Alhamdulillah.
Al-Muflis adalah orang yang hutangnya lebih banyak daripada harta yang dimilikinya.
Apabila para kreditur meminta kepada hakim untuk membatasi kewenangan seseorang terhadap penggunaan hartanya dan membagikan harta yang dimilikinya kepada mereka, maka dia harus merespon mereka dalam masalah itu.
Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullah menjelaskan hukum-hukum Al-Hajru dan Al-Muflis berikut ini :
1. Makna Al-Hajru dalam syariat adalah mencegah manusia untuk menggunakan hartanya. Dalilnya dalam Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala,
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمْ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَاماً وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوفاً * وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
النساء/5 ، 6
“Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan)-mu yang Allah jadikan sebagai pokok kehidupanmu. Berilah mereka belanja dan pakaian dari (hasil harta) itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Ujilah anak-anak yatim itu (dalam hal mengatur harta) sampai ketika mereka cukup umur untuk menikah. Lalu, jika menurut penilaianmu mereka telah pandai (mengatur harta), serahkanlah kepada mereka hartanya.” (QS. An-Nisa’ : 5-6).
Kedua ayat ini menunjukkan bahwasanya orang yang belum sempurna akalnya dan anak yatim dihalangi untuk mengelola hartanya, supaya harta tersebut tidak rusak dan sia-sia (hilang). Dan bahwasanya ia tidak boleh menyerahkan harta itu, kecuali setelah pandai mengatur harta. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mencegah beberapa sahabat mengelola hartanya, agar supaya mereka dapat melunasi hutangnya.
2. Al-Hajru ada dua macam.
Pertama, mencegah manusia demi untuk memenuhi bagian orang lain, seperti mencegah orang yang pailit, agar supaya ia bisa memenuhi bagian para kreditur (pemberi pinjaman).
Kedua, mencegah manusia demi untuk kemaslahatannya, agar supaya hartanya tidak hilang dan rusak, seperti mencegah anak kecil, orang yang belum sempurna akalnya dan orang gila.
3. Macam yang pertama yaitu mencegah manusia demi untuk memenuhi bagian orang lain, maksudnya di sini adalah mencegah orang yang pailit (Muflis). Sedangkan Muflis adalah orang yang memiliki hutang yang sudah jatuh tempo dan harta yang ada pada dirinya tidak mencukupi untuk melunasi, maka dia dihalangi untuk menggunakan hartanya, supaya tidak membahayakan para kreditur.
Adapun debitur (orang yang punya hutang) yang kesulitan, yang tidak mampu untuk melunasi hutangnya, maka ia tidak dituntut untuk itu (diberlakukan hukum Al-Hajru), akan tetapi diberikan tenggang waktu, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ .
“Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.” (QS. Al-Baqarah : 280).
Sedangkan debitur yang memiliki kemampuan untuk melunasi hutangnya, maka tidak boleh diberlakukan Hajr pada dirinya, karena hal itu tidak dibutuhkan, tetapi dia disuruh untuk melunasi hutangnya jika para kreditur menuntutnya. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
مَطْلُ الْغَنِّيِّ ظُلْمٌ
“Mengulur-ulur waktu pembayaran hutang bagi yang mampu adalah kezaliman.”
Maksudnya, orang yang mampu membayar hutang namun mengulur-ulur waktu pembayaran hutang adalah kezaliman, karena ia menghalangi penunaian hak-hak manusia lainnya. Jika ia enggan melunasi hutang-hutangnya, maka ia dijatuhi hukuman penjara. Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan, “Siapa yang mampu melunasi hutangnya, namun ia enggan, maka ia boleh dipaksa untuk melunasinya dengan dipukul atau dipenjara. Hal itu dinyatakan oleh para imam dari kalangan pengikut Malik, Syafi’i, Ahmad dan lainnya. Saya tidak melihat ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ رواه أحمد وأبو داود وغيرهما
“Penundaan pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang yang mampu membayarnya menghalalkan kehormatan (untuk dighibah) dan hukumannya.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan lainnya). Kata ‘Irdhuhu maknanya adalah komplainnya, sedangkan ‘Uqubatuhu maknanya adalah ditahan. Orang yang mengulur-ulur waktu pelunasan hutang, berhak mendapatkan hukuman berupa ditahan dan dita’zir. Hukuman itu dilakukan berulang-ulang hingga ia melunasi hutangnya. Jika ia bersikeras mengulur-ulur waktu pembayaran, maka hakim boleh melakukan intervensi. Dia boleh menjual hartanya dan menutupi hutangnya dari hasil penjualan itu, karena hakim berposisi sebagai orang yang enggan membayar hutang, dan demi menghilangkan risiko pada para kreditur. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.”
4. Dari penjelasan sebelumnya jelaslah bahwasanya debitur (penerima pinjaman) mempunyai dua keadaan, yaitu :
Keadaan pertama, hutangnya dengan pembayaran yang ditangguhkan. Maka ia tidak dituntut melunasi hutangnya, hingga hutangnya jatuh tempo. Ia tidak wajib membayar hutangnya sebelum jatuh temponya. Apabila ia memiliki harta yang lebih sedikit daripada hutang dengan pembayaran tangguh, maka tidak diberlakukan Hajr karena hal itu, dan tidak dicegah untuk menggunakan hartanya.
Keadaan kedua, hutangnya jatuh tempo. Dalam keaadan seperti ini, debitur memiliki dua kondisi.
Pertama, hartanya lebih banyak dari hutang yang harus dibayarnya. Dalam keadaan seperti ini, ia tidak diberlakukan Hajr pada hartanya, akan tetapi ia disuruh untuk melunasi hutangnya apabila kreditur menuntutnya. Jika ia enggan membayar, dia ditahan atau dita’zir hingga bersedia membayar hutangnya. Jika ia sabar terhadap penahanan dan ta’zir serta enggan melunasi hutang, maka hakim turut campur dan melunasi hutangnya dari harta si debitur, dan menjual harta yang diperlukan untuk tujuan itu.
Kedua, hartanya lebih sedikit daripada hutang jatuh temponya. Maka debitur diberlakukan Hajr untuk menggunakan hartanya apabila para kreditur menuntut hal itu, agar ia tidak membahayakan mereka, berdasarkan hadits Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberlakukan Hajr pada Mu’adz dan menjual hartanya (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Hakim; ia menilai shahih pada hadits ini. Ibnu As-Shalah mengatakan, “Hadits ini kuat.” Jika dalam kondisi ini ia diberlakukan Hajr, maka diberikan pengumuman dan ditunjukkan kepada orang-orang bahwasanya ia diberlakukan Hajr, supaya mereka tidak tertipu ketika bermuamalah dengannya sehingga mereka kehilangan harta.
5. Ada empat hukum terkait dengan Hajr :
Hukum pertama, hak para kreditur terikat dengan harta yang ada sebelum berlaku Hajr dan juga terikat dengan harta yang ada setelah berlaku Hajr. Harta yang ada setelah berlaku Hajr disertakan pada harta yang ada sebelum Hajr. Maka tidak berlaku penggunaan terhadap harta Mahjur ‘Alaihi (Orang yang ditahan hartanya) setelah berlaku Hajr dengan berbagai model penggunaan apapun, bahkan sebelum ditahan pun tidak boleh Mahjur ‘Alaihi bertindak menggunakan hartanya yang dapat membahayakan para kreditur.
Imam Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah mengatakan, “Apabila hutang menguasai hartanya, maka tidak sah didonasikan yang sekiranya akan membuat risiko pada para pemilik pinjaman, baik hakim sudah menjatuhkan Hajr atau belum. Inilah pendapat madzhab Maliki dan menjadi pilihan syaikh kami (maksudnya adalah Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah). Beliau mengatakan, “Inilah yang benar. Tidak ada pendapat lain yang layak dengan pokok-pokok madzhab. Namun ia merupakan tuntutan dari pokok dan kaidah syariat, karena hak para kreditur telah terikat dengan hartanya. Oleh karena itulah hakim menahannya. Seandainya hak para kreditur tidak terikat dengan hartanya, maka hakim tidak leluasa untuk menahannya. Ia seperti orang sakit di ujung kematiannya. Membuat debitur dapat mendonasikan hartanya merupakan pembatalan terhadap hak-hak para kreditur, sedangkan syariat tidak datang dengan tujuan seperti ini, akan tetapi syariat hadir untuk menjaga hak-hak para pemilik hak dengan berbagai cara dan menutup hal-hal yang menyebabkan diabaikannya hak.”
Hukum kedua, siapa yang mendapati pokok hartanya yang dijual, dipinjamkan atau disewakan kepada orang yang pailit, hendaknya ia mengembalikan dan menariknya darinya, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam,
مَنْ أَدْرَكَ مَتَاعَهُ عِنْدَ إِنْسَانٍ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ.
“Siapa yang mendapatkan barangnya ada pada seseorang yang pailit, maka orang itu yang paling berhak tentang barang itu.” (Muttafaq 'Alaihi).
Para fuqaha telah menyebutkan bahwasanya untuk mengembalikan harta pada orang yang pailit yang ditahan disyaratkan enam syarat :
Syarat pertama, orang yang pailit masih hidup sampai harta dapat diambil darinya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
فَإِنْ مَاتَ فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ.
“Jika dia meninggal, maka pemilik barang adalah pemilik piutang.”
Syarat kedua, semua harganya berada dalam tanggungan orang yang pailit. Jika pemilik barang menerima harganya, maka ia tidak berhak mengembalikan barangnya.
Syarat ketiga, semua barang berada dalam kepemilikan orang yang pailit. Jika seseorang mendapati sebagiannya saja, maka dia tidak mengembalikan barangnya, karena ia tidak menemukan pokok hartanya, akan tetapi menemukan sebagiannya.
Syarat keempat, barang dagangan tetap seperti semula, tidak berubah sedikitpun spesifikasinya.
Syarat kelima, barang dagangan tidak terkait dengan hak orang lain, yang mana orang yang pailit tidak menggadaikannya atau semisalnya.
Syarat keenam, barang dagangan tidak bertambah dengan penambahan yang tersambung, seperti lemak.
Apabila syarat-syarat seperti ini terpenuhi, maka pemilik barang boleh menariknya apabila terlihat adanya kebangkrutan dari orang yang barangnya berada pada dirinya, berdasarkan pada hadits tersebut sebelumnya.
Hukum ketiga, terhentinya tuntutan darinya setelah diberlakukan Hajr pada dirinya sampai Hajr tersebut terlepas darinya. Siapa yang menjual kepadanya atau meminjamkan sesuatu pada periode seperti ini, maka ia bisa menuntutnya setelah ia bebas dari Hajr.
Hukum keempat, hakim boleh menjual hartanya dan membagikan hasil penjualannya sesuai dengan besaran hutang para kreditur yang jatuh tempo, karena inilah maksud dari diberlakukannya Hajr. Jika hal itu ditunda maka merupakan tindakan mengulur-ulur waktu yang menzalimi mereka. Hakim menyisakan buat orang yang pailit apa saja yang dibutuhkan seperti tempat tinggal dan nafkah serta semisalnya.
Sedangkan hutang dengan pembayaran tangguh maka tidaklah jatuh tempo dengan adanya kepailitan seseorang, dan tidak menumpuk dengan hutang yang jatuh tempo, karena penangguhan merupakan hak orang yang pailit, maka ia tidak gugur seperti hak-hak lainnya, dan tetap berada dalam tanggungan orang yang pailit. Kemudian setelah hartanya dibagikan kepada para pemilik utang yang jatuh tempo, jika ia melunasinya dan tidak tersisa sedikitpun, maka terlepaslah Hajr tanpa putusan dari hakim, karena penyebab dia terkena Hajr sudah hilang. Jika hutang yang jatuh tempo masih ada, maka ia tidak terlepas dari Hajr, kecuali dengan putusan hakim, karena hakimlah yang memutuskan Hajr pada dirinya, maka hakim jugalah yang memutuskan dia terlepas dari Hajr.” (Al-Mulakhash Al-Fiqhi, 2/89-95).
Apabila tersisa hutang yang belum dibayarkan kepada pemiliknya, maka hutang itu masih berada dalam tanggungannya, hingga Allah memberikan rezeki berupa harta. Maka wajiblah ia melunasi hutangnya yang tersisa.
Wallahu A’lam