Alhamdulillah.
Nabi sallallahu alahi wa sallam menegaskan hukum wajibnya kafarat kepada orang badui karena berhubungan badan dengan istrinya secara sengaja di siang Ramadan sementara dia dalam kondisi puasa. Hal itu merupakan penjelasan Nabi sallallahu alaihi wa sallam tentang ketentuan hukum dan menegaskan illat (sebab)nya. Para ahli fiqih bersepakat bahwa statusnya sebagai badui (orang desa) adalah kedudukan yang bersifat samping, sehingga tidak mempengaruhi hukum. Dengan demikian, tetap diwajibkan kafarat bagi orang berhubungan dengan istrinya, apakah dia orang desa atau orang kota. Mereka juga bersepakat bahwa sifat istri yang digauli juga termasuk sifat yang tidak dihiraukan dan tidak dianggap. Maka diwajibkan kafarat ketika berhubungan dengan budak wanita atau dengan berzina. Mereka juga bersepakat bahwa kedatangan orang tersebut dalam keadaan menyesal tidak berdampak pada kewajiban kafarat, maka tidak dianggap hal itu dalam penentuan hukum.
Kemudian mereka berbeda pendapat dalam jimak, apakah jimak itu sendiri yang menyebabkan diwajibkannya kafarat akibat dia membatalkan puasa dengannya. Ataukah patokannya karena dia melanggar kehormatan Ramadan dengan berbuka secara sengaja, walau dengan makan dan minum.
Imam Syafii dan Ahmad berpendapat dengan pendapat pertama, sedangkan Malik dan Abu Hanifah berpendapat dengan pendapat kedua.
Letak perbedaan pendapat tersebut adalah apakah pelanggara tersebut patokannya adalah karena berjimak dengan sengaja di bulan Ramadan, atau berbuka dengan sengaja di bulan Ramadan, walau hanya sekedar makan dan minum?.
Yang benar adalah pendapat pertama, sesuai dengan nash yang nampak. Karena pada dasarnya, seseorang bebas tanggungan dari kewajiban membayar kafarat hingga ada ketetapan yang mewajibkan hal itu dengan dalil yang jelas.