Jum'ah 26 Jumadits Tsani 1446 - 27 Desember 2024
Indonesian

TELAH DICERAI TIGA KALI, DIA INGIN MENIKAH DENGAN LELAKI YANG TERBARING SAKIT DAN HAMPIR MENINGGAL AGAR DAPAT KEMBALI KE SUAMI PERTAMA

158075

Tanggal Tayang : 08-04-2012

Penampilan-penampilan : 44130

Pertanyaan

Saya bertanya orang alim dan mengatakan, bahwa perceraian kami adalah perceraian ghoiru raj’i (tidak bisa kembali lagi). Sementara saya ingin mengembalikan istriku lagi, dia (mantan istriku) ingin menikah lagi dengan lelaki (yang tidak mampu berhubungan badan) dan dia dalam kondisi sakit (hampir) meninggal dunia. Dia akan meninggal dalam beberapa hari (sesuai dengan prediksi para dokter) hal itu biar saya dapat mengawini dia lagi. Oleh karena itu dia mungkin membayar uang ke lelaki yang telah terbaring di atas ranjang kematian untuk menikah dengannya. Apakah hal itu menjadikan halal untuk saya nikahi lagi ketika (suaminya) telah meninggal dunia? Kami menunggu balasan dari anda dengan penuh kesabaran dan penuh harapan bantuan.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Kalau suami menceraikan sitrinya tiga kali, maka tidak dihalalkan baginya sampai menikah dengan suami lainnya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا [يعني : الزوج الثاني] فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (سورة البقرة: 230)

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 230)

Suami kedua harus berhubungan (bersetubuh) dengannya, kalau tidak ada jima’ di antara keduanya, maka hal itu tidak halal untuk suami pertama. Pendapati seperti ini telah disepakati para ulama. Dalil hal tersebut berdasarkan sunnah yang diriwayatkan oleh Bukhori, 2639 dan Muslim, 1433 dari Aisyah
radhiallahu’anha.

 “Bahwa Rifa’ah telah menceraikan istrinya dengan talak tiga, kemudian (istrinya) setelah itu menikah dengan Abdurrahman bin Zubair. Sementara beliau mengaku belum dikumpuli dan ingin cerai dengannya agar dapat kembali ke suami yang pertama. Maka Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam  bersabda kepadanya,

أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ ؟ لا ، حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ ، وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ

"Apakah anda ingin kembali ke Rifa’ah? Tidak (bisa), sampai anda menikmati madunya dan dia menikmati madu anda."

An-Nawawi rahimahullah berkata,

‘Sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ‘Tidak, sampai anda menikmati madunya dan dia menikmati madu anda’ adalah kiasan dari berjimak (bersetubuh), diperumpamakan kenikmatannya dengan kenikmatan dan manisnya madu. Dalam hadits ini (terkandung hukum) ‘Bahwa wanita yang telah dicerai
tiga kali, tidak dihalalkan (bagi suami yang telah menceraikannya untuk kembali) sampai dia menikah dengan lelaki lain dan disetubuhinya kemudian berpisah serta selesai masa iddahnya. Sementara kalau sekedar akad dengannya, maka tidak dibolehkan (menikah lagi dengan) suami yang pertama. Inilah pendapat semua ulama dari kalangan shahabat, tabiin dan orang setelah mereka. Kecuali Said bin Musayyab, mungkin hadits ini belum sampai kepada beliau.’

Ibnu Qudama rahimahullah berkata, ‘Meskipun dengan penegasan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dengan menjelaskan maksud dari kitabullah Ta’ala, bahwa dia (Istri) tidak dihalalkan untuk (suami) pertama sampai dia menikmati madu (suami) kedua dan dia juga menikmati madu (wanita tersebut).
Maka tidak dapat dipalingkan ke selainnya dan tidak diperkenankan seorang pun berpendapat kepada selainnya.’ (Al-Mughni, 10/549)

Kalau telah terjadi kesepakatan dengan suami kedua bahwa dia akan menikahinya agar halal untuk suaminya yang pertama, atau sumai kedua hanya berniat saja tanpa kesepakatan dengan seorang pun, dan dia tidak ada niat untuk menikahinya dan tinggal terus bersamanya, maka ini adalah nikah tahlil
(agar dapat menghalalkan suami pertama) yang dilaknat oleh Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam dari prilakunya. Maka dengan pernikahan yang haram ini, wanita tersebut tidak dihalalkan untuk suaminya yang pertama, meskipun sampai disetubuhi oleh suami yang kedua.

Ibnu Qudama rahimahullah berkata, “Nikah Al-Muhallil (pernikahan dengan tujuan agar wanita dapat menikah kembali dengan suaminya yang pertama) adalah haram dan batal. Menurut pendapat kebanyakan ulama. Apakah hal tersebut disyaratkan sebelum akad, tidak disebutkan waktu akad atau niat saja tanpa syarat. Maka nikahnya itu batal juga.” (Al-Mughni, 10/49-50)

Kalau ada niat dari pihak perempuan saja, dan tidak ada kesepakatan hal itu dengan suami kedua dan tidak berniat menghalalkan, maka nikahnya sah dan hal itu juga dapat menghalalkan untuk suami pertama. Dengan catatan suami kedua telah menyetubuhinya, kemudian dia menceraikan atau meninggal dunia. Maka niat wanita tersebut tidak merusak hal itu. Hal itu telah dijelaskan dalam
soal jawab no. 159041 

Akan tetapi kalau sang wanita membayar uang kepada lelaki ini, agar dia setuju dengan akad itu yang menunjukkan  dia telah mengetahui niat untuk menghalalkan (kepada suami pertama) dan karena dia asalnya memang tidak ada keinginan untuk menikah dengan (wanita itu), maka penerimaan seperti itu

 

seperti 'kambing pinjaman' bagi kedua suami istri yang telah bercerai, agar sang wanita dapat kembali  kepada suami pertama.

Wallahu’alam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam