Alhamdulillah.
Dalam membayar zakat disyaratkan harus ada proses tamlik (penyerahan kepemilikan) dan îtâ (pemberian) kepada seorang fakir. Hal itu berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
( وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ )
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (QS. Al-Baqarah: 110).
Dan ayat lain:
وقوله : ( إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ ) التوبة/60
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin… (QS. At-Taubah: 60).
Huruf lam pada kata al-fuqara menunjukkan tamlik (penyerahan kepemilikan).
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz saat beliau mengutusnya ke Yaman, “Beritahu mereka (penduduk Yaman) bahwa Allah mewajibkan mereka zakat yang diambil dari harta mereka dan diberikan kepada kaum fakir mereka.” (HR. Bukhari, no: 1458. Muslim, no: 19).
Di dalam zakat ada kegiatan mengambil, memberi dan menyerahkan kepemilikan. Oleh sebab itu, zakat tidak akan berpahala bila hanya berupa pengguguran utang atau biaya sewa rumah terhadap seorang miskin. Ini adalah pendapat Jumhur ulama.
Tetapi bila Anda memberinya zakat Anda sendiri, kemudian dengan zakat itu ia membayarkan uang sewa rumahnya, tanpa pensyaratan dan akal-akalan dari Anda, maka tindakan itu tidak masalah.
An-Nawawi berkata dalam al-Majmu (6/196), “Bila seseorang memiliki piutang di tangan orang yang susah dan ia ingin menjadikannya sebagai zakatnya untuk orang itu dengan berkata, “Aku menjadikan piutangku itu sebagai zakatku untukmu,” maka zakatnya ini tidak berpahala. Ini adalah mazhab Abu Hanifah dan Ahmad. Sebab zakat itu masih berada dalam tanggungannya sehingga ia tidak terbebas dari tanggungan itu kecuali dengan menerima tangan harta zakat tersebut. Dan bila orang itu membayarkan zakatnya sambil mensyaratkan debitur agar melunasi utangnya dengan zakat itu, maka zakat itu tidak sah dan kewajiban zakatnya belum gugur. Selain itu, melunasi utang dengan zakat itu tidak sah, berdasarkan kesepakatan para ulama.”
Di dalam al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah (23/300) disebutkan:
Tidak boleh seorang kreditur menggugurkan piutangnya yang ada di tangan debiturnya yang fakir dan mengalami kesulitan ekonomi dan menganggapnya sebagai zakat harta pribadinya. Bila ia melakukan hal itu, maka zakatnya tidak berpahala. Ini adalah pendapat ulama mazhab Hanafi, Hambali dan Maliki (kecuali Asyhab), serta pendapat paling sahih dalam mazhab Syafi’i, dan pendapat Abu Ubaid. Sebab larangan ini adalah bahwa harta zakat merupakan hak Allah murni. Karena itu, seorang manusia tidak boleh membayarnya untuk maslahat pribadinya, atau untuk mengembangkan hartanya sendiri dan meminta pelunasan piutangnya.
Ada satu pendapat dalam mazhab Syafi’i, juga pendapat Asyhab dari mazhab Maliki yang dinukil dari al-Hasan al-Bashri dan Atha` yang membolehkan hal itu. Sebab bila seorang kreditur membayarkan zakatnya kepada debiturnya lalu ia mengambil zakat itu lagi dari tangan debiturnya untuk melunasi utangnya, maka tindakannya itu dibolehkan. Dan jika seorang kreditur membayarkan zakat hartanya kepada debiturnya, lalu sang debitur mengembalikan harta zakat itu lagi kepadanya sebagai pelunasan utangnya; atau jika seorang debitur meminjam uang dari pihak lain untuk melunasi utangnya, kemudian ia membayarkan uang itu kepada krediturnya, lantas kreditur mengembalikannya lagi kepadanya sebagai zakat hartanya, bila semua tindakan itu bukan tindakan tipuan atau akal-akalan, atau tidak bertujuan untuk menghidupkan kembali hartanya, maka hal itu dibolehkan menurut Jumhur ulama. Ini juga satu pendapat dalam mazhab Maliki.”
Syeikh Abdul Aziz ibn Baz rahimahullah pernah ditanya soal berikut:
Bila Anda memiliki piutang di tangan seorang yang sedang sakit atau orang fakir yang mengalami kesulitan ekonomi, bolehkah Anda mengugurkan utangnya itu dan menganggapnya sebagai zakat harta Anda untuknya?
Syeikh menjawab, “Itu tidak dibolehkan. Karena yang wajib dilakukan seorang kreditur adalah memberi penangguhan kepada debiturnya sampai ia mampu membayar. Juga karena zakat adalah penyerahan dan pemberian sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” Dan pembebasan utang bukanlah penyerahan ataupun pemberian, melainkan pengguguran, karena tujuann dari zakat seperti itu hanyalah menjaga harta, bukan menghibur kaum fakir. Tetapi Anda boleh memberi debitur Anda harta zakat karena kefakiran dan kebutuhannya, atau karena utang-utangnya. Dan bila ia membayarkan semua atau sebagian utangnya dengan harta zakat itu kepada Anda, maka hal itu tidak masalah, asalkan tindakannya itu bukan karena tekanan atau syarat yang Anda tetapkan kepadanya. Ia harus melakukannya dengan sukarela. Semoga Allah senantiasa membimbing semua orang dalam memahami agama-Nya dan konsisten menjalankannya.” (Fatawa asy-Syeikh Ibni Baz, 14/280). (Lihat pula jawaban soal no: 13901).
Wallahu a’lam.