Alhamdulillah.
Selayaknya bagi setiap muslim menjaga redaksi-redaksi zikir yang disyariatkan dan terdapat riwayatnya dalam shalat atau selainnya, semampunya.
Berdasarkan riwayat Bukhari (347) redaksi dari beliau dan riwayat Muslim (2710), dari Barra bin Azib radhiallahu anhu, dia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ ثُمَّ قُلْ : اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ ، لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ . اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ . فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ فَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ . وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَتَكَلَّمُ بِهِ.
“Jika engkau hendak tidur, maka berwudulah seperti wudhu hendak shalat, kemudian berbaringlah di sisi kananmu, kemudian bacalah;
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ ، لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ . اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ .
“Ya Allah saya serahkan wajahku kepada-Mu, saya pasrahkan urusanke kepadaMu. Dan baringkan punggungku kepadaMu. Dalam kondisi harap dan takut kepadaMu. Tidak ada tempat kembali dan tempat keselamatan dariMu kecuali kepadaMu. Ya Allah, saya beriman dengan kitabMu yang Engkau turunkan dan dengan NabiMu yang Engkau utus.
Jika engkau mati pada malam itu, maka engkau mati dalam keadaan fitrah, dan jadikan dia akhir dari apa yang engkau ucapkan.
Dia berkata, “Lalu aku ulangi di hadapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam (doa tersebut), ketika tiba pada bacaanku
اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ
Aku membaca
وَرَسُولِكَ
Beliau berkata, “Bukan, tapi…
وَنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Al-Maziri dan selainnya memilih pendapat bahwa sebab pengingkaran adalah bahwa karena ini merupakan zikir dan doa, maka hendaknya membatasi diri dengan redaksi persisi sebagaiman riwayat yang disampaikan. Boleh jadi balasannya terkait dengan huruf-hurufnya, dan boleh jadi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diwahyukan dengan kata-kata tersebut, sehingga harus dibaca persis sebagaimana adanya. Inilah adalah pendapat yang baik.”
Syarah Muslim (17/33)
Yang menguatkan hal itu adalah terkait dengan redaksi tasyahhud, sebagaiman diriwayatkan oleh Muslim (403), dari Ibnu Abas radhiallahu anhuma, dia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan kami tasyahud sebagaiamana beliau mengajarkan kami surat dalam Al-Quran.”
Hal ini menunjukkan kuatnya penekanan agar menjaga redaksi tasyahud sebagaimana adanya.
Ibnu Abi Jamrah rahimahullah berkata, “Keserupaan ini dalam hal menjaga huruf-hurufnya, urutan kata-katanya dan larangan menambah atau mengurangi, mempelajarinya dan memeliharanya.” (Fathul Bari, 11/184)
Kedua:
Jika seseorang membaca
وأشهد أن محمدا رسول الله
Sebagai ganti membaca
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
Tidaklah bermasalah, karena tidak keluar dari redaksi Nabi. Karena lafaz
وأشهد أن محمدا رسول الله
Adalah riwayat Muslim (403), sedangkan An-Nasai meriwayatkan dengan redaksi
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
Jika tertukar redaksi tasyahud dan redaksi-redaksi dalam shalawat Nabi namun masih tidak keluar dari redaksi yang bersumber dari Nabi, maka tidak ada masalah baginya dan shalatnya sah.
Adapun jika rancunya menyebabkan berubahnya makna, jika hal itu terjadi sebelum salam shalat, hendaknya dia mengulangi bacaan tasyahudnya dengan cara yang benar. Jika baru diketahui setelah salam shalat, jika waktunya masih dekat dari selesainya, hendaknya dia kembali tasyahhud dan mengulanginya kemudian dia salam dan melakukan sujud sahwi.
Jika sudah terjadi setelah berselang lama, maka hendaknya dia mengulangi shalatnya (dari awal).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Jika orang yang shalat keliru atau lupa dalam tasyahud akhir, apakah dia mengulangi tasyahud dari awal atau dari tempat kelirunya?”
Beliau menjawab, “Hendaknya dia mengulangi dari tempat kelirunya, kemudian dia membaca bacaan yang tadi salah dan bacaan sesudahnya, karena urutannya harus dilakukan.”
(Fatawa Nurun Alad-Darbi, 7-8/148)
An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Al-Majmu (3/441), “Tasyahud harus dibaca secara urut. Jika urutannya ditinggalkan, maka dinilai, jika hal itu dapat menyebabkan perubahan yang merusak makna, maka shalatnya tidak sah dan shalatnya batal jika dia sengaja. Karena itu berarti ucapan di luar shalat. Jika tidak merubah maknya, maka pendapat dalam mazhab adalah shalatnya sah. Dan inilah yang benar.”
Wallahu a’lam.