Alhamdulillah.
Pertama, kami memohon kepada Allah agar menerima haji anda dan mudah-mudahan anda termasuk orang-orang yang diampuni dosa-dosanya. Dan orang yang pulang dari hajinya tanpa dosa dan nista.
Kedua, Muzdalifah bagian dari tempat syiar (islam) dan ia masuk dalam batasan tanah haram. Allah dalam Kitab-Nya memberi nama Muzdalifah dengan nama Masy’aril Haram. Allah berfirman: “Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam.” (QS. Al-Baqarah: 198).
Ibnu Hazm Al-Dalusi rahimahullah berkata: “Muzdalifah adalah Masy’aril Haram dan termasuk tanah haram.” (Al-Muhalla, 7/188)
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Ketahuilah, bahwa Muzdalifah semuanya masuk tanah haram.” (Syarh Muslim, 8/187)
Ketiga, tidak selayaknya mengambil sesuatu dari Mekkah atau Madinah. Karena tidak ada (tuntunan) dari salah seorang pun dari ulama salaf di umat ini. Karena hal itu dapat menjadi pengagungan dan melahirkan keyakinan bahwa benda itu akan mendatangkan manfaat.
Perkara inilah yang diberantas dalam syariat dan menutup pintu ke arah sana. Iya, kalau sekiranya ada wasiat untuk mendatangkan air zam zam, maka hal itu diperbolehkan. Karena telah ada ketetapan dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Karena beliau telah memberitahukan bahwa itu adalah air yang barokah dan di dalamnya ada obat (penyembuhan) dengan izin Allah. Sementara selain itu dari tanah dari Arafah, kerikil dari Muzdalifah atau semisal itu, maka tidak dibolehkan seorang pun membawa ke negaranya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengeluarkan tanah dan batu dari tanah haram menjadi tiga pendapat; Boleh, makruh dan haram.
(Mazhab) Hanafi membolehkannya, sebagian pendapat Mazhab Syafi’i memakruhkannya, sementara mayoritas mazhab Syafi’i mengharamkannya. Pendapat ini lebih layak dipegang dibanding yang lain, jika diketahui bahwa orang yang membawanya ingin mengambil barokah atau mengagungkannya. Karena tanah haram dan bebatuannya tidak bukan benda yang dapat dimintakan barokah darinya, baik ketika masih di tanah haram maupun di luarnya. Perbedaan yang disebutkan tadi di kalangan para ulama adalah berkaitan dengan hanya dikeluarkan dari tanah haram. Bukan mengambil barokah dan mengagungkannya.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Tidak ada kebaikan dalam mengeluarkan batu tanah haram dan tanahnya ke (tempat) tanah halal. Karena ia mempunyai kehormatan yang telah nyata ketetapnnya dibanding tempat lain. Dan saya berpendapat –wallahu ta’ala a’lam- tidak boleh seorangpun memindahkannya dari tempat yang membuatnya berbedar dari daerah lain, sehingga dia menjadi (tempat) yang sama seperti lainnya." (Al-Umm, 7/155)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Tidak dihalalakan mengeluarkan sedikitpun, baik tanah maupun batu (tanah) haram ke (tempat tanah) halal... dan Atha’ berkata: “Dimakruhkan mengeluarkan tanah haram ke (tanah) halal atau memasukkan tanah halal ke (tanah) haram. Ini adalah pendapat Ibnu Abu Lailah dan lainnya. Sedangkan mengeluarkan air zam zam tidak mengapa, karena kehormatan haram terletak pada tanah, debu dan batunya. Maka tidak diperkenankan menghilangkan kehormatannya. Tidak ada pengharaman dalam (masalah) air (zam zam)." (Al-Muhallah, 7/262-263)
Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ditanya: “Seseorang ingin menunaikan haji dan membawa beberapa pesan. Dia mengatakan bahwa dia diminta sebagian dari orang-orang untuk membawa sesuatu dari Mekkah dan Madinah seperti batu, ait atau sedikit tanah atau yang semisalny. Apa yang harus diperbuat?
Beliau menjawab: “Pesanan yang disebutkan tadi, membawa tanah, air atau batu dari tanah haram untuk orang yang memesannya, tidak harus dipenuhi, dan dia berhak menolaknya. Kalau saja pesannya agar mereka didoakan di tempat-tempat mulia tersebut, hal itu lebih baik dan lebih tepat. Maka jika pesan-pesan tersebut diganti dengan mendoakan mereka kepada Allah di tempat-tempat mulia untuk kebaikan agama dan dunia mereka, hal itu lebih utama, lebih tepat dan lebih bagus.” (Fatawa Nurun Ala Darb)
Keempat: Barangsiapa yang sudah mengambil sesuatu dari tanah haram ke luar (tanah) haram, hendaklah dia memohon ampun kepada Allah ta’ala atas perbuatannya. Kemudian dia harus mengembalikan ke tempat haram dimana saja jika (hal itu) memungkinkan. Tidak harus dirinya yang mengembalikannya. Bahkan kalau dia berikan kepada orang yang dia percaya untuk mengembalikannya, hal itu dibolehkan. Kalau yang ini dan itu tidak bisa (dia) lakukan, hendaklah dia taruh di tempat yang suci. Allah Ta’ala berfirman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 17/195, “Mazhab Syafi’i dengan jelas mengharamkan untuk memindahkan tanah dan batu di tanah haram serta apa yang dibuat dari tanahnya –seperti kendi dan lainnya- ke (tanah) halal, maka (jika ada yang memindahkannya) harus dikembalikan ke tanah haram."
Al-Mawardi rahimahullah berkata: “Kalau mengeluarkan batu haram atau tanah haram, maka dia diharuskan mengembalikan ke tempatnya dan memasukkan ke haram."
Al-Hawi Fi Al-Fiqhi As-Syafi’i, 4/314. Dinukil dari An-Nawawi dalam Al-Majmu, 7/460 dan dikuatkannya.
Wallahu’alam.