Senin 24 Jumadil Ula 1446 - 25 November 2024
Indonesian

Apakah Islam Melihat Non Muslim Dengan Mata Kasih Sayang dan Kelembutan ?

Pertanyaan

Bagaimanakah pandangan Islam terhadap kemanusiaan ?, apakah ia menyuruh kepada kecintaan dan menghormati orang lain sebagai makhluk manusia, tanpa melihat agama dan ras mereka ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Sungguh pandangan Islam kepada kemanusiaan adalah penuh kasih sayang, kelembutan, dan tidak mungkin untuk selain ini; karena agama Islam adalah agama terakhir yang telah disyari’atkan oleh Allah Ta’ala, dan telah menyuruh semua manusia untuk memeluknya, sebagaimana Allah Ta’ala juga telah mewahyukan dengan agama ini dan telah menurunkannya ke hati makhluk-Nya yang paling penyayang Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan bukti dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

الأنبياء/107

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al Anbiya’: 107)

Dan kita bisa mengambil dalil dari Al Qur’an, Sunnah dan Sirah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang akan menguatkan makna ini, dan menjadi jelas pada banyak gambaran, di antaranya adalah:

  1. Dakwah kepada Islam, dan menyelamatkan manusia dari kesyirikan dan kekufuran

Dan dalam hal itu telah ada perintah di dalam Al Qur’an dan Sunnah kepada umat Islam untuk mengajak manusia bertauhid kepada Allah, mendermakan harta, waktu dan jiwa di jalan itu; dan tidaklah yang demikian itu kecuali menjadi rahmat bagi semesta alam; untuk menyelamatan mereka dari menyembah kepada sesama  hamba menuju beribadah kepada Rabbnya para hamba (Allah), dan untuk mengeluarkan mereka dari sempitnya dunia menuju luasnya dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

آل عمران/104 .

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali Imron: 104)

  1. Berbakti kepada kedua orang tua, berbuat baik kepada keduanya, meskipun keduanya adalah kafir.

Bahkan meskipun keduanya berusaha di jalan untuk menghalangi anak-anak mereka dari Islam, dan menyuruh mereka untuk berbuat syirik dan kifur !, dan dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ . وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

لقمان/ 14 ، 15 .

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Luqman: 14-15)

  1. Berwasiat kepada tetangga, meskipun mereka non muslim.

Dan bisa jadi anda tidak melihat agama, manhaj, dan undang-undang mengajak manusia untuk memperhatikan tetangga dan mementingkannya, berwasiat untuk menjaganya, memperhatikan haknya, kehormatannya, seperti Islam, Allah Ta’ala berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ  مَنْ كَانَ مُخْتَالاً فَخُوراً

النساء/ 36

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,”. (QS. An Nisa’: 36)

Al Qurtubi –rahimahullah- berkata:

“Nauf As Syami berkata: “Dan tetangga yang dekat” yang muslim, dan “Tetangga yang jauh” yang yahudi dan nasrani.

Saya berkata: “Dan atas dasar ini, maka berwasiat kepada tetangga memang diperintah, disunnahkan, baik tetangga yang muslim atau non muslim, inilah yang benar. Dan berbuat baik ini bisa jadi berarti peduli, dan bisa jadi berarti baik dalam bergaul, dan tidak menyakiti dan melindungi. Bukhori telah meriwayatkan dari ‘Aisyah dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

ما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت أنه سيورثه

“Jibril senantiasa berwasiat kepadaku tentang tetangga, sampai saya mengira bahwa ia akan memberikan warisan kepadanya”.

Dan telah diriwayatkan dari Abu Syuraih bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

والله لا يؤمن والله لا يؤمن والله لا يؤمن) قيل : يا رسول الله ومن ؟ قال : (الذي لا يأمن جارُه بوائقَه

“Demi Allah, tidak sempurna keimanan seseorang, demi Allah tidak sempurna keimanan seseorang, demi Allah tidak sempurna keimanan seseorang”, dikatakan: Wahai Rasulullah, siapa ?, beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya”. 

Hal ini umum untuk semua tetangga, dan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memastikan untuk tidak menyakitinya dengan sumpah beliau sebanyak tiga kali, dan bahwa tidaklah sempurna keimanan seseorang yang telah menyakiti tetangganya, maka sebaiknya bagi seorang mukmin untuk mawas diri dalam menyakiti tetangganya, dan menahan diri dari larangan Allah dan Rasul-Nya, dan mencintai apa yang Allah dan Rasul-Nya meridhoinya, dan menganjurkannya kepada para hamba-Nya”.

(Tafsir Al Qurtubi: 5/183-184)

  1. Keadilan, Ihsan dalam berinteraksi dengan orang kafir yang tidak harbi (ekstrimis)

Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman:

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

الممتحنة/ 8 .

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah: 8)

Syeikh Abdurrahman As Sa’di –rahimahullah- berkata:

“Yaitu; Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, berinteraksi, memberi imbalan dengan baik, berlaku adil kepada orang-orang musyrik dari kerabat kalian dan yang lainnya, karena mereka sebelumnya dalam kondisi belum terlibat memerangi kalian dalam agama, dan mengusir kalian, maka tidak ada dosa bagi kalian untuk berinteraksi dengan mereka, karena interaksi mereka dalam kondisi seperti ini tidak ada larangan di dalamnya dan tidak ada kerusakan”. (Tafsir As Sa’di: 856)

  1. Haram memerangi orang-orang kafir yang berada dalam perjanjian, dan peringatan keras dalam hal itu.

Dari Abdullah bin Amr –radhiyallahu ‘anhuma- dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَداً لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَاماً رواه البخاري 2995

“Barang siapa yang memerangi kafir (yang dalam ikatan perjanjian) maka ia tidak akan mencium aroma surga, dan sungguh aromanya akan tercium dalam radius perjalanan 40 tahun”. (HR. Bukhori: 2995)

Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:

“Maksudnya adalah barang siapa yang mempunyai perjanjian dengan umat Islam, baik dengan akad bayar jizyah (pajak), atau kesepakatan dengan penguasa, atau mendapat suaka dari seorang muslim”. (Fathul Baari: 12/259)

  1. Haram mendzolimi orang kafir (yang berada dalam perjanjian), dan membebani di atas kemampuannya

Telah ada di dalam hadits dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوْ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رواه أبو داود ( 3052 ) وصححه الألباني في " صحيح أبي داود " .

“Ketahuilah, bahwa barang siapa yang telah mendzolimi orang kafir (yang terikat perjanjian) atau meremehkannya atau memberikan beban di luar kemampuannya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa ridhonya, maka aku akan menjadi (pembela) argumentasinya pada hari kiamat”. (HR. Abu Daud: 3052 dan telah ditashih oleh Albani dalam Shahih Abu Daud)

Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Barang siapa yang datang ke negara kami dari orang-orang kafir untuk bekerja, berbisnis, dan telah mendapatkan izin untuk itu; baik dengan terikat perjanjian atau mendapatkan suaka, maka tidak boleh memusuhinya, dan telah ditetapkan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

أن من قتل معاهَداً لم يرح رائحة الجنة

“Bahwa barang siapa yang memerangi kafir (yang dalam perjanjian) maka ia tidak akan mencium aroma surga”.

Kami umat Islam ini berserah diri kepada urusan Allah ‘Azza wa Jalla, mereka menghormati semua yang dituntut oleh Islam untuk menghormatinya termasuk orang kafir (yang dalam perjanjian dan keamanan), lalu barang siapa yang merusak hal itu; maka ia telah mencederai Islam, dan telah menampakkan kepada manusia dengan penampakan terorisme, kelicikan, pengkhianatan. Dan barang siapa yang berkomitmen kepada Islam dan menghormati janji dan akad; maka inilah yang diharapkan kebaikan dan keberuntungannya”. (Fatawa Syeikh Al Utsaimin: 25/493)

  1. Mengharamkan Permusuhan dan wajibnya berlaku adil

Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُواْ

“Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka)”. (QS. Al Maidah: 2)

Dan firman Allah Ta’ala:

وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. Al Maidah: 8)

Syeikh As Syinqithi –rahimahullah- berkata:

“Maka lihatlah apa yang ada di dalam ayata-ayat ini dari akhlak yang mulia, dan perintah untuk bergaul dengan orang yang telah bermaksiat kepada Allah kepadamu, agar kamu mentaatinya”. (Adhwa’ Al Bayan: 3/50)

Kedua:

Disertai dengan penjelasan sebelumnya bahwa sebaiknya dikuatkan pada beberapa hakekat penting berikut ini:

  1. Apa yang dilihat pada dunia terkait dengan apa yang menyelisihi apa yang telah disebutkan sebelumnya, sungguh hal itu termasuk keberanian perbuatan para sahabat beliau, dan tidak sebaiknya dinisbatkan kepada Islam, dan pada setiap agama terdapat seseorang yang menyelisihi ajaran-ajaran beliau, dan tidak berkomitmen kepada hukum-hukumnya.
  2. Bahwa apa yang dilihat oleh bumi dan penduduknya dari kalangan orang-orang kafir, tidak bisa dibandingkan sama sekali dengan prilaku umat Islam, dua kali perang dunia yang merenggut korban 70 juta orang mereka ini orang nasrani.

Dan puluhan juta umat Islam telah dibunuh ditangan orang-orang nasrani pada perang salib dan yang lainnya, termasuk orang komunis, yahudi, hindu, saikh, dan rincian dari hal itu begitu panjang, dan di sana tidak ada orang yang mengingkari hal ini kecuali, orang yang telah menon-aktifkan pikirannya.

Kemudian penjajahan negara-negara umat Islam, dan mengeruk sumber daya alamnya dahulu dan masih berjalan sekarang melalui tangan orang-orang kafir dari semua agama, maka hendaknya hal ini ada dalam jangkauan pikiran saat berbicara tentang teori Islam untuk kemanusiaan, cinta, kelembutan, dan orang-orang yang objektif dari para sejarawan hendaknya membandingkan antara pembebasan yang dilakukan oleh umat Islam kepada negara-negara lain, dan antara perang salib –misalnya- bagaimana kondisi masing-masing dari keduanya, maka akan terlihat dengan jelas antara kasih sayang dan kekerasan, antara cinta dan kebencian, antara kehidupan dan kematian.

  1. Apa yang telah disebutkan sebelumnya tentang Islam dan teorinya kepada orang-orang kafir, dan hukum-hukum yang telah dibawanya adalah sangat mencintai, berlaku lembut, dan kasih sayang; tidak berarti berlepas diri dari hukum-hukumnya dan terkadang dihapuskan oleh sebagian orang yang luntur di antara kita, di antaranya adalah:
  1. Di dalam Islam diharamkan rasa cinta dalam hati, berlaku loyal kepada orang-orang kafir, dan barang siapa yang berfikir akan mampu membedakan antara kebaikan, keadilan, kelembutan, kasih sayang, yang kita telah diperintahkan hal itu kepada orang-orang kafir yang bukan harbi (ekstrimis), dan antara larangan dari cinta dalam hati dan yang apa yang menghalangi kita terhadap orang-orang kafir, disebabkan karena kekufuran mereka kepada Allah Rabb ‘Alaminin dan ketidak-Islaman mereka.
  2. Tidak dihalalkan bagi kita untuk menikahkan anak-anak perempuan kita, para saudari, para wanita kita dengan seseorang kafir apapun agamanya, akan tetapi dibolehkan bagi kita untuk menikahkan –saja- dengan para wanita ahli kitab yang mampu menjaga kesucian dirinya dari kalangan yahudi dan nasrani; dan tidak diragukan lagi bahwa akidah dan tauhid mempunyai peran utama pada masalah hukum ini, keislaman seorang wanita ahli kitab yang menikah dari salah seorang laki-laki muslim adalah dekat dan mungkin terjadi, dan fitnahnya seorang muslimah pada agamanya dengan menikahkannya dengan laki-laki non muslim adalah mungkin dan dekat, dan hukum ini sesuai sekali dengan kasih sayang yang telah dibawa oleh hukum agama yang agung ini, kasih sayang kepada wanita ahli kitab, mudah-mudahan akan masuk Islam, dan dengan seorang muslimah untuk tidak meninggalkan agamanya.   
  3. Dalam Islam tidak ada paksaan kepada orang kafir untuk masuk Islam; karena keikhlasan, kejujuran termasuk syarat diterimanya Islam, dan Allah Ta’ala besabdar:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

“Tidak ada paksaan dalam agama”. (QS. Al Baqarah: 256)

  1. Dan di dalam Islam ada rajam bagi pezina muhshon (yang sudah menikah), dan dan potong tangan pencuri, dan hukum cambuk bagi penuduh yang lalai, dan kita tidak malu dari semua syari’at ini, bahkan kita meyakini dengan tegas bahwa bumi ini semuanya membutuhkan untuk mewujudkanya, dan barang siapa yang telah melakukan hal itu, mereka akan hidup aman pada kehormatan mereka, harta mereka, jiwa mereka, dari ancaman buruk yang akan menimpa mereka, dan barang siapa yang berfikir dari para pemikir terkait hukum ini, maka ia akan mengetahui bahwa syari’atnya adalah untuk pencegahan –sejak awal- dari keberanian seseorang untuk melakukannya, dan barang siapa yang memikirkan kondisi umat lain, dan melihat penyebaran pemindahan hak milik dan banyaknya pencurian, dan menyebarnya pembunuhan, maka diketahui bahwa sangat dibutuhkan untuk menghentikan hal ini, dan bahwa hukum Islam ini di dalamnya terdapat hikmah, kasih sayang, keadilan dan perbaikan.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam