Alhamdulillah.
Masalah: “Perbedaan atau berubahnya fatwa dengan perbedaan/berubahnya waktu dan tempat”, kami memiliki beberapa pandangan:
1.Wajib diketahui bahwa hukum-hukum syar’i yang bersumber dari al Qur’an dan Hadits tidak bisa dirubah, meskipun ada perubahan waktu dan tempat, seperti haramnya khomr (minuman keras), zina, riba, durhaka kepada kedua orang tua, dan hukum-hukum yang serupa lainnya, tidak akan berubah dengan berubahnya waktu dan tempat; karena hukum-hukum tersebut sudah ditentukan secara tekstual dalam wahyu yang merupakan penyempurna syari’at ini.
2. Sebagian orang yang menuruti hawa nafsunya, menjadikan kaidah di atas sebagai pijakan untuk bermain-main dengan hukum syari’at yang telah ditetapkan oleh wahyu yang suci, dan untuk melunturkan hukum-hukum agama yang telah ditetapkan oleh para ulama sejak generasi awal umat ini. Mereka tidak tepat menjadikan kaidah di atas sebagai dalil, kaidah tersebut juga tidak mendukung tujuan mereka; karena redaksi kaidah di atas adalah masalah “fatwa” bukan dalam hal “hukum-hukum syari’at”, antara keduanya sangat berbeda; yang pertama dalam masalah ijtihad sesuai dengan realita yang ada, perbedaan realita dan waktu akan mempengaruhi fatwa dengan pertimbangan perubahannya.
Syeikh Muhammad bin Ibrahim –rahimahullah- berkata:
“…Dan hukum Allah dan Rasul-Nya tidak ada perbedaan dengan berbedanya waktu, perubahan keadaan dan kejadian, tidak lah ada suatu masalah apapun kecuali hukumnya ada di dalam al Qur’an dan sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, baik secara tekstual atau diambil kesimpulannya atau yang lainnya. Hanya diketahui oleh orang yang mengetahuinya, dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya. Bukanlah maksud dari apa yang telah disebutkan oleh para ulama: “Berubahnya fatwa dengan berubahnya waktu” sesuai dengan apa yang mereka perkirakan, yaitu; bisa diartikan sesuai dengan keinginan syahwat kebinatangan, tujuan keduniaan dan cara pandang mereka yang salah. Oleh karenanya anda mendapati mereka sangat membelanya dan menjadikan teks wahyu menjadi dalil kedua setelah kaidah di atas, bahkan jika memungkinkan mereka akan merubah firman Allah dari tempat-tempatnya, dengan demikian maka arti dari kaidah di atas akan menjadi: “Berubahnya fatwa tergantung dengan berubahnya waktu dan keadaan”. Namun maksud dari para ulama tentang kaidah tersebut adalah: “Selama pengaitnya secara mendasar dari dalil-dalil syar’i, dan sebab-sebab yang diperhatikan dan beberapa kemaslahatan yang menjadi tujuan Allah –ta’ala- dan Rasul-Nya”. (Fatawa Syeikh Muhammad bin Ibrahim: 12/288-289)
3. Pendapat yang mengatakan bahwa hukum-hukum syari’at yang ditetapkan dengan wahyu bisa berubah berarti boleh merubah agama, merubah hukum-hukumnya, artinya akan berujung pada bolehnya menghapus (hukum-hukum) setelah syari’at ini sempurna dan sepeninggal Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Perlu diketahui bahwa hasil ijma’ saja tidak bisa menghapus hukum yang baku dalam syari’at kecuali jika sumber ijma’ tersebut berdasarkan wahyu juga. Kalau tidak maka akan terjadi bolehnya merubah syari’at.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata: “Kami dahulu memahami pendapat mereka yang bermaksud bahwa “ijma’” merujuk pada nash (dalil baku) yang nasikh (menghapus), ternyata mereka menjadikan ijma’ sendiri sebagai nasikh (yang bisa menghapus hukum tertentu). Jika seperti ini yang mereka maksud, maka ini akan menjadi pendapat yang membolehkan kaum muslimin merubah agama dan Nabi mereka, sebagaimana perkataan orang-orang Nasrani, bahwa al Masih memerintahkan kepada ulama mereka untuk mengharamkan sesuatu yang menurut mereka membawa maslahat, dan menghalalkan sesuatu yang menurut mereka membawa maslahat, bukanlah seperti ini agama umat Islam. Para sahabat Nabi juga tidak merubah hukum yang ada, barang siapa yang meyakini bahwa para sahabat membolehkan seperti itu, maka ia harus disuruh bertaubat, namun wewenang seorang hakim dan mufti hanya bisa berijtihad, ketika ijtihadnya benar mendapat dua pahala, dan ketika salah mendapat satu pahala. (Majmu’ Fatawa: 33/94)
Ini adalah merupakan karasteristik syari’at yang agung dan hukum-hukumnya yang qath’i (pasti).
Imam Syatibi –rahimahullah- berkata ketika menjelaskan tentang keistimewaan hukum-hukum syari’at yang qath’i (pasti):
“Hukum syari’at itu tetap langgeng dan tidak lenyap; oleh karena itu anda tidak mendapatkan nasakh (penghapusan) setelah disempurnakan, juga tidak ada takhsis (pembatasan) pada dalil umumnya, juga tidak ada yang muqayyad (tertentu) pada dalil muthlaqnya (belum tertentu), juga tidak ada pembatalan dari hukum-hukumnya, juga tidak karena umunya para mukallaf, juga bukan karena dikhususkannya sebagian dari mereka, juga bukan terkait dengan waktu tertentu, juga bukan terkait dengan keadaan tertentu, bahkan apa yang telah ditetapkan menjadi sebab, maka selamanya menjadi sebab dan tidak dibatalkan, dan yang menjadi syarat maka selamanya menjadi syarat, dan yang wajib selamanya akan menjadi wajib, atau yang mandub (sunnah) juga menjadi sunnah selamanya, demikian juga semua hukum, tidak ada yang hilang dan tidak berubah, jika semua kewajiban dikekalkan tanpa batas, maka hukumnya pun akan demikian”. (Al Muwafaqaat: 1/109-110)
4. Batasan kaidah di atas dalam dua hal:
a. Perubahan terjadi dalam fatwa, bukan dalam hukum syar’i yang ditetapkan dengan dalilnya.
b. Perubahan terjadi karena berubahnya waktu, tempat dan kebiasaan pada satu daerah tertentu.
Ibnul Qayyim –rahimahullah- telah menggabungkan kedua batasan di atas dalam pernyataannya:
“Pasal: Tentang perubahan fatwa, perbedaannya tergantung dengan berubahnya waktu, tempat, keadaan, niat dan kebiasaan”. Ini adalah pasal yang berharga, beliau –rahimahullah- menyebutkan banyak contoh, maka lihatlah dalam: “I’lamul Muwaqqi’in: 3/3 dan seterusnya).
Kami akan menyebutkan beberapa contoh:
a. Barang temuan misalnya, akan berbeda dari satu daerah ke daerah lain, dan dari waktu ke waktu dalam hal mengukur nilai barang temuan tersebut, bisa langsung dimiliki tanpa diinformasikan atau tidak, maka dalam masalah ini akan berbeda termasuk dalam satu negara sekalipun, nilai berharganya barang tersebut itu akan berbeda di perkotaan dan pedesaan.
b.Zakat fitrah juga demikian, sebagaimana diketahui bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menetapkannya dengan makanan pokok sebanyak satu sha’, dan dalam teks hadits tersebut adalah “sya’ir” (gandum kualitas rendah), kurma, dan “al Iqthi” (keju), kesemuanya itu bukan termasuk makanan pokok pada banyak negara saat ini, sya’ir misalnya sekarang sudah menjadi makanan binatang, kurma sekarang menjadi makanan pelengkap, al iqth sekarang sudah sedikit sekali dikonsumsi, atas dasar inilah para ulama berfatwa untuk setiap negara sesuai dengan makanan pokok masing-masing, sebagian mereka berfatwa zakat fitrah dengan beras, sebagian yang lain dengan jagung, dan seterusnya.
Tidak diragukan bahwa hukum syar’i tetap dan tidak berubah, yaitu: kewajiban membayar zakat fitrah, tetap juga dalam masalah ukuran, sedangkan perbedaan hanya terjadi pada jenis makanan yang dibayarkan.
Dalam kaitannya dengan ini terdapat banyak contoh di antaranya: talak (perceraian), pernikahan, sumpah, dan lain sebagainya dalam masalah-masalah dalam syari’at.
Al Qarafi –rahimahullah- berkata:
“Apa saja yang baru dari sebuah ‘urf (adat dan kebiasaan), maka jadikanlah sebagai bahan pertimbangan, dan apa yang sudah usang maka tinggalkanlah, dan janganlah anda terpaku dengan apa yang ada di dalam buku-buku saja sepanjang hidup anda, bahkan jika ada seseorang yang datang kepada anda dari daerah lain meminta fatwa, maka janganlah anda menjawab dengan pertimbangan ‘urf yang ada di negara anda, tanyakan dulu kepadanya tentang ‘urf yang ada di daerahnya, maka jawaban anda pun harus mempertimbangkan ‘urf di daerah tersebut. Jadi fatwa anda didasari dengan pertimbangan ‘urf daerah tersebut meskipun tidak ada di dalam literatur anda, inilah kebenaran yang nyata.
Terpaku hanya kepada literatur saja adalah kesesatan dalam agama, dan tidak memahami tujuan dari para ulama kaum muslimin dan generasi terdahulu. Atas dasar kaidah inilah dibahas tentang akad perceraian, memerdekakan hamba sahaya, dan semua transaksi yang jelas maupun yang kinayah (kiasan), akad yang jelas bisa jadi kinayah maka membutuhkan niat, dan yang kinayah jika sudah jelas maka tidak diperlukan lagi niat”. (Al Furuq: 1/321)
Ibnul Qayyim –rahimahullah- telah memuji fiqh yang detail ini setelah menukil perndapat di atas dengan berkata:
“Inilah inti dari fiqh, dan barang siapa yang berfatwa hanya berdasarkan dengan apa yang tertera di dalam literatur buku-buku tanpa pertimbangan ‘urf, kebiasaan, waktu, keadaan dan qarinah (pelengkap), maka ia telah sesat dan menyesatkan, dan kesalahannya terhadap agama lebih berat dari pada seorang dokter yang mengobati banyak orang dari berbagai daerah, yang berbeda kebiasaan, waktu dan tabiat mereka, dengan berdasarkan pada satu buku dari banyak buku-buku kedokteran. Maka dokter seperti ini adalah dokter yang bodoh, demikian juga seorang mufti justru akan lebih bahaya lagi karena menyangkut masalah agama. Allah Maha Penolong”. (I’lam Muwaqqi’in: 3/78)
Wallahu a’lam.