Alhamdulillah.
Yang harus dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah makanan pokok negeri yang bersangkutan. Bila makanan pokok negeri itu kurma, keju atau mentega, maka zakat fitrah boleh berupa ketiga makanan tersebut. Sedangkan sesuatu yang tidak dianggap sebagai makanan pokok, maka zakat fitrahnya tidak berpahala. Hal ini berdasarkan ucapan Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu’anhu.:
كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ ، وَالزَّبِيبُ ، وَالْأَقِطُ ، وَالتَّمْرُ (رواه البخاري 1510 ومسلم 985).
“Di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama, kami mengeluarkan zakat fitrah pada hari raya Idul fitri berupa satu sha’ makanan. Ketika itu makanan pokok kami adalah gandum, anggur kering, keju dan kurma.” (Bukhari, no: 1510. Muslim, no: 985).
Para sahabat mengeluarkan zakat fitrah berupa bahan-bahan tersebut karena semuanya adalah makanan pokok mereka ketika itu.
An-Nawawi berkata, “Pendapat yang paling benar menurut kami adalah, zakat fitrah harus berupa bahan makanan pokok di negeri tersebut. Pendapat ini juga dipilih oleh Malik. Abu Hanifah berkata, ‘Muzakki diberi pilihan, dia boleh memilih makanan apa saja yang akan menjadi zakatnya.’ Ada satu riwayat dari Ahmad bahwa zakat fitrah tidak berpahala kecuali berupa lima bahan pokok yang tertuang dalam al-Quran dan hadis, yaitu: kurma, anggur kering, gandum, jelai (barli), dan keju (susu kering).” (Al-Majmu’, 6/112).
Di dalam Syarh al-Muwaththa`, al-Baji berkata, “Yang ditakar satu sha’ untuk zakat fitrah itu berupa apa? Ibnu al-Qasim meriwayatkan jawaban dari Malik bahwa yang ditakar adalah makanan pokok negeri itu. Ini adalah pendapat Abu Ali ibn Abu Hurairah, seorang sahabat Imam Syafi’i.
Di dalam al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah (23/343) disebutkan: Para ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa zakat fitrah harus berupa makanan pokok negeri tersebut, seperti kacang miju-miju (adas), beras, kacang, gandum, jelai (barli), gandum hitam, kurma, keju (susu kering) dan gandum mutiara. Selain bahan-bahan tersebut maka zakatnya tidak berpahala, kecuali bila ia dijadikan makanan pokok oleh manusia dan mereka meninggalkan kelima bahan pokok itu.
Pendapat ini dipilih oleh Syeikh al-Islam Ibnu Taymiah, seperti dalam kitab al-Fatawa al-Kubra (2/157).
Syeikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang hukum membayar zakat fitrah dengan jelai (sejenis gandum). Si penanya berkata, “Kami mendengar Anda berpendapat bahwa zakat fitrah dengan jelai ini tidak berpahala. Mohon agar Anda menjelaskannya kepada kami.”
Syeikh Ibnu Utsaimin menjawab, “Anda mengaku bahwa Anda telah mendengar kami berpandangan bahwa zakat fitrah dengan jelai tidak berpahala. Sebenarnya pendapat kami ini berlaku pada kaum yang makanan pokoknya bukanlah jelai ini. Karena di antara hikmah zakat fitrah ini adalah bagaimana ia dapat menjadi pemberian makanan kepada kaum miskin. Hikmah ini tidak terwujud kecuali zakat yang dibayarkan berupa makanan pokok manusia saat itu. Penetapan kurma dan jelai dalam hadis Abdullah ibn Umar di atas tak lain karena keduanya merupakan makanan pokok manusia di masanya. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, pada bab Sedekah sebelum shalat Id, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahuanhu, beliau berkata, “Di masa Rasulullah, kami membayar zakat fitrah berupa satu sha’ makanan.” Abu Sa’id berkata, “Makanan kami ketika itu adalah jelai, anggur kering, keju dan kurma.” (Majmu’ al-Fatawa, 18/282).
Maka yang wajib atas setiap muslim adalah membayar zakat fitrah berupa makanan pokok di negerinya, agar hikmah zakat itu terwujud, yaitu memenuhi kebutuhan kaum fakir miskin di hari Id.
Wallahu a’lam.