Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Jika Wanita Mengalami Sebelum Thawaf Ifadhah dan Tidak Mungkin Tinggal

112271

Tanggal Tayang : 03-12-2009

Penampilan-penampilan : 44776

Pertanyaan

Insya Allah saya akan menunaian kewajiban haji pada tahun ini. Pertanyaan saya apa yang haru saya lakukan ketika mengalami haid. Saya tahu bahwa wanita haid dilarang melakukan thawaf dan dapat mengkonsumsi pil pencegah haid. Akan tetapi suami saya seorang dokter, dia melarang saya untuk meminum pil tersebut karena akan menyebabkan pendarahan. Pertanyaan saya adalah apakah yang harus saya lakukan, jika saya mengalami haid dan belum thawaf ifadah sedangkan saya tidak terikat dengan jadwal rombongan untuk kembali, sementara suami saya orang sibuk yang tidak dapat mengantar kembali ke Mekah untuk melakukan thawaf Ifadah sesudah suci. Sedangkan saya tinggal di Hail. Suami saya juga keberatan menitipikan saya kepada saudara-saudaranya di Jedah sambil menunggu masa suci saya, karena saya memiliki beberapa orang anak. Mohon penjelasannya agar saya tidak mengalami kebingungan.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama;  

Wanita haidh tidak sah thawafnya, berdasarkan riwayat Bukhari, no. 305, dan Muslim, no. 1211, dari Aisyah radhiallahu'anha bahwa dia ketika mengalami haidh sebelum masuk Mekah dalam haji Wada', maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya, "Lakukan sebagaimana yang dilakukan jamaah haji, hanya saja engkau tidak boleh thawaf di Baitullah sebelum suci) 

Imam Bukhari, no. 4401, dan Muslim, no. 1211, meriwayatkan dari Aisyah bahwa Shafiah binti Huyay, isteri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengalami haidh pada haji Wada, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, 'Apakah dia akan menghalangi kita?' maka aku katakan, 'Dia sudah (thawaf) ifadhah ya Rasulullah,' maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, berkata, 'Kalau begitu mari kita berangkat."

Hal ini menunjukkan bahwa wanita haid dilarang melakukan thawaf, dia harus tetap menunggu hingga suci. Jika dia safar (meninggalkan Mekah), maka dia harus kembali untuk thawaf. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.  

Jika seorang wanita khawatir keluar darah sebelum thawaf Ifadhah, sedangkan dia tidak mungkin tinggal menetap di Mekah dan tidak mungkin kembali ke Mekah setelah pulang, maka dia dibolehkan menggunakan obat pencegah haidh agar dapat melakukan thawaf. Bahaya yang mungkin terjadi akibat hal itu, adalah bahaya yang ditolerir, karena untuk meraih ibadah yang agung dan menunaikan sesuai aturan yang disyariatkan.  

Abdurrazaq telah meriwayatkan dalam Mushannafnya, 1/318, bahwa Ibnu Umar radhiallahu'anhu, ada seorang wanita yang keluar haidh dalam waktu lama, maka dia ingin meminum obat yang dapat menghentikan darah tersebut, maka Ibnu Umar menganggap hal itu sebagai masalah, dan dia bahkan menunjukkan air arook (sebagai resep obat baginya).  

Ma'mar berkata, 'Aku dengar saudara tiriku bertanya kepada bapakku dan dia menganggapnya tidak masalah.'  

Diriwayatkan dari Atha' bahwa dia ditanya tentang seorang wanita yang haidh, lalu dia mengkonsumi obat yang dapat menghentikan haidhnya, apakah dia boleh thawaf? Dia menjawab, 'Ya, jika dia suci. Apabila dia masih melihat sedikit darah, maka jangan thawaf."

Jika tidak memungkinkan baginya mengkonsumsi obat ini dan khawatir terjadi bahwa yang lebih besar, maka Syaikhu Islam Ibnu Taimiah, rahimahullah, berpendapat bahwa jika tidak mungkin baginya menetap di Mekah karena ditinggal rombongan, dan tidak mungkin pula kembali untuk thawaf setelah pulang, maka dia dalam keadaan terdesak. Maka hendaknya dia tutup kemaluannya yang dapat mencegah keluarnya darah, lalu dia thawaf. Dengan pendapat inilah sebagian ulama memberikan fatwanya.

Al-Lajnah Ad-Da'imah ditanya, "Seorang wanita datang dalam keadaan ihram untuk umrah, namun setelah tiba di Mekah dia mengalami haidh, sementara mahramnya harus segera safar dan tidak ada orang lain lagi (sebagai mahram) yang menemaninya di Mekah. Apa hukumnya?" 

Maka mereka berkata, "Jika perkaranya seperti disebutkan, yaitu haidhnya seorang wanita sebelum melakukan thawaf sedangkan dia sedang ihram, sedangkan mahramnya terpaksa harus safar, dan tidak ada orang lain lagi sebagai mahram atau suaminya di Mekah, maka gugurlah syarat  bersuci baginya dari haidh untuk masuk Masjidil Haram untuk thawaf karena kondisi terdesak. Mak hendaknya dia tutup kemaluannya lalu dia thawaf dan sai untuk umrah. Hanya saja, jika mudah baginya untuk melakukan safar lagi dan kembali ke Mekah bersama suami atau mahramnya, apakah karena jaraknya dekat atau dia memiliki kemampuan harta, maka hendaknya dia safar kembali menuju Mekah langsung setelah haidnya berhenti untuk melakukan thawaf umrah dalam keadaan suci.  

Karena Allah Ta'ala berfirman,

"Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian."

Dia juga berfirman,

"Allah tidak memberatkan seseorang kecuali sebatas kemampuannya."

Dia juga berfirman,

"Allah tidak menghendaki untuk kalian dalam agama sesuatu kesulitan."

Dia juga berfirman,

"Bertakwalah kalian semampu kalian."

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Jika kalian aku perintahkan, maka lakukanlah semampu kalian." (al-hadits) 

Masih banyak lagi nash-nash yang menunjukkan kemudahan dan diangkatnya kesulitan. Apa yang telah kami sebutkan telah difatwakan sejumlah ulama, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan muridnya Al-Allamah Ibnu Al-Qayim rahimahumallah." Demikian sebagaimana dikutip dari Fatawa Islamiyah, 2/238

Syekh Ibnu Utsaimin, rahimahullah, ditanya, "Seorang wanita mengalami haidh dan tidak belum melakukan thawaf ifadhah sedangkan dia tinggal di luar Saudi sementara waktu keberangkatan pulang telah tiba dan tidak dapat ditunda, dan mustahil baginya dapat kembali lagi. Bagaimana hukumnya?"

Beliau menjawab, "Jika perkaranya sebagaimana disebutkan bahwa seorang  wanita yang belum thawaf Ifadhah mengalami haidh dan tidak dapat tinggal di Mekah (untuk menunggu masa suci) atau kembali lagi ke Mekah jika dia pergi sebelum thawaf, dalam kondisi ini dibolehkan baginya melakukan salah satu dari dua perkara; Apakah dia melakukan suntik untuk menghentikan darahnya, lalu dia thawaf, atau dia menutup kemaluannya yang dapat mencegah menetesnya darah di masjid, lalu dia melakukan thawaf karena darurat. Pendapat yang kami kemukakan ini adalah pendapat yang kuat dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah. Berlawanan dari pendapat ini adalah salah satu dari dua perkara; Apakah dia tetap dalam keadaan ihramnya sehingga suaminya tidak dapat menggaulinya atau dia tidak dapat menikah kalau belum bersuami, atau dia menganggapnya dirinya terhalang, sehingga dia harus menyembelih seekor kambing lalu dia tahallul dari ihramnya, dan dengan demikian dia dianggap menunaikan ibadah haji. Kedua pilihan tersebut adalah perkara yang sulit. Sedangkan Allah berfirman, "Allah tidak menghendaki untuk kalian dalam agama sesuatu kesulitan." Dia juga berfirman, "Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian."  

Namun jika wanita tersebut mungkin baginya untuk pulang dan mungkin untuk kembali, jika telah suci, maka dibolehkan baginya untuk berangkat pulang. Jika telah suci dia melakukan thawaf haji. Selama itu (sebelum thawaf) dia tidak boleh digauli suaminya, karena dia belum tahallul tsani." (Fatawa Islamiyah, 2/237)

Thawaf bagi wanita haidh karena darurat, boleh difatwakan bagi wanita yang datang dari negeri jauh dan tidak mungkin menetap lebih lama di Mekah serta tidak mungkin kembali lagi setelah pulang untuk melakukan thawaf.  

Adapun bagi mereka yang tinggal di Biladul-Haramain (Arab Saudi), atau salah satu Negara teluk, maka mungkin baginya kembli ke Mekah untuk thawaf Ifadhah. Apabila dia tidak dapat menetap di Mekah untuk menunggu suci, dia boleh berangkat pulang, kemudian setelah suci dia kembali lagi untuk melakukan thawaf. Fatwa inilah yang sesuai dengan  kondisi anda. Maka tidak boleh anda melakukan thawaf dalam kondisi haidh, akan tetapi anda harus kembali jika suci untuk melakukan thawaf. Selama masa itu, dia tidak boleh berhubungan intim dengan suaminya, karena pada hakekatnya dia belum melakukan tahallul tsani.  

Syekh DR. Khalid bin Ali Al-Musyiqih, salah seorang dosen di Universita Qasim ditanya, "Seorang wanita mengalami haidh sebelum thawaf Ifadhah sedangkan dia terikat untuk berangkat dengan rombongan hajinya yang dia ikuti sebelum dirinya suci dari haidh. Apa yang harus dia lakukan? Perlu diketahui bahwa dia tidak dapat menunda keberangkatan pulangnya. Jazakumullah khairan.

Beliau menjawab, "Tentang wanita yang haidh sebelum thawaf Ifadhah, kondisinya dia dua perkara;  

Pertama, jika  datang dari negeri yang jauh seperti Maroko, Pakistan, India atau semacamnya (termasuk Indonesia)  maka dalam hal ini diambil pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, rahimahullah. Usahakan agar darahnya tidak berceceran lalu melakukan thawaf karena darurat.

Kedua: Jika dia datang dari negeri yang dekat, misalnya dia berada di dalam Kerajaan Arab Saudi, atau di Negara teluk. Dalam hal tersebut, tidak boleh baginya melakukan thawaf dalam keadaan haidh, tapi tunggu hingga suci, atau dia berangkat pulang dan setelah suci dia kembali lagi. Jika dia pulang, maka dia tetap dalam keadaan ihram dan belum tahallul tsani.

Wallahua'lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam