Kamis 27 Jumadil Ula 1446 - 28 November 2024
Indonesian

Bagaimana Menjadikan Dirinya Agar Mudah Bisa Mengenakan Hijab ?

107783

Tanggal Tayang : 12-10-2018

Penampilan-penampilan : 5393

Pertanyaan

Bagaimana caranya agar mudah mengenakan hijab ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Kami berterima kasih kepada saudari kami yang terhormat atas kesungguhan anda untuk berkomitmen kepada perintah-perintah Allah dan naik kelas menuju penghambaan ibadah kepada Rabb semesta alam dan meniti jalan yang lurus yang Allah –‘Azza wa Jalla- inginkan bagi setiap hamba-Nya untuk meniti di atasnya, dan menyuruh mereka agar memohon hidayah kepada-Nya pada setiap waktu dan kesempatan, sebagaimana firman-Nya:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَالفاتحة/6

“Tunjukilah kami jalan yang lurus”. (QS. Al Fatihah: 6)

Kami wasiatkan kepada anda agar bersegera menuju kebaikan dan berkompetisi dalam amal sholih; karena Allah telah menyuruh kita semua akan hal itu dalam firman-Nya:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَآل عمران/133

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imron: 133)

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ   البقرة/148

“Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan”. (QS. Al Baqarah: 148)

Hamba Allah yang sebenarnya adalah mereka yang ridho kepada Allah sebagai Rabb, ridho dengan Islam sebagai agama, dan ridho dengan Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagai Nabi, tidak ada keraguan dan tidak ada pilihan dan tidak mengkonsultasikan sesuatu yang telah Allah perintahkan:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً    الأحزاب/36

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzab: 36)

Abu Zunad –rahimahullah- di dalam Al Fiqh wal Mutafaqqih: 1/222 berkata:

“Sungguh sunnah itu tidak memusuhi, dan tidak selayak (sunah) mengikuti pendapat dan pemikiran (seseorang), jikalau manusia melakukan hal itu, maka setiap hari mereka akan berpindah dari agama satu ke agama lainnya, akan tetapi selayaknya sunnah itu kita berkomitmen di dalamnya berpegang teguh dengannya, baik yang sesuai dengan pendapat (akal) atau yang tidak sesuai. Saya bersumpah, bahwa sunnah dan tampilan (sisi) kebenaran banyak yang tidak sesuai dengan pendapat (seseorang), dan ada perbedaan yang jauh, meskipun begitu umat Islam tidak ada jalan lain kecuali mengikuti dan terikat dengannya”.

Muhammad bin Nashr Al Mizwari –rahimahullah- berkata:

“Barang siapa yang beragama dengan agama Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka hendaknya menerima semua yang dibawanya, baik yang sesuai dengan pendapatnya maupun yang tidak sesuai dan tidak sekali-kali meragukan ucapan beliau, karena ragu terhadap ucapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebuah kekufuran”. (Kitab Ta’zhim Qadri Shalat)

Ini merupakan adab Allah kepada orang-orang yang beriman dan peringatan-Nya kepada mereka agar jangan sampai mereka mengikuti ajaran-Nya karena hawa nafsu dan kemaslahatan pribadi, Allah –Ta’ala- berfirman:

وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ * وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ * وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ * أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ * إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ   ) النور/47-52 (

“Dan mereka berkata: "Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami mentaati (keduanya)." Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan." "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan”. (QS. An Nur: 47-52)

Syeikh As Sa’di –rahimahullah- berkata di dalam tafsirnya terkait dengan ayat di atas:

“Allah –Ta’ala- mengabarkan tentang keadaan orang-orang zhalim, yang di dalam hatinya ada penyakit, lemahnya keimanan, kemunafikan, keraguan, dan lemahnya ilmu. Bahwa mereka mengatakan dengan lisan mereka, mereka berkomitmen kepada dengan keimanan kepada Allah dan kataatan kepada-Nya, kemudian mereka tidak mengerjakan apa yang mereka ucapkan, sebagian kelompok mereka berpaling dari ketaatan dalilnya adalah:

 وَهُمْ مُعْرِضُونَ 

“Dan mereka selalu membelakangi kebenaran”. (QS. Ali Imron: 23)

Orang yang berpaling adakalanya ia mempunyai niat untuk kembali ke jalan sebelumnya, namun orang yang berpaling ini membelakangi, tidak ada lintasan sama sekali, tidak melihat kembali jalan sebelumnya. Kondisi seperti ini bisa anda dapatkan pada diri mereka yang mengaku beriman dan taat kepada Allah sementara imannya lemah, dia tidak banyak melakukan ibadah, khususnya ibadah-ibadah yang tergolong berat bagi banyak jiwa, seperti; zakat, nafkah wajib dan sunnah, jihad di jalan Allah, dan lain sebagainya.

وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ

“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka..”. (QS. An Nur: 48)

Jika salah seorang antara mereka diperintah, dan diseru kepada kepada hukum Allah dan Rasul-Nya maka (kondisi) mereka:

إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُم مُّعْرِضُونَ

“… tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang”. (QS. An Nur: 48)

Mereka menginginkan hukum jahiliyah, mereka mengutamakan undang-undang yang tidak syar’i dari pada hukum-hukum syari’at; karena mereka mengetahui kebenaran akan menyusahkan mereka dan syari’at itu tidak dipatuhi kecuali jika sesuai dengan keadaannya.

وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ

“Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul”. (QS. An Nur: 49)

Maksudnya menuju ke hukum syari’at

مُذْعِنِينَ

“dengan patuh”. (QS. An Nur: 49)

 Hal ini bukan karena ia sebagai hukum syar’i, akan tetapi karena hal itu sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka dalam kondisi seperti ini mereka bukan termasuk orang yang terpuji, meskipun mereka datang kepada Rasul dengan patuh; karena seorang hamba yang sebenarnya adalah mereka yang mengikuti kebenaran baik dalam hal yang ia cintai maupun yang dibenci, yang membahagiakan maupun yang menyedihkan. Adapun orang yang mengikuti syari’at pada saat sesuai dengan hawa nafsunya dan membuangnya pada saat tidak sesuai, mendahulukan hawa nafsunya di atas syari’at, maka dalam hal ini bukanlah sebagai hamba yang sebenarnya. Allah berfirman dengan mencela mereka karena mereka berpaling dari hukum syar’i:

أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ

“Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit” (QS. An Nur: 50)

Maksudnya adalah penyakit yang menjadikan hati sakit, menghilangkan indra perasanya, maka sama kedudukannya dengan orang yang sakit yang berpaling dari apa yang bermanfaat baginya dan menerima apa yang membahayakannya.

أَمِ ارْتَابُوا

“Atau mereka ragu-ragu” (QS. An Nur: 50)

Mereka ragu-ragu dan hati mereka gelisah dari hukum Allah dan Rasul-Nya dan menuduh tidak berhukum dengan benar

أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ

“ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka?”. (QS. An Nur: 50)

Maksudnya, dia menghukumi mereka dengan hukum yang zhalim dan buruk, namun inilah sifat mereka:

بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. An Nur: 50)

Adapun hukum Allah dan Rasul-Nya, berada pada puncak keadilan dan sesuai dengan hikmah:

وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. (QS. Al Baqarah: 138)

Beberapa ayat di atas menjadi dalil bahwa keimanan itu tidak hanya sekedar ucapan sampai diiringi dengan amal, oleh karenanya Allah menafikan keimanan orang yang berpaling dari ketaatan, dan kewajiban adanya keterikatan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya dalam semua keadaan, dan barang siapa yang mengkritisinya maka hal ini menunjukkan bahwa hatinya sakit dan ada keraguan dalam keimanannya, dan haram hukumnya berprasangka buruk kepada hukum syari’at dan mengira bahwa hukum syari’at bertolak belakang dengan keadilan dan hikmah.

Setelah disebutkan kondisi mereka yang berpaling dari hukum syar’i, Allah menyebutkan kondisi orang-orang yang beriman dan terpuji:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min..”. (QS. An Nur: 51)

Orang-orang yang sungguh beriman adalah mereka yang membenarkan keimanannya dengan amal mereka pada saat berdoa kepada Allah dan Rasul-Nya untuk berhukum dengan hukum-Nya baik yang sesuai dengan hawa nafsu mereka maupun yang tidak sesuai:

أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا

“Kami mendengar dan kami patuh”. (QS. An Nur: 51)

Maksudnya, kami mendengar hukum Allah dan Rasul-Nya untuk mengatur mereka dan kami menjawab orang yang mengajak kami kepadanya, kami taat sepenuhnya selamat dari kesalahan.

وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan merakalah orang-orang yang beruntung”. (QS. An Nur: 51)

Membatasi keberuntungan hanya milik mereka; karena keberuntungan adalah sukses meraih apa yang diminta, selamat dari yang tidak diinginkan. Dan keberuntungan hanya ada di hukum Allah dan rasul-Nya serta taat kepada keduanya. Setelah disebutkan keutamaan taat secara khusus, lalu disebutkan keutamaannya secara umum dalam semua kondisi, sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya”. (QS. An Nur: 52)

Dan membenarkan apa yang disampaikan oleh Allah dan rasul-Nya dengan mengamalkan perintah keduanya.

وَيَخْشَ اللَّهَ

“Dan takut kepada Allah”. (QS. An Nur: 52)

Takut kepada-Nya dengan rasa takut yang diiringi dengan pengetahuan, maka ia meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya, dan menahan diri dari apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya, oleh karenanya Dia berfirman:

وَيَتَّقْهِ

“Dan bertakwa kepada-Nya”.

Dengan meninggalkan yang dilarang; karena takwa -secara umum- masuk di dalamnya mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan jika disandingkan dengan kata: “Al Birr” dan “At Tha’ah” –sebagaimana di dalam ayat ini- maka ditafsiri menjaga diri dari adzab Allah dengan meninggalkan berbuat maksiat kepada-Nya.

فَأُولَئِكَ

“Maka mereka adalah”.

Yaitu; mereka yang telah menggabungkan antara taat kepada Allah dan rasul-Nya, takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya:

هُمُ الْفَائِزُونَ

“Mereka adalah orang-orang yang sukses”.

Mereka selamat dari adzab; karena mereka meninggalkan sebab-sebab turunnya adzab, dan mereka sampai kepada pahala; karena mereka mengerjakan sebab-sebab meraihnya. Kesuksesan diraih hanya oleh mereka. Adapun mereka yang mempunyai sifat selain dari sifat mereka, maka mereka tidak masuk dalam kreteria kesuksesan karena keteledoran mereka dari sifat-sifat yang terpuji tersebut”. (Tafsir As Sa’di)

Dan ingatlah wahai saudariku…

Bahwa dunia ini hanya kesempatan untuk berpergian beberapa waktu saja, seseorang tidak mengetahui kapan ajalnya akan tiba, maka yang lebih utama baginya untuk mempersiapkan dengan takdir Allah yang diridhoi-Nya dan tidak mendatangkan murka-Nya.

Ketahuilah bahwa syetan senantiasa membisikkan kepada anda untuk menunda-nunda sesuatu yang akan menghalangi anda untuk taat kepada Allah terjadi kepada anda, syetan akan menunggangi nafsu untuk diselewengkan, dan tidak meninggalkan kesempatan untuk menjauhkan seorang mukmin dari keutamaan kecuali dia akan selalu mengintainya, oleh karenanya sebagian ulama salaf berkata: “Waspadalah terhadap kata “Saufa” (akan); karena itu merupakan tentara dari tentara-tentaranya syetan”.

Wahai muslimah….

Sungguh hijab itu adalah kemuliaan dan keagungan, dan sebelum hal itu, hijab adalah sebab turunnya rahmat dan keridhoan Allah, sebagaimana di dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا  الأحزاب/59

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”. (QS. Al Ahzab: 59)

Jangan pernah meremehkan sepotong kain tersebut, karena dibaliknya menyimpan kesucian, penjagaan diri, akhlak dan etika. Hijab juga merupakan petunjuk para ummul mukminin dan para wanita yang shalihah. Petunjuk Khodijah, Fathimah, Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, dan semua wanita yang sholihah, taat, menjaga kesuciannya pada saat ditinggal oleh suaminya.

Wahai saudariku..

Sungguh yang menyayat hati adalah kami melihat banyak para cewek melakukan tabarruj (berpakaian tapi telanjang), ada di antara mereka tidak bermoral, tidak mempunyai rasa malu. Ia tidak ragu untuk menampakkan sisi tubuh dan perhiasannya yang mengundang fitnah, menyelisihi fitrah rasa malu yang dititipkan Allah kepada para wanita, akan tetapi –dengan tipu daya syetan- mereka tetap melakukannya dan mencari-cari alasan dalam bermaksiat.

Maka apakah setelah itu masih tersisa rasa malu untuk memakai hijab atau cadar ?, dan apakah kita ridho dengan keberanian para pelaku maksiat dengan kemaksiatannya dan mereka yang taat justru malu dengan ketaatan mereka, menjaga diri dan kesucian mereka.

Apakah perintah-perintah Allah menjadi remeh di dalam diri kita sehingga kita menjadikannya tujuan untuk hawa nafsu manusia dan pendapat mereka ??

Sungguh langkah pertama untuk bisa mengenakan hijab adalah sikap penerimaan akan kewajiban mengenakannya, dan berserah pada kepastian perintah Allah, tidak ada pilihan lain bagi seorang mukmin perempuan, Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman:

 وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا   الأحزاب/36

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzab: 36)

Lalu biasakan diri anda untuk tidak menghiraukan pandangan manusia dan kata-kata mereka, karena mencari keridhoan manusia adalah tujuan yang tidak mungkin digapai. Barang siapa yang (takut) pengawasan manusia akan meninggal dunia dengan kegalauan, dan yakinlah bahwa Allah ridha kepada anda dengan ketaatan anda. Ini merupakan awal dari rintangan anda untuk bisa istiqamah dan Allah akan mengganti setelah kesulitan anda dengan kemudahan. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 مَنِ التَمَسَ رِضَاءَ اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ ، وَمَنِ التَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ  رواه الترمذي (2414) وصححه الألباني في "السلسلة الصحيحة" (2311(

“Barang siapa yang mencari keridha’an Allah yang menyebabkan kemurkaan manusia, maka Allah akan mencukupkannya dari keperluan manusia, dan barang siapa yang mencari keridho’an manusia yang menyebabkan kemurkaan Allah, maka Allah akan menyandarkannya kepada manusia”. (HR. Tirmidzi: 2414 dan telah ditashih oleh Albani dalam Silsilah Shahihah: 2311)

‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- telah menulis hadits ini kepada Mu’awiyah setelah ia memnita nasehat kepada ‘Aisyah, beliau menulis jawabannya:

أما بعد ، فاتق الله ، فإنك إذا اتقيت الله كفاك الناس ، وإذا اتقيت الناس لم يغنوا عنك من الله شيئا ، والسلام

“Selanjutnya, bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya jika kamu berlindung kepada Allah maka Dia akan mencukupkanmu dari manusia, dan jika kamu berlindung kepada manusia maka mereka tidak akan mencukupkanmu dari Allah sedikitpun, Wassalam”.

Dan ingatlah bahwa manusia itu tergadaikan dengan amalnya, dan jika manusia sudah mengantarkannya ke kuburannya, mereka menimbunnya dengan tanah, maka dia tidak akan mendapatkan teman duduk kecuali amal sholehnya, pada saat itu semua sebab akan terputus kecuali sebab-sebab Maha Pencipta, maka hendaknya setiap orang dari kita bersiap-siap pada tempat yang agung tersebut ?!

Allah –ta’ala- berfirman:

 يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ . وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ . وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ . لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ عبس/34-37

“pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya,  dari isteri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya”. (QS. ‘Abasa: 34-37)

Dia juga berfirman:

 الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ  الزخرف/67

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”. (QS. Az Zukhruf: 67)

Jangan sampai anda menjadi orang-orang yang lalai, jangan sampai anda terbiasa dengan kata “nanti saja” dan menunda amal, bersegeralah menuju kebaikan sebelum terlambat, dunia ini hanya dalam hitungan hari dan syahwat yang fana.

Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah kepada kita semuanya dan semoga kita diberikan keteguhan di dunia dan akhirat.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam