: 306)
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Adapun kedua hadits yang dua-duanya shahih, jelas-jelas bertentangan dari semua sisi, salah satunya tidak bisa menghapus yang lain, maka yang demikian itu tidak ada sama sekali; karena tidaklah ada hadits yang keluar dari mulut Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang mulia kecuali hadits tersebut adalah benar”. (Zaadul Ma’ad: 4/149)
Ibnul Qayyim –rahimahullah – juga berkata:
“Maka shalawat dan salam dihaturkan kepada seseorang yang pembicaraannya membenarkan satu sama lain, sebagian haditsnya juga bersaksi pada sebagian yang lain. Adanya perbedaan, masalah dan kemiripan makna terjadi hanya dalam ranah pemahaman seseorang bukan dari sisi sumber hadits tersebut, maka menjadi kewajiban seorang mukmin untuk menyerahkan sesuatu yang tidak difahaminya kepada orang yang paling jujur, dan mengetahui bahwa di atas orang yang berilmu itu ada lagi Yang Maha Mengetahui”. (Miftahu Daris Sa’adah: 3/383)
Asy Syathibi –rahimahullah- berkata:
“Siapa saja yang mengetahui dengan sesungguhnya akan dasar-dasar syariat, maka baginya semua dalil-dalilnya tidak bertentangan satu sama lain. Sebagaimana orang yang mengetahui duduk permasalahan tertentu, maka ia tidak akan berhenti pada hal-hal yang samar-samar; karena syari’at itu tidak bertentangan sama sekali, maka seseorang yang mendalaminya juga tidak akan menemukan kontradiksi satu sama lain. Maka anda tidak akan menemukan dua dalil yang semua umat Islam bersepakat bahwa keduanya bertentangan, hingga menjadikan mereka mengambil sikap tawaqquf (menyerahkan sepenuhnya kepada Allah). Akan tetapi karena setiap individu dari para mujtahid (ahli ijtihad) tidak terbebas dari kesalahan, maka memungkinkan akan adanya dalil yang bertentangan menurut pemahaman mereka”. (al Muwafaqaat: 4/249)
Ada sebagian ulama yang menantang orang yang menganggap adanya kontradiksi di antara dalil-dalil wahyu, di antara mereka adalah Imam Ibnu Khuzaimah –rahimahullah- bahwa beliau berkata dalam “Tadribur Rawi”: 2/176: “Saya tidak mengetahui adanya dua hadits yang bertentangan, barang siapa yang mendapatkannya beritahukanlah kepadaku hingga aku akan menjelaskan keduanya”.
Ketiga:
apa yang disebutkan oleh saudara penanya yang nampaknya bertentangan antara firman Allah:
( والله يعصمك من الناس )
“dan Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia”. (QS. Al Maidah: 67)
dan sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
( وهذا أوان انقطاع أبهري )
“Inilah saatnya terputusnya nafas saya”.
Yaitu; bahwa beliau meninggal dunia disebabkan oleh racun yang diletakkan oleh orang yahudi.
Kedua dalil di atas tidak bertentangan satu sama lain –dengan petunjuk dari Allah-; karena kata: “ishmah” yang dimaksud dalam ayat di atas adalah perlindungan dari fitnah, kesesatan dan dari pembunuhan sebelum tersampaikannya risalah Islam. Semua itu telah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- alami, Allah telah melindungi beliau dari semua itu. Beliau tidak meninggal dunia kecuali setelah beliau menyampaikan risalah Rabbnya, dan Allah –Ta’ala- telah berfirman:
( الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسلام دِيناً ) المائدة/ من الآية 3
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. al Maidah: 3)
Sebagian ulama menyebutkan makna yang lembut, yaitu; bahwa Allah –ta’ala- ingin menggabungkan antara kenabian dan syahid di jalan-Nya.
Allah –ta’ala- telah melindungi Nabi-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari orang-orang kafir Quraisy pada saat mereka berusaha membunuhnya di Makkah, Allah juga melindungi dari terbunuhnya beliau pada semua peperangan yang beliau ikuti, bahkan sampai upaya orang Yahudi membunuhnya dengan menggunakan racun, Allah juga melindungi beliau dari racun tersebut; karena beliau diberitahu bahwa kambingnya ada racunnya, dan seorang sahabat yang bersama beliau meninggal dunia pada saat itu juga, hal ini menyalahi akan adanya dampak dari racun tersebut dan meyakini bahwa beliau meninggal dunia disebabkan racun tersebut. Dan apa yang disabdakan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak menunjukkan bahwa racun itulah yang menjadi sebab wafatnya, namun beliau hanya merasakan saja, dan bisa jadi inilah yang cocok dengan tutup usianya.
Yang penting bahwa perlindungan Allah kepada beliau dari pembunuhan terjadi sebelum beliau menyelesaikan tugasnya menyampaikan risalah-Nya, dan beliau tidak meninggal dunia kecuali sesudah menyempurnakan risalah-Nya dengan sebaik-baiknya. Konteks ayat menunjukkan akan hal itu, bahwa Allah menyuruhnya untuk menyampaikan risalah-Nya dan mengabarkan bahwa Dia menjaganya dari (gangguan) manusia.
Dan yang menunjukkan hal itu juga adalah sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada seorang wanita Yahudi (yang meracuninya):
( مَا كَانَ اللَّهُ لِيُسَلِّطَكِ عَلَى ذَاكِ )
“Allah tidak akan memberimu kekuasaan untuk membunuhku”.
setelah dikabarkan kepada beliau bahwa wanita yahudi itu akan membunuhnya. Sangat jelas bahwa beliau dilindungi dari terbunuhnya dari racun sampai beliau wafat, atau beliau dilindungi sampai selesai menyampaikan risalah Allah.
Kesimpulannya adalah bisa dikatakan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dilindungi dari pembunuhan dari racun, sebagaimana pernyataan Ibnu Katsir dan Nawawi dan yang lainnya, Allah telah mengabarkan akan adanya racun pada kambing tersebut, ini bagian dari perlindungan Allah kepadanya, atau penjagaan Allah kepada beliau pada saat menyampaikan risalah Islam, dan tidak menafikan terjadinya pembunuhan setelah selesai menyampaikan risalah Islam, sebagaimana pernyataan al Qurtubi, Ibnu Hajar dan Utsaimin. Artinya bahwa Allah menggabungkan terbunuhnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- antara kenabian dan syahid di jalan Allah dan menjadikan kejadian tersebut sebagai pengingat selamanya akan permusuhan yahudi kepada kita dan agama kita.
Inilah sebagian pendapat para ulama yang telah kami sebutkan, semoga bisa mejelaskan yang dimaksud insya Allah.
1.Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata:
“Dan di antara bentuk penjagaan Allah –‘azza wa jalla- kepada Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah penjagaan-Nya kepada beliau dari penduduk Makkah, para tokohnya, orang-orang yang hasad, orang-orang yang keras kepala dari mereka, orang-orang yang hidup mewah, padahal mereka keras permusuhannya, memerangi beliau pada setiap waktu, dan semua sebab-sebab yang Allah ciptakan sesuai dengan hukmah dan takdir-Nya, maka Allah melindungi beliau sejak awal menerima risalah melalui pamannya Abu Thalib karena ia pada saat itu sebagai pemimpin yang dipatuhi oleh masyarakat Quraisy, dan Allah menanamkan pada diri Abu Thalib naluri cinta kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bukan cinta karena Allah, dan kalau misalnya Abu Thalib masuk Islam, maka orang-orang kafir Quraisy dan para pemukanya akan lebih berani menentang Rasulullah, akan tetapi karena antara Abu Thalib dan orang-orang kafir Quraisy menjalani takdir yang sama dalam kekafiran, maka mereka menaruh rasa hormat kepadanya, memuliakannya. Pada saat Abu Thalib meninggal dunia maka Nabi mengalami sedikit gangguan, kemudian Allah mentakdirkan bahwa beliau memiliki para penolong yang dikenal dengan sebutan: “al Anshar”, mereka semua berbaiat kepada beliau dalam keislaman, dan agar Rasulullah berhijrah ke kota mereka. Ketika Rasulullah berada di kota Madinah, merekapun menjaga beliau dari gangguan orang asing. Setiap kali orang musyrik atau ahli kitab ingin mencederai beliau, maka Allah mengembalikan tipu dayanya. Ketika orang-orang Yahudi mencoba menyihir beliau, Allah pun menjaganya dan menurunkan kepadanya dua surat perlindungan yang menjadi penawar dari penyakit tersebut. Ketika seorang yahudi meracuni beliau di Khaibar dengan menaruh racun pada paha kambing, Allah memberitahukan dan melindungi beliau dari racun tersebut, dan riwayat yang semacam ini banyak contohnya”. (Tafsir Ibnu Katsir: 3/154).
2.Imam Nawawi –rahimahullah- berkata dalam syarahnya hadits paha kambing yang dicampur dengan racun.
“Hal itu menjelaskan akan kema’suman (dilindungi) Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari semua manusia, sebagaimana firman Allah:
( والله يعصمك من الناس )
“Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia”. (QS. al Maidah: 67)
ini adalah mu’jizat bagi Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- akan keselamatan beliau dari racun yang mematikan bagi yang lain, Allah juga memberitahukan kepada beliau, bahkan paha kambing bagian depan tersebut juga memberitahukan kepada beliau, telah diriwayatkan oleh selain Imam Muslim bahwa beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( إن الذراع تخبرني أنها مسمومة (
“Sesungguhnya paha depan kambing tersebut mengabarkan kepadaku bahwa dirinya telah mengandung racun”.
(Syarh Muslim: 14/179)
3.Ibnul Jauzi –rahimahullah- berkata:
Firman Allah yang menyatakan:
( والله يعصمك من الناس )
“Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia”. (QS. al Maidah: 67)
Ibnu Qutaibah berkata: “maksudnya adalah menjagamu dari mereka, dan perlindungan Allah (maksum) adalah melindungi seorang hamba dari berbuat maksiat, seperti ungkapan berikut ini: “طعام لا يعصم “ makanan yang tidak menahan rasa lapar (tidak mengenyangkan).
Ketika ada yang berkata: “Mana bentuk perlindungan Allah, padahal Nabi pernah terluka dahinya, patah gigi serinya, bahkan mendapatkan intimidasi yang dahsyat ?!, maka bisa dijawab dari dua sisi:
a.Bahwa beliau dilindungi dari pembunuhan, penahanan dan hancurnya bangunan dakwahnya, adapun semua bentuk intimidasi tidak menghalangi penjagaan Allah.
b.Bahwa ayat di atas diturunkan setelah terjadinya kasus tersebut, karena surat al Maidah termasuk surat yang turun pada akhir-akhir masa turunnya wahyu.
(Zaadul Masiir: 2/397)
4. Syeikh Abdul Aziz bin Baaz –rahimahullah- berkata:
“Adapun semua bentuk ujian yang menimpa para Rasul, maka Rasulullah Muhammad tidak dilindungi dari hal tersebut, bahkan beliau mengalaminya, beliau terluka pada perang Uhud, dahinya terluka, pipinya tertusuk bagian pelindung kepala pada saat perang, beliau juga pernah terajatuh pada beberapa lubang yang ada di sana, beliau juga kesulitan mendapatkan tempat di Makkah, beliau juga tertimpa apa yang pernah menimpa para Rasul sebelumnya yang sudah ditetapkan oleh Allah –ta’ala-, maka Allah mengangkat derajat beliau, meninggikan kedudukannya, melipat gandakan kebaikannya, namun Allah melindungi beliau dari setiap upaya pembunuhan yang mereka lakukan, mereka pun tidak mampu menghambat tersebarnya risalah kenabian, mereka pun tidak mampu menghalangi sampainya dakwah kepada orang-orang yang memang wajib menerimanya, beliau telah menyempurnakan risalahnya, menunaikan amanah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-“. (Fatawa Syeikh Ibnu Baaz: 8/150)
5.Al Qurtuby –rahimahullah- berkata:
“Dalam ayat tersebut tidak ada yang menunjukkan akan peniadaan perlindungan Allah, sebagaimana pengabaran Allah akan kemenangan agama-Nya tidak menghalangi perintah berperang, dan mempersiapkan pasukan dan perlengkapannya”. (Al Mufhim Lima Asykala min Talkhish Kitab Muslim: 6/280)
6.Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata setelah menyebutkan pendapat al Qurtuby di atas:
“… Atas dasar inilah bahwa maksudnya adalah perlindungan dari fitnah, kesesatan, dan pembunuhan. Wallahu a’lam”. (Fathul Baari: 6/82)
Keempat:
Termasuk bukti-bukti ilmiyah akan perlindungan Allah kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari pembunuhan sebelum sempurnanya risalah kerasulannya adalah:
Dari Jabir bin Abdillah berkata: Kami berperang bersama Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada sebuah peperangan di daerah Najed. Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menemui kami di sebuah lembah yang banyak pohon berdurinya, maka Rasulullah singgah di bawah pohon dan menggantungkan pedangnya di dahan pohon terdebut. Semua orang pun bertebaran pada lembah tersebut mencari tempat untuk bernaung di bawah pohon. Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِنَّ رَجُلاً أَتَانِي وَأَنَا نَائِمٌ فَأَخَذَ السَّيْفَ فَاسْتَيْقَظْتُ وَهُوَ قَائِمٌ عَلَى رَأْسِي فَلَمْ أَشْعُرْ إِلا وَالسَّيْفُ صَلْتًا فِي يَدِهِ ، فَقَالَ لِي : مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّي ؟ قَالَ : قُلْتُ : اللَّهُ ، ثُمَّ قَالَ فِي الثَّانِيَةِ : مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّي ؟ قَالَ : قُلْتُ : اللَّهُ ، قَالَ : فَشَامَ السَّيْفَ فَهَا هُوَ ذَا جَالِسٌ ثُمَّ لَمْ يَعْرِضْ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
“Sesungguhnya ada seorang laki-laki telah mendatangiku pada saat aku sedang tidur, seraya ia mengambil pedang, maka segera aku terbangun dengan keadaan pedangnya sudah terhunus ke arahku, seraya berkata: Siapakah yang akan menghalangimu dariku ?, Rasul menjawab: “Allah”. Kemudian ia berkata lagi: “Siapakah yang akan menghalangimu dariku ?. Beliau menjawab: “Allah”. Maka seraya pedangnya jatuh, ia pun duduk kemudian Rasul pun –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak membalasnya”. (HR. Bukhori: 2753 dan Muslim: 843)
Dalam riwayat yang lain: ia berkata: “Wahai Muhammad, Siapakah yang akan menghalangimu dariku ?. Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab:
الله يمنعني منك ، ضع السيف ، فوضعه
“Allah yang akan menghalangimu dariku, letakkanlah pedang itu, maka ia pun memeletakkannya”.
Imam Nawawi berkata:
“Ini merupakan penjelasan akan (kuatnya) tawakkalnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada Allah, dan perlindungan-Nya kepada beliau dari gangguan manusia, sebagaimana firman Allah –ta’ala-:
( والله يعصمك من الناس )
“Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia”. (QS. al Maidah: 67)
(Syarah Muslim: 15/44)
Wallahu a’lam..