Alhamdulillah.
I’tikaf adalah ibadah nan agung, seorang hamba memutuskan dari kesibukan dunia untuk intropeksi diri. Menyembah Tuhannya. Barangsiapa yang belum bisa melaksanakan hal itu sebelumnya, hendaknya dia kosongkan untuk itu sekarang. Kalau dahulu kurang maksimal, maka sekarang ada waktu untuk melengkapinya. Tidak ada perbedaan diantara para ulama’ bahwa hal itu adalah sunnah. Telah dinukil oleh AL-Hafidz Ibnu Hajar di Fathul Barie, 4/272 dari Imam Ahmad pendapatnya, ‘Saya tidak tahu dari satupun dari kalangan para ulama’ yang berbeda bahwa hal itu adalah sunnah. Akan tetapi ibadah ini, dalam satu waktu tidak boleh mengurangi kewajiban syar’i. Seperti menunaikan (kewajiban) kepada keluarganya, merawat istri, merawat bapak atau ibu. Kalau hal itu harus dilakukan oleh seorang hamba yang mana tidak ada orang lain yang dapat melakukannya. Kalau sekiranya ada dari saudara atau saudarinya yang dapat melakukannya, maka untuk mendidik anaknya tidak boleh orang lain. Bagitu juga untuk menjaga istrinya tidak boleh selain dia.
Dari sini, sesuai yang disebut dalam pertanyaan, maka kami melihat tidak diperbolehkan suami beri’tikaf sebulan penuh, bahkan kurang dari sebulan. Karena hal itu dapat melalaikan kewajiban syar’i yang Allah wajibkan kepadanya. Kami lihat mungkin untuk menggabungkan antara dua hal. Dia memperhatikan kebutuhan keluarganya dengan melengkapi kebutuhannya, kemudian dia beri’tikaf beberapa hari. Kemudian pulang ke rumah untuk menunaikan kewajiban yang Allah wajibkan kepadanya. Kemudian kembali beri’tikaf yang baru lagi. Dan begitulah tidak terjadi pelanggaran syar’i dan tidak seorangpun yang akan mencelanya.
Syekh Abdullah bin Jibrin rahimahullah ditanya, ‘Apa (batasan) banyak dan sedikit dalam beri’tikaf?
Beliau menjawab, ‘Tidak ada (batasan) paling banyak kecuali makruh kalau terlalu lama jikalau seorang hamba melalaikan keluarganya dan sibuk darinya. Telah ada hadits, ‘Cukuplah seseorang itu berdosa ketika melalaikan orang yang menjadi tanggungannya.’ Barangsiapa yang terlalu lama, maka hal itu mengharuskan meninggalkan mencari penghidupan, membebani orang lain untuk berinfak kepadanya, adanya kepayahan dengan menghadirkan makan dan minumannya ke masjid dan selain dari keperluan itu. ‘Risalah ‘Hiwar Fil I’tikaf, soal no. 2.
Beliau rahimahullah juga ditanya, ‘Kalau dia ingin beri’tikaf akan tetapi dia penanggung jawab di rumahnya dan tidak ada orang lain. Maka mana yang lebih utama, bertanggung jawab terhadap keluarga di rumahnya atau beri’tikaf di masjid pada sepuluh malam akhir Ramadan?
Maka beliau menjawab, ‘Kami memilih melakukan kewajiban kepada keluarganya dan menunaikan keperluannya, tinggal bersamanya seperti sebagai mahram dan pelindung melindungi mereka, rumah dan jiwa mereka. Berusaha untuk memberi makan kepadanya. Karena ketika beri’tikaf dengan meninggalkan mereka tanpa wali (pelindung), rawan pencurian, perusakan atau keperluannya terbengkalai. Atau berat mendatangkan keperluannya dari pasar. Atau membebankan kepada orang lain untuk membeli keperluannya. Dan hal itu jadi beban bagi mereka terkadang tidak sanggup menahannya. Telah diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Cukup seseorang itu berdosa, ketika melalaikan orang yang menjadi tanggungannya.’ Maka masuk di dalamnya, tidak memberi infak kepadanya, membiarkan tanpa berusaha padahal dia mampu. Kalau mendapatkan orang yang memenuhi keperluannya, memeliharanya dan menjaga dari keperluannya dari kerabatnya. Maka diperbolehkan beri’tikaf, bahkan hal itu disunnahkan karena tidak ada yang menyibukkannya. Risalah ‘Hiwar Fil I’tikaf, soal no. 11.
Mungkin anda dapat melihat secara sempurna di sini:
http://ibn-jebreen.com/book.php?cat=3&book=10&toc=328
telah ada peringatan atas kesalahan orang yang sibuk melalaikan keluarga dan melaksanakan urusannya dengan alasan sibuk berdakwah dan belajar. Hal itu bukan uzur bagi mereka yang melalaikan apa yang telah menjadi kewajiabnnya. Silahkan melihat jawaban hal itu di soal, 3043, 6913, 23481, 110591.
Wallahu’alam .