Kamis 6 Jumadil Ula 1446 - 7 November 2024
Indonesian

HUKUM MENGHIAS MASJID DAN HUKUM MENULIS DOA DAN AYAT (AL-QUR’AN) DI DINDINGNYA

127987

Tanggal Tayang : 24-06-2011

Penampilan-penampilan : 56044

Pertanyaan

Kami sekarang dalam proses pembangunan dan renovasi masjid yang berada di daerah kami, di Amerika. Sebagian donatur (muhsinin) menawarkan kepada kami akan menanggung hiasan dinding dalam masjid dengan sebagian ayat-ayat Qur’an serta hiasanan agama. Yang mana nantinya –dengan izin Allah- jauh dari pandangan orang-orang shalat –agar tidak mengganggu atau melalaikan dari shalat, sebagaimana lukisan ini merupakan ungkapan sebagian doa-doa, ayat-ayat untuk membantu bagi yang belum hafal doa-doa dan ayat-ayat (bisa) langsung membacanya di dinding. Lebih dari itu akan akan menambah keindahan masjid yang dapat diperkenalkan kepada sebagian pengunjung non muslim bagaimana umat Islam mempunyai perhatian terhadap tempat-tempat ibadah. Disamping itu, dengan adanya ornamen khusus, akan menarik antara anak-anak kita terhadap bangunan islami. Apalagi mereka hidup di sini tidak mengenal sedikit pun tentang wawasan bangunan. Apa hukum masalah ini?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Memakmurkan masjid, membangun, mengagungkan dan memeliharanya termasuk ibadah yang agung dan pendekatan yang mulia di sisi Allah. Namun, bukan merupakan memakmurkan (masjid) yang diharapkan dengan menulis ayat, hadits, doa-doa di dinding. Karena maksud tulisan adalah hiasan untuk pamer, yang mengganggu orang-orang shalat dalam shalatnya. Menjadikan masjid (seperti) museum, tempat-tempat rekreasi. Sebagaimana yang terjadi –amat disayangkan sekali- di kebanyakan negara. Hal ini bukan sebagai kebanggaan umat Islam. Akan tetapi prilaku dia menunjukkan kecenderungan kepada dunia, dan ingin mengungguli bangunan orang kafir, atau memamerkan pemerintah lain. Sesungguhnya memakmurkan masjid menurut kami adalah mendirikan shalat, beri’tikaf, mengajar dan zikir kepada Allah. Bukan dengan menghiasi berbagai macam bebatuan, tidak juga dengan berbagai macam warna cat, tidak juga berbagai ornamen bentuk tulisan ayat, dan ditulis di dalamnya hadits dan doa-doa.

Kedua:

Menggantungkan ayat-ayat Qur’an di dinding rumah atau masjid adalah bid’ah makruh. Imam Malik rahimahullah ditanya tentang masjid, apakah dimakruhkan menulis di kiblat (dinding) dengan cat seperti ayat kursi, ‘qul huwallahu ahad, Al-Mu’awizataini (Al-falaq dan An-Nass) atau yang semisalnya. Beliau mengatakan, saya memakruhkan untuk menulis sesuatu dari Al-Qu’ran dan membuat dekorasi (ornamen) di kiblat masjid, dan (beliau menambahkan dengan) berkata bahwa hal itu mengganggu orang shalat. Begitu juga hendaklah menyingkirkan apa yang mereka perbuat dengan dengan menempelkan tiang ke dinding kiblat, apa yang ditulis di dinding dan tiang. Begitu juga hendaknya menyingkirkan sobekan kiswah (kain penutup) Ka’bah yang ditempelkan di mihrab dan lainnya. Karena kesemuanya itu termasuk bid’ah dan  belum pernah dilakukan orang sebelumnya. (Al-Madkhol , Ibnu Muflih, 2/215)

Karena Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Ta’ala bukan sebagai hiasan di dinding. Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Tidak diperkenankan menulis Al-Qur’an dengan sesuatu yang najis. Dan dimakruhkan menulisnya di dinding menurut (madzhab) kami.” (At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, hal. 110)

Ibnu Hamam Al-Hanafi juga berkata: “Dimakruhkan menulis Qur’an dan Nama-nama Allah Ta'ala di dirham (mata uang), mihrab (tempat imam), di dinding dan apa yang dihamparkan.”(Fathul Qadir, 1/310, ditegaskan juga oleh As-Safarini Al-Hanbali dalam kitab ‘Ghiza'ul-Albab, 2/211)

Syekh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah ditanya: “Apa huku menulis ayat dan hadits di dinding masjid?'

Beliau menjawab: “Ini mengganggu orang, sementara tulisan ayat baik di dinding masjid atau lainnya, adalah  bagian dari bid’ah. Tidak ada contoh dari shahabat bahwa mereka mengukir dinding (masjid) dengan ayat. Disamping mengukir ayat di dinding, dapat menjadi semacam penghinaan terhadap Kalamullah. Oleh karena itu mereka menulias ayat bagaikan di istana atau tempat azan atau masjid atau semisal itu, mengukir tulisan bagaikan di istana. Tidak diragukan lagi ini termasuk menyia-nyiakan terhadap kitab Allah Azza Wa jalla. Kemudian kalau kita terima ditulis dengan tulisan arab yang difahami, maka hal itu bukan termasuk petunjuk (ulama’) salaf. Apa faedahnya dari tulisan di dinding? Sebagian orang mengatakan, sebagai pengingat untuk orang-orang. Maka kami katakan, mengingatkan dengan ucapan bukan dengan tulisan ayat.

Kemudian terkadang ditulis di dinding ( وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضاً ) الحجرات/ 12 “Dan janganlah sebagian kamu mengguncing sebagian lainnya.” SQ. Al-Hujurat: 12. Engkau jumpai yang dibawahnya mengguncing orang. Maka bagaikan menghina terhadap ayat-ayat Allah. Jadi tulisan ayat di masjid dan di dinding rumah semuanya adalah bid’ah yang belum dikenal waktu zaman salaf.

Sedangkan tulisan hadits, kalau di kiblat masjid, maka tidak diragukan lagi itu pasti mengganggu, karena dapat menyebabkan sebagian makmum melirik tulisan itu dalam shalat. Para ulama rahimahumullah memakruhkan seseorang menulis sesuatu di kiblat masjid. Sementara kalau di rumah, tidak mengapa menulis hadits jika ada faedahnya. Seperti tulisan doa penutup majelis,

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَن لاَ إِلَهَ إَِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكً وًأًتٌوبٌ إِِلَيهِ

Karena hal itu dapat menjadi pengingat. (Liqa Bab Al-Maftuh, 197/ soal no. 8)

Syekh Shaleh AL-Fauzan hafizahullah ditanya: “Apa hukum menggantungkan ayat Al-Qur’an di dinding?” Beliau menjawab: “Seharusnya, menghormati Al-Qur’an Al-Karim adalah dengan membaca, mentadaburi dan mengamalkannya. Adapun kalau digantung/ditempel di dinding merupakan kesia-siaan, dapat berakibat melecehkannya.

Teriadang dinding dihias dengan berbagai dekorasi, gambar dan tulisa, lalu Al-Qur’an dijadikan  bagian dari itu. Terkadang ditulis dengan cara diukir, maksudnya hanya sebagai pemandangan semata.

Prinsipnya Al-Qur’an harus dijaga dari perkara yang sia-sia ini. Dahulu para salaf tidak pernah melakukan hal ini. Al-Qur’an diturunkan bukan untuk ditulis di dinding. Akan tetapi diturunkan untuk ditulis dalam hati dan terlihat dampaknya pada prilaku dan sikap sehari-hari.  (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh AL-Fauzan, 2/77)

Silakan lihat perincian yang bermanfaat dalam soal jawab no. 254 dan no.97497

Ketiga:

Adapun tulisan hadits dan doa di dinding masjid, yang lebih selamat adalah meninggalkannya. Karena tujuannya tiada lain –umumnya- hanya untuk hiasan. Tapi kalau tujuannya ingin memberikan manfaat kepada oranga agar dapat menghafal dan mengingat lafaz-lafaznya, maka hal itu dibolehkan, jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:

1. Jangan menuliskan hadits dan doa-doa di dinding secara langsung, karena tulisan seperti itu tidak dapat dihilangkan dan tidak dapat dimanfaatkan serta dipindah dari tempatnya kalau orang-orang yang  shalat telah menghafalnya. Akan tetapi, hendaknya ditulis di kertas dinding yang mudah ditempel dan dicopot.  Tulisan diutamakan berisi pengetahuan yang dibutuhkan umat Islam sesuai dengan musim-musim tertentu.

2. Tidak diletakkan di arah kiblat shalat agar tidak mengganggu jamaah shalat.

3. Tidak menggunakan hiasan dalam menulis yang dapat menghilangkan keagungan hadits dan doa.

4. Menjauhi tulisan yang tidak dapat dibaca, atau menjadikan seperti bentuk burung atau orang sujud dan semisalnya

5. Rutin menggantinya sesuai dengan kebutuhan orang, untuk menghilangkan kebodohan atau mengingatkan keutamaan atau menguatkan hafalan.

Keempat:

Adapun hiasan di dinding masjid, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Pendapat yang kuat adalah melarangnya. Terutama apabila hiasan tersebut diambil dari dana wakaf atau dapat melalaikan dan mengganggu orang yang shalat, atau mengeluarkan dana besar untuk (membuat) seperti itu.

Dari Anas radhiallahu anhu, sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ   

(رواه أبو داود، رقم  449 ، والنسائي، رقم  689،  وابن ماجه، رقم   739 وصححه الألباني في صحيح أبي داود)

“Tidak (akan) terjadi hari kiamat, sampai orang-orang saling membanggakan masjidnya.”

(HR. Abu Daud, no. 449, Nasa’i, no. 689, Ibn Majah, no. 739 di shahihkan oleh Al-Al-bany dalam Shahih Abu Daud)

Dan diriwayatkan oleh Bukhari, 1/171 dari Anas bin Malik radhiallahu anhu:

 " يَتَبَاهَوْنَ بِهَا ، ثُمَّ لاَ يَعْمُرُونَهَا إِلاَّ قَلِيلاً   (والأثر وصله ابن أبي شيبة في المصنف ،  1 / 309 ، وفيه رجل مجهول)

“Mereka saling membanggakannya, kemudian tidak ada yang memakmurkan melainkan sedikit.”

(Atsar ini disambungkan sampai kepada Nabi sallallahu’alaihi wa sallam oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf, 1/309. Di dalamnya ada perawi yang tidak dikenal)

Badruddin Al-Aini rahimahullah berkomentar: ”Ungkapan 'Yatabahaun' dengan baris fathah  huruf ha’ berasal dari kata ‘Al-Mubahah’ yaitu ‘Al-Mufakharah’, artinya adalah mereka memperelok dan menghiasi mesjid kemudian mereka duduk, lewat dan saling membanggakan dan tidak disibukkan dengan zikir, bacaan AL-Qur’an dan shalat. Ungkapan ‘Biha’ yakni ‘Bil masajid (dengan masjid-masjid)’, konteknya menunjukkan seperti itu." (Umdatul Qari, 4/205)

Diriwayatkan oleh Bukhari, 1/171 dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma ungkapan ‘Sungguh (mereka) akan menghiasanya sebagaimana orang Yahudi dan Nashrani menghiasinya.’

Atsar ini disambungkan sampai ke Nabi sallallahu’alihi wa sallam oleh Ibn Abi Syaibah dalam kitab ‘Al-Mushonnaf, 1/309 dan juga ulama lain. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab ‘Tahqiq Islah Al-Masajid Minal Bida’i Wal ‘Awaid, karangan Jamaluddin Al-Qasyimi, 94, dan dalam Shahih Abu Daud yang lengkap, 2/347.

Al-Baghawi rahimahullah berkata: “Ungkapan Ibnu Abbas ‘Sungguh (mereka) akan menghiasnya sebagaimana orang Yahudi dan Nashrani menghiasnya.’ Maknanya bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani mulai meghiasi masjid setelah mereka merubah ajaran agamanya, dan kalian kondisinya akan menjadi seperti mereka. Kalain akan saling pamer masjid, saling membanggakan dengan keelokan dan hiasannya." (Syarh As-Sunnah, 2/350)

Dalam Al-Mausu’ah AL-Fiqhiyyah, 11/275 dinyatakan: “Diharamkan menghias dan memahat masjid atau mendekorasinya dengan dana wakaf menurut (madzhab) Hanafiyah dan hanbaliyah. Ulama kalangan Hanbali dengan tegas mewajibkan mengganti dana wakaf yang dipakai untuk itu, karena hal itu tidak ada kemaslahatan di dalamnya. Sedangkan dari kalangan ulama Syafi’iyyah, yang tampak dari perkataan mereka adalah melarang menggunakan dana wakaf untuk itu. Jika ada orang yang mewakafkan untuk keduanya –memahat dan mendekorasi masjid- (maka wakafnya) tidak sah menurut pendapat terkuat di kalangan mereka. Adapun  kalau memahat dan mendekorasi dari dana orang yang memahat, maka itu dimakruhkan            –dengan sepakat- secara mutlak jika menyebabkan orang shalat menjadi lalai, misalnya jika terletak di mihrab dan di dinding kiblat.” 

Para Ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya, tentang proyek untuk membangun hiasan masjid. Mereka menjawab: “Pekerjaan ini tidak dianjurkan, berdasarkan hadits shahih yang melarang menghiasi masjid. Dan karena hal itu menganggu orang shalat dalam shalatnya dengan memandang dan termenung dengan hiasan dan pahatan itu.

Syekh Abdul Aziz Ali Syekh, Syekh Abdullah Gadyan, Syekh Sholeh AL-Fauzan Syekh Bakr Abu Zaid

(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, jilid kedua, 5/191)

Masalah tulisan ayat dan hiasan masjid telah dikumpulkan dalam satu fatwa dalam Fatawa Al-Lajnah d-Daimah, dengan mengatakan: “Tidak diperkenankan menghiasi masjid, dan tidak juga menulis ayat Qur’an di dindingnya. Karena hal itu mengarah kepada penistaan Al-Qur’an, juga (mengarah) kepada hiasan masjid yang terlarang, serta mengganggu orang shalat dari shalatnya dengan melihat tulisan dan pahatan itu."

Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdul Aziz Ali Syekh, Syekh Abdullah Gudyan, Syekh Sholeh Al-Fauzan, Syekh Bakr Abu Zaid

(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, jilid kedua, 5/190)

Wallallahu’alam .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam