Alhamdulillah.
Pertama:
Seorang muslim tidak meragukan bahwa semua perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam mengandung hikmah dan kebaikan yang banyak. Hikmah dan kebaikan ini kadang tersembunyi pada sebagian orang, dan kadang tampak pada sebagian lainnya.
Yang diwajibkan bagi seorang muslim adalah tunduk dengan perintah Allah Ta’ala ketika dia mendengarnya walaupun dia belum mengetahui hikmah dan kebaikan yang terkandung di dalamnya dengan keyakinannya yang sempurna bahwa tidaklah syariat memerintahkan sesuatu, kecuali di dalamnya terdapat kebaikan bagi seorang hamba dan tidaklah syariat melarang sesuatu, kecuali di dalamnya terdapat kerusakan dan bahaya bagi mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
(وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً) الأحزاب/36 .
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (SQ. Al-Ahzab: 36)
Maka, kondisi seorang mukmin terhadap perintah dan berita dari Allah Ta’ala, adalah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayim, “Menerima dan tunduk sempurna atas perintah-Nya dan mendengar beritanya dengan penerimaan dan pembenaran, tanpa menentangnya berdasarkan khayalan yang dia anggap sebagai logika, atau syubhat dan keraguan atau dia dahulukan pandangan manusia di atasnya.” (Madarijus-Salikin, 2/387)
Az-Zuhri berkata,
"مِنْ اللَّهِ الرِّسَالَةُ ، وَعَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَلَاغُ ، وَعَلَيْنَا التَّسْلِيمُ
“Ajaran dari Allah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertugas menyampaikannya dan tugas kita adalah menerimanya.” (HR. Bukhari dengan cara ta’liq)
Tidak diragukan lagi bahwa di antara hikmah hukum-hukum syariat adalah menguji seorang hamba agar menjadi jelas, siapa yang taat dan siapa yang maksiat, selain bahwa di dalamnya terdapat kebaikan dan mencegah keburukan.
Kedua:
Tidak dibolehkan bagi seorang wanita untuk melakukan safar kecuali bersama mahram laki-lakinya. Hal tersebut berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ (رواه البخاري، رقم 1862)
“Tidak boleh seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahram.” (HR. Bukhari, no. 1862)
Jika dia sudah tiba di sebuah kota, tidak disyaratkan agar sang mahram selalu mendampinginya. Bahkan, apabila dia telah tiba di tempat tujuan, maka dia boleh pergi di dalam kota seorang diri, apabila ia dapat menjaga dirinya.
Penjelasan tentang ini telah diuraikan dalam jawaban soal no. 114272
Para ulama menyebutkan bahwa di antara hikmah disyaratkannya mahram dalam safar adalah untuk melindungi dan menjaga sang wanita, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Muflih dalam kitab Al-Mubdi’, 3/101, “Tujuan adanya mahram adalah melindungi wanita.”
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Hikmah dilarangnya wanita melakukan safar tanpa mahram adalah memberikan perlindungan bagi wanita dari keburukan dan kerusakan serta menjaga mereka dari gangguan orang jahat dan fasik.” (Majmu Fatawa Wa Rasa’il, 24/258)
Adanya mahram dalam safar akan melindungi dan menjaga seorang wanita dan mengurus segala urusannya. Sebab safar merupakan sumber keletihan dan kesulitan, sedangkan seorang wanita, karena kelemahannya membutuhkan orang yang menolong dan mendampinginya.
Jika seorang wanita menderita sakit dalam safar sedangkan dia tidak bersama mahramnya, maka siapakah yang membopongnya, dan siapa yang dapat bermalam di sisinya, siapa yang dapat mengurus keperluannya?
Maka, mahram dapat melindungi seorang wanita, karena seorang wanita, tabiatnya adalah lemah, tidak kuat menghadapi orang-orang yang lemah jiwanya yang ingin memanfaatkan kesendiriannya dengan mengganggu dan melecehkannya, khususnya jika yang duduk disampingnya di pesawat atau di kendaraan atau di kereta, orang yang tidak takut terhadap Allah dan tidak bertakwa kepadaNya.
Jika seorang wanita bersama mahramnya (suaminya atau selainnya) maka tidak ada orang jahat yang berani mengganggunya. Tentu anda mengatahui berita tentang para wanita yang mengalami pelecehan di berbagai tempat dan kota. Jika dia bersama mahramnya, apakah anda perkirakan dia akan mengalami hal seperti itu?
Al-Haitsam bin Adi berkata, “Seorang wanita yang sangat cantik mendatangi Mekah. Ketika Umar bin Abi Rabi’ah sedang thawaf, dia melihatnya, maka hatinya tertarik, lalu dia mendekatinya dan mengajaknya berbicara. Namun sang wanita tersebut tidak menoleh kepadanya.
Pada malam kedua, dia kembali merayu wanita tersebut agar dapat berbuat sesuatu terhadapnya. Namun sang wanita berkata, “Hendaklah engkau menjauh dariku, ini di tempat mulia dan di hari-hari mulia.” Namun laki-laki itu terus mendesaknya, hingga akhirnya sang wanita tersebut takut orang itu akan mencelakakannya.
Maka, pada malam berikutnya, sang wanita tersebut berkata kepada saudara laki-lakinya, “Wahai saudaraku, temanilah aku untuk menunjukkan kepadaku manasik yang belum aku ketahui.” Maka berangkatlah dia bersama saudaranya.
Ketika Amr melihatnya, dia hendak mendekatinya lagi, namun ketika dia melihat ada saudara laki-lakinya, maka dia mengurungkan niatnya.
Wanita tersebut seperti perkataan seorang penyair:
Srigala akan memangsa hewan yang tidak dijaga oleh anjing,
dan dia akan menghindar apabila ada hewan yang melindunginya.
Saat kisah ini disampaikan kepada Amirul Mukminin Al-Manshur Al-Abbasy, dia berkata, “Aku berharap semua gadis bangsa Quraisy mendengarkan berita ini.” (Uyunul Akhbar, 1/404)
Bahkan termasuk saat seorang wanita menghadap dokter apabila ada keperluan. Salah seorang dokter terpercaya mengabarkan tentang dirinya dengan berkata, “Pembicaraannya terhadap wanita yang masuk tanpa mahram berbeda dengan pembicaraannya dengan wanita yang masuk bersama mahram.
Kami berharap bahwa hikmah disyaratkannya adanya mahram bagi wanita yang melakukan safar untuk memberikan perlindungan kepadanya menjadi jelas.
Kelalaian sebagian laki-laki untuk menunaikan kewajibannya, atau adanya sejumlah kejadian yang menunjukkan tidak adanya kebaikan dari adanya mahram secara nyata, tidak merubah hukum ini sedikitpun, karena patokannya adalah perkara umum yang terjadi di tengah masyarakat, bukan kejadian sedikit yang jarang.
Wallahua’lam.