Alhamdulillah.
Pertama:
Diantara wanita yang telah disepakati oleh para ulama bahwa ia termasuk yang diharamkan untuk dinikahi adalah menikahi dua wanita bersaudara, berdasarkan firman Allah yang menyebutkan di antara wanita yang haram dinikahi adalah:
( وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ ) [النساء/23]
“…dan menggabungkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara”. (QS. An Nisa’: 23)
Al Qurthubi berkata: “Merupakan hasil ijma’ dari pada umat bahwa menggabungkan pernikahan dua wanita yang bersaudara dalam satu akad berdasarkan ayat ini”. (Al Jami’ li Ahkamil Qur’an: 5/116)
Dan di dalam fatwa Lajnah Daimah: 18/235 disebutkan: “Menggabungkan dua wanita bersaudara dalam satu akad hukumnya adalah haram berdasarkan nash-nash yang nyata dari al Qur’an dan Sunnah, baik keduanya itu saudara kandung atau saudara se-ayah atau se-ibu, baik keduanya itu saudara senasab atau sesusuan, merdeka ataupun hamba sahaya atau satunya merdeka dan satunya hamba sahaya, ini merupakan hasil ijma’ dari kalangan para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- dan tabi’in dan semua ulama salaf. Ibnul Mundzir juga meriwayatkan tentang ijma’ dalam masalah tersebut”.
Oleh karena itu:
Jika ayahmu telah menikahi ibumu setelah menceraikan bibimu (adik/kakak dari ibu), masa iddahnya pun telah berlalu, maka tidak masalah.
Namun jika ia menikahi ibumu sebelum menceraikan bibimu, atau sebelum masa iddahnya berlalu, maka pernikahannya bathil (tidak sah) dan harus dipaksa untuk berpisah, dan haram menjadikan hatinya terpaut dengan laki-laki tersebut.
Jika masa iddahnya sudah berlalu, maka ia boleh menikah dengan ibumu dengan akad baru dan mahar baru.
Kedua:
Pernikahan tersebut meskipun bathil (tidak sah) namun secara nasab anak-anaknya tetap dinisbahkan kepadanya, anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan bathil tidak dianggap sebagai anak zina, karena dilihat dari sisi adanya syubhat dalam akad nikahnya, bisa jadi ia menganggap bahwa berpisah secara fisik dari istri pertamanya karena harus tinggal di rumah sakit, dibolehkan menikahi saudaranya.
Ibnu Qudamah al Maqdisi berkata kepada siapa saja yang menikah dengan dua wanita yang bersaudara: “Jika salah seorang dari mereka berdua mempunyai anak atau keduanya mempuanyai anak, maka nasabnya tetap kepada bapaknya; karena bisa jadi karena pernikahan yang sah dan benar atau pernikahan yang rusak”. (Al Mughni: 6/582)
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Barang siapa yang telah menikahi seorang wanita dengan pernikahan yang rusak (bathil) yang benar-benar tidak sah atau pernikahan yang masih ada perdebatan tentang kerusakannya, ia pun telah menggaulinya karena dianggap sebagai istrinya, maka semua anak dari pernikahan seperti itu tetap dinisbahkan kepada laki-lakinya, juga mendapatan hak warisan sesuai dengan kesepakatan umat Islam”.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, kemudian ia menggabungkan dengan anak saudarinya (keponakan perempuannya).
Beliau menjawab:
“Pernikahan mereka ini tidak benar, bahkan bathil, maka menjadi suatu kewajiban untuk dipisah dari isteri yang terakhir, karena akad dengan yang terakhir tersebut adalah haram, dengan akad tersebut tetap tidak berlaku tuntutan hukum-hukum nikah yang lain, kecuali jika sudah terlanjur mempunyai anak dalam keadaan ia belum mengerti hukumnya, maka anak-anaknya tersebut nasabnya tetap kepada bapaknya dan menjadi anak kandung se-ayah dan se-ibu”.
Wallahu a’lam.