Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Takut Kurang Menjadikan Ragu-ragu Cinta Bertemu Dengan Allah

125618

Tanggal Tayang : 01-06-2016

Penampilan-penampilan : 8294

Pertanyaan

Saya tahu bahwa manusia berakal mereka senantiasa mengingatkan dirinya dengan kematian. Cinta bertemu dengan Tuhannya. Akan tetapi ketakutanku karena kekurangan dalam meninggalkan kewajiban menjadikan ragu-ragu cinta dari pertemuan ini. Saya mohon nasehat dari anda dalam masalah ini?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Nasehat kami kepada anda dalam masalah ini, hendaknya anda bedakan antara dua ketakutan:

1. Ketakutan dari Allah yang menjadikan bertakwa kepada Allah dalam semua amalan. Dengan menjaga dalam ketaatan, menjauhi yang diharamkan, memperbanyak melakukan ibadah-ibadah sunah serta berbuat baik kepada sesama. Ketakutan ini terpuji dan diberi pahala dengan izin Allah

2. Takut bertemu Allah karena putus asa dari rahmat Nya. Dan melepaskan dari siksa-Nya. Tanpa hal itu ada dampak nyata dalam akhlak dan amalan anda. ini ketakutan tercela. Tidak bermanfaat, bahkan itu termasuk was was syetan yang menjadikan hamba Allah berputus asa dari rahmat-Nya.

Maka perhatikan saudaraku yang mulia, termasuk ketakutan mana anda diantara dua ketakukan kepada Allah?

Meskipun orang Islam diperintahkan senantiasa ada rasa takut kepada Allah dan takut dari siksa-Nya. Akan tetapi dia juga diperintahkan untuk masih menyediakan dalam hatinya ruang luas harapan Allah. Mengharap ampunan dan kebaikan-Nya. Berharap hal itu menjadikan tamak akan rahmat Allah dan tidak menjadi malas dalam beramal sholeh atau terjerumus ke haram. Ini kondisi halus seharusnya setiap muslim belajar dan berinteraksi dengan Allah.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ رضي الله عنه قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِثَلَاثَةِ أَيَّامٍ يَقُولُ : ( لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ) رواه مسلم (2877) .

“Dari Jabir bin Abdullah Al-Anshori radhiallahu anhu berkata, saya mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam tiga hari sebelum meninggal dunia bersabda: “Jangan salah seorang diantara kamu meninggal dunia kecuali dia berprasangka baik kepada Allah Azza Wa jalla.” HR. Muslim, 2877.

Allah ta’ala sangat luas rahmatnya kepada segala sesuatu dan Dia lebih menyayangi kita dibandingkan ibu kita kepada anak-anak kita. Oleh karena itu Imam Sofyan Tsauri rahimahullah mengatakan, “Saya tidak suka perhitungan kepada orang tuaku. Bisa jadi kebaikan diriku itu dari orang tuaku.” Selesai

Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama mengatakan, makna prasangka baik kepada Allah Ta’ala adalah dia menyangka Dia akan menyayangi dan memaafkannya. Mereka mengatakan, “Dalam kondisi sehat dia takut dan berharap dalam kondisi sama. Dikatakan, rasa takut yang lebih dominan. Ketika dekat tanda-tanda kematian, sisi harapannya lebih dominan atau hanya pengharapan saja. Karena maksud rasa takut menahan dari kemaksiatan dan kejelekan serta menjaga memperbanyak ketaatan dan amalan (kebaikan). Hal itu jarang atau kebanyakan (sulit) pada kondisi ini. Sehingga dianjurkan berbaik sangka. Yang mengandung kekurangan dan pengabdian kepada Allah Ta’ala. Hal itu dikuatkan dengan lanjutan hadits tadi:

( يبعث كل عبد على ما مات عليه )

“Setiap hamba akan dibangkitkan sesuai dengan kondisi kematiannya.”

Oleh karena itu Muslim mengomentari untuk hadits pertama seraya berkata para ulama maknanya adalah dibangkitkan dalam kondisi dia mati. Yang semisal itu hadits lainnya setelahnya:

( ثم بعثوا على نياتهم )

“Kemudian mereka dibangkitkan sesuai dengan niatannya.” Selesai ‘Syarkh Muslim, (17/210).

Imam Bukhori telah membuat dalam shohehnya satu bab dengan judul ‘Bab Ar-Raja’ Ma’al Khouf (Bab harapan disertai rasa takut). Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah dalam penjelasannya mengatakan, “Ungkapan  (Bab harapan disertai rasa takut) maksudnya anjuran hal itu. Jangan terputus harapan dari rasa takut dan jangan (terputus) rasa takut dari harapan. Agar tidak menjadikan yang permaka ke arah makar. Dan kedua ke arah putus asa. Keduanya tercela.

Maksud dari harapan adalah bahwa siapa yang terjerumus dari kekurangan, hendaknya dia berprasangka baik kepada Allah mengharap agar dihapus dosanya. Begitu juga dalam ketaatan mengharap agar diterimanya. Sementara kalau terjerumus dalam kemaksiatan mengharap  agar tidak dihukum tanpa ada penyesalan juga tidak meninggalkannya, ini termasuk berbangga diri. Alangka indahnya ungkapan Abu Utsman Al-Jaizi, “Diantara tanda kebahagiaan dia taat khawatir tidak diterima. Dan diantara tanda kesengsaraan adalah anda bermaksiat dan mengharap anda selamat.

Ibnu Majah telah mengeluarkan dari jalan Abdurrahman bin Said bin Wahb dari ayahnya dari Aisyah beliau bertanya:

( يا رسول الله ! ( الذين يؤتون ما آتوا وقلوبهم وجلة ) أهو الذي يسرق ويزني ؟ قال : لا ، ولكنه الذي يصوم ويتصدق ويصلي ويخاف أن لا يقبله منه ) .

“Wahai Rasulullah, firman Allah (Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut) apakah dia mencuri dan berzina? Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi dia puasa, bersodaqah dan shalat akan tetapi takut tidak diterimanya.

Semuanya ini disepakati anjurannya dalam kondisi sehat. Dikatakan, “Yang lebih utama rasa takut dalam kondisi sehat lebih dominan sementara waktu sakit sebaliknya. Sementara ketika dalam kondisi mendekati kematian, suatu kaum menganjurkan hanya focus pada harapan. Karena mengandung rasa membutuhkan kepada Allah Ta’ala. Karena yang dikhawatirkan adalah meninggalkan rasa takut terkadang kesulitan. Sehingga ditegaskan berprasangka baik kepada Allah dengan mengharap maaf dan ampunan-Nya. Dan dikuatkan hadist:

( لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بالله )

“Janganlah salah satu diantara kamu meninggal dunia kecuali dia dalam kondisi berprasangka baik kepada Allah.”

Lainnya mengatakan, “Asalnya tidak meremehkan sisi rasa takut dimana dia tidak dapat memastikan dia dalam kondisi aman. Dan dikuatkan apa yang dikeluarkan oleh Tirmizi dari Anas:

( أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل على شاب وهو في الموت ، فقال له : كيف تجدك ؟ فقال : أرجو الله وأخاف ذنوبي ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا يجتمعان في قلب عبد في هذا الموطن إلا أعطاه الله ما يرجو وآمنه مما يخاف )

“Sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam ketika masuk kepada seorang pemuda dalam kondisi menjelang mati, ditanyakan kepadanya, “Bagaimana anda dapatkan kondisi anda? dia menjawab, “Saya mengharap kepada Allah dan takut terhadap dosa-dosaku. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah berkumpul dua hal dalam hati seorang hamba dalam kondisi seperti ini kecuali Allah telah berikan apa yang diharapkan dan melindungi dari apa yang ditakutkan.”

Mungkin Bukhori mengisyaratkan hal itu dalam terjemah (bab). Ketika beliau tidak setuju dengan syaratnya disebutkan apa yang dapat diambil (hukumnya) meskipun tidak sama kejelasan dari maksudnya.” Selesai  selesai ‘Fathul Bari, (11/301).

Ibnu Qoyim rahimahullah mengatakan, “Telah jelas perbedaan antara prasangka baik dan bangga diri (gurur). Sesungguhnya prasangka baik (husnudzon) menghasilkan amal, menganjurkan, membantu dan mengarahkannya dan itu benar. Kalau mengajak kemalasan, bergelimang dalam kemaksiatan maka itu adalah bangga diri (gurur). Prasangka baik itu adalah harapan. Siapa yang harapan menjadikan dia taat dan menjauhi dari kemaksiatan maka itu termasuk harapan yang benar. Dan siapa yang kemalasannya itu sebagai harapan dan harapannya itu malas serta melalaikan maka itu termasuk berbangga diri.” Selesai ‘Al-Jawabul Kafi, hal. 24.syekh Abdul Aziz rahimahullah ditanya, “Apakah seorang mukmin wajib tidak takut dari kematian? Kalau hal ini ada, apakah artinya tidak ada keinginan bertemu dengan Allah?

Maka beliau menjawab, “Seharusnya orang mukmin lelaki dan wanita takut dan mengharap kepada Allah. Karena Allah Subhanahu berfirman dalam KitabNya yang Agung:

( فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ) آل عمران/175

“Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” QS. Ali Imron: 175.

Firman Allah Azza Wajallah:

( فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ ) المائدة/44

“Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku.” QS. Al-Maidah: 44

Firman-Nya, “dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).” QS. Al-Baqarah: 40. Dan Firman Allah:

( إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ) البقرة/218

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah.” QS. Al-Baqarah: 218.

Serta firman-Nya:

( فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا ) الكهف/110

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” QS. AL-Kahfi: 110.

Dan banyak sekali ayat-ayat Qur’an.

Orang mukmin lelaki dan wanita tidak diperbolehkan putus asa dari rahmat Allah. Juga merasa aman dari makarNya. Allah subahanhu berfirman:

( قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ) الزمر/53

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Az-Zumar: 53.

Firman-Nya, “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” QS. Yusuf: 87. Allah Azza Wajallah berfirman:

( أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ ) الأعراف/99 .

“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” QS. Al-A’raf: 99

Maka seluruh umat Islam baik lelaki maupun wanita seharusnya mempersiapkan untuk kematian. Dan hati-hati dari kelalaian. Berdasarkan ayat-ayat tadi. Juga sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi sallallahu alaihi wasallam bersabda:

( أكثروا من ذكر هادم اللذات )

“Perbanyak dari mengingat kematian (pemisah kelezatan.” Maksudnya kematian. Karena lalai darinya dan tidak ada persiapan termasuk sebab suul khotimah. Telah ada dari Aisyah radhiallahu anha berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

( من أحب لقاء الله أحب الله لقاءه ، ومن كره لقاء الله كره الله لقاءه  فقلت : يا نبي الله : أكراهية الموت ؟ فكلنا نكره الموت ، قال : ليس كذلك ، ولكن المؤمن إذا بشر برحمة الله ورضوانه وجنته أحب لقاء الله فأحب الله لقاءه ، وإن الكافر إذا بشر بعذاب الله وسخطه كره لقاء الله فكره الله لقاءه ) متفق عليه .

“Siapa yang ingin bertema dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya. Siapa yang tidak suka bertemu dengan Allah, maka Allah tidak suka bertemu dengannya. Saya bertanya, “Wahai Nabi Allah, apakah takut dari kematian? Semua kita tidak suka dengan kematian. Beliau menjawab, “Bukan begitu, akan tetapi seorang mukmin ketika diberi kabar gembira dengan rahmat, keredoaan dan surga Allah. sehingga dia senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya. Sementara orang kafir ketika diberi kabar siksa dan kemurkaan Allah, dia tidak suka bertemu dengan Allah sehingga Allah tidak suka bertemu dengannya.” Muttafaq alaihi.

Hadits ini menunjukkan bahwa tidak suka kematian dan takut darinya tidak mengapa, hal itu tidak menunjukkan tidak suka bertemu dengan Allah. Karena seorang mukmin ketika tidak menyukai kematian atau takut kedatangan-Nya menjadi pemicu untuk bertambah taat kepada Allah dan mempersiapkan untuk pertemuannya. Begitulah orang mukmin ketika takut dari kematian dan tidak suka kedatangannya, melakukan hal itu karena berharap semakin menambah ketaatan dan persiapan bertemu dengan Tuhannya.” Selesai ‘Fatawa Syekh Ibnu Baz, (6/313).

Kesimpulan jawabannya adalah bahwa rasa takut dari Allah dan takut bertemu dengan-Nya. Kalau yang menjadi pendorong takutnya karena kekurangan pada hak-hak Allah hal itu tidak mengapa. Bahkan hal itu terpuji. Dan selayaknya menjadi pemicu untuk mempersiapkan untuk hari itu dengan amalan sholeh dan bertaubat nasuha serta menjauhi kemaksiatan.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam