Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Bekerja Sebagai Perawat Di Bagian Wanita Dan Kelahiran, Mempunyai Beberapa Pertanyaan Dalam Masalah Bersuci Dan Shalat

148781

Tanggal Tayang : 23-04-2015

Penampilan-penampilan : 5396

Pertanyaan

Saya bertanya mewakili ibuku. Saya perawat, bekerja di bagian wanita dan kelahiran di salah satu rumah sakit. Sebagaimana telah diketahui bahwa bekerja seperti ini mengharuskan perawat memperhatikan anak yang baru lahir dan ibunya. Maksudnya bahwa perawat terkena berbagai macam najis yang menimpanya karena pekerjaan di tempat ini. Pertanyaanku terkait dengan cara shalat dalam kondisi seperti ini. Bagaimana cara saya berwudhu? Apakah saya harus melepas jilbab dan mengusap kepalaku? Apakah saya harus mengganti pakaian pada setiap shalat yang saya lakukan? Saya tidak mempunyai waktu kecuali waktu tertentu untuk istirahat, terkadang tidak bertepatan dengan waktu shalat. Dengan kata lain, ketika datang waktu shalat saya masih bekerja. Apakah dibolehkan mengakhirkan shalat dan saya jamak di waktu istirahat yang diberikan oleh administrasi rumah sakit.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama,

Diantara syarat sahnya shalat adalah bersihnya badan dan baju dari najis. Kalau badan atau pakaian terkena najis, maka harus dibersihkan sebelum mulai shalat. Ibu anda dapat menyiapkan baju untuk bekerja (seragam kerja) dan baju lain untuk shalat. Kalau dia ingin shalat, dilepas baju kerja dan memakai baju lainnya. Atau cukup mencuci tempat yang terkena najis di baju kemudian jika dia mau, shalat dengannya. Silahkan melihat jawaban soal no. 12720 dan 125879.

Kedua,

Mengusap kepala dengan air termasuk di antara wajib wudhu. Akan tetapi kalau seorang wanita tertutupi kepalanya dengan khimar (penutup kepala), maka tidak diharuskan mencopotnya. Dia dibolehkan mengusap di atasnya, apalagi kalau melepasnya ada kesulitan.

Al-Bahuti rahimahullah berkata, “Sah mengusap di atas jilbab wanita dan diikat di bawah lehernya. Karena Ummu salamah dahulu mengusap di atas khimarnya (penutup kepala). Disebutkan hal itu oleh Ibnu Munzir berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam "Usaplah di atas dua khuf dan khimar (penutup kepala).” (HR. Ahmad. Karena ia juga penutup yang sulit dilepaskan.” (Daqoiq Ulin Nuha, 1/62 dan silahkan lihat di Al-Mughni, 1187)

Hadits ‘Usaplah di atas dua khouf dan khimar’ dinyatakan lemah oleh Al-Albany rahimahullah, silahkan lihat Dhaif Al-Jami no. 1270.

Dinyatakan dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah, 4/105: “Seorang wanita diperbolelhkan mengusap di atas khimarnya yang ditaruh di atas kepalanya dan diikat di bawah lehernya. Dalam waktu sehari semalam kalau tidak dilepaskan. Hal itu karena melepasnya terjadi kesulitan. Maka seperti surban. Yang Dinyatakan ketetapan (dibolehkan) mengusap diatasnya dari hadits yang shahih juga seperti khouf baik dalam kondisi bepergian dan mukim. Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiallahu’anha sesungguhnya dia mengusap di atas khimarnya.” Selesai.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apakah seorang wanita dibolehkan mengusap di atas khimarnya?

Maka beliau menjawab, “Yang terkenal dalam madzhab Imam Ahmad, seorang wanita (dibolehkan) mengusap di atas khimarnya kalau terikat di lehernya. Karena hal itu Dinyatakan dari sebagian wanita shahabat radhiallahu anhunna.

Kesimpulannya, kalau disana ada keberatan, mungkin karena dinginnya cuaca atau kesulitan melepaskan dan melilitkan lagi. Maka mengusap dalam kondisi seperti ini tidak mengapa. Kalau tidak (dalam kondisi seperti ini), yang lebih utama agar tidak mengusapnya.” (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 11/171.)

Ketiga:

Asalnya tidak dibolehkan mengakhirkan shalat dari waktunya kecuali ada uzur. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا  (سورة النساء: 103)

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisaa: 103)

Dinyatakan penjelasan hal itu di jawaban soal no. 21958.

Seharusnya bagi saudariku penanya melakukan berbagai macam sebab yang memungkinkan untuk melaksanakan shalat pada waktunya. Kalau berat baginya dan tidak memungkinkan karena peraturan yang harus diikuti, tidak mengapa menjamak di antara dua shalat. Maka dia boleh menjamak Zuhur dan Ashar, antara Maghrib dan Isya, baik jamak taqdim (melaksanakan di awal waktu) atau ta’khir (dilaksanakan di akhir waktu) sesuai yang mudah baginya.

Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ ditanya, “Apakah dibolehkan mengakhirkan shalat sampai keluar waktunya seperti shalat Ashar karena terpaksa (darurat). Hal itu seperti dokter yang melakukan operasi di bawah pengawasannya terhadap orang sakit, kalau ditinggalkan dalam waktu singkat, hal itu berbahaya bagi kehidupannya?

Maka mereka menjawab, “Bagi dokter spesialis dalam operasi, hendaknya memperhatikan waktu agar tidak terlewatkan melaksanakan shalat pada waktunya. Namun, dibolehkan dalam kondisi terpaksa (darurat) menjamak dua shalat baik taqdim atau ta’khir. Seperti Zuhur dengan Ashar, Magrib dengan Isya, sesuai dengan tuntutan dan kebutuhannya.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 25/44)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum mengakhirkan shalat dari waktunya karena pekerjaan tertentu seperti dokter pengganti?

Beliau menjawab, “Mengakhirkan shalat dari waktunya disebabkan kerja diharamkan dan tidak dibolehkan. Karena Allah berfirman,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا  (سورة النساء:  103)

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisaa: 103)

Nabi sallallahu’alaihi wa sallam telah menentukan waktu shalat dengan waktu tertentu. Barangsiapa yang mengakhirkan atau mendahulukan dari waktunya, maka dia telah melanggar aturan Allah. Barangsiapa yang melanggar aturan Allah maka mereka  temasuk golongan orang-orang yang zaim. Maka seseorang tidak dibolehkan dalam kondisi apapun mengakhirkan shalat dari waktunya karena pekerjaan apapun juga. Akan tetapi jika shalat itu dapat dijamak (dijadikan satu) sebelum atau sesudahnya dan dia berat melaksanakan setiap shalat pada waktunya, maka dia dibolehkan menjamaknya. Seperti mendapat jadwal kerja dishalat zuhur, dan sulit baginya melaksanakan shalat zuhur. Maka dia dibolehkan menjamaknya bersama dengan Ashar. Begitu juga dengan shalat Maghrib dan Isya. Karena Dinyatakan ketetapan dalam –shahih Muslim- dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anahuma sesungguhnya beliau mengatakan,

جمع رسول الله صلى الله عليه وسلم بين صلاة الظهر والعصر ، والمغرب والعشاء بالمدينة في غير خوف ولا مطر. فسألوا ابن عباس : ما أراد بذلك ؟ قال : أراد ألا يحرج أمته. أي : لا يلحقهم الحرج في ترك الجمع

Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam telah menjamak antara Zuhur dan Ashar, Magrib dan Isya di Madinah tanpa ada (sebab) takut dan hujan. Mereka bertanya kepada Ibnu Abbas, “Apa yang diinginkan dengan hal itu? Beliau menjawab, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya." Maksudnya agar tidak menimbulkan kesulitan karena meninggalkan jamak. “ (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 12/33)

Syekh Al-Fauzan hafidhahullah ditanya, “Kami sekelompok mahasiswi di Universitas Adn, berupaya melaksanakan shalat pada waktnya. Akan tetapi disela-sela belajar kami terutama kalau pelajaran setelah zuhur, terkadang terlewatnya shalat Ashar dan Maghrib. Karena kita tidak mampu melaksanakan di kampus, meskipun kami telah berusaha (melaksanakan hal itu) karena banyak sebab. Oleh karena itu, kami tanyakan apakah dibolehkan kami menunaikan shalat Ashar bersama dengan Zuhur jamak taqdim dan melaksanakan shalat Magrib dengan Isya jamak ta’khir. Dengan begitu kami selamat, dapat melaksanakan dua kewajiban ini secara sempurna, dan tidak perlu melaksanakan qadha sebagaimana sebagian di antara kami melaksanakan hal itu.

Beliau menjawab, “Kalau memungkinkan melaksanakan shalat pada waktunya dan dilaksanakan disela-sela belajar, maka ini adalah merupakan suatu keharusan. Hal itu dapat dilakukan dengan negoisasi  kepada penanggung jawab kampus agar dapat waktu kesempatan (melaksanakannya). Akan tetapi dengan memberikan waktu untuk shalat dan kembali lagi ke pekerjaannnya, ini perkara yang mudah tidak membebani sedikitpun juga dan tidak mengambil waktu banyak dan ini perkara yang mudah. Kalau anda mendapatkan kesempatan melaksanakan shalat di sela-sela belajar, maka ini merupakan suatu kewajiban dan keharusan. Sementara kalau tidak memungkinkan dan anda telah berusaha agar mendapatkannya, akan tetapi tidak mendapatkan. Maka disini, jika pelajaran merupakan suatu keharusan, dimana kalau anda tinggalkan akan berakibat buruk kepada anda. Maka saya melihat tidak mengapa menjamak dua shalat dengan cara yang telah disebutkan dipertanyaan. Dengan melaksanakan shalat Ashar dengan Zuhur jamak taqdim dan shalat magrib dengan Isya jamak ta’khir. Karena hal ini termasuk uzur yang dibolehkan untuk menjamak. Karena pada ahli fiqih menyebutkan bahwa diantara uzur yang dibolehkan untuk menjamak adalah kalau meninggalkannya, maka berdampak buruk bagi penghidupannya. Kalau meninggalkan pelajaran berdampak buruk kepada anda, dan anda tidak mendapatkan kesempatan dari penanggung jawab untuk dapat menunaikan shalat di sela-sela kerja. Menurut pendapat saya, dibolehkan dalam kondisi seperti ini menjamak. Sementara kalau shalat qadha sebagaimana yang ada dalam pertanyaan, hal ini tidak dibolehkan shalat setelah keluar waktunya.” (Al-Muntaqa Min Fatawa Al-Fauzan)

Wallahua'lam .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam