Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Hukum Menyembelih Hewan Kurban Yang Terpotong Ekor Atau Pangkal Ekornya (pantat), Dan Apa Hukumnya Jika Tidak Mendapati Hewan Kurban Yang Sehat Dan Selamat Dari Aib ??

Pertanyaan

Saya telah membaca jawaban pada fatwa nomer 37039, akan tetapi di sini di Afrika selatan kami bergantung kepada orang non Muslim untuk mendapatkan binatang kurban, dan sudah menjadi kebiasaan mereka para petani memotong ekor hewan ternak mereka semenjak kecil; agar hewan-hewan ternak mereka cepat besar dan gemuk, maka dari itu sulit bagi kami untuk mendapatkan hewan – hewan yang tidak terpotong ekornya, maka apakah diperbolehkan bagi kami membeli hewan – hewan ini dan berkurban dengannya ? Semoga Allah membalas kebaikan anda dengan sebaik – baik balasan.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Yang pertama: Hendaklah dan harus dibedakan antara yang terpotong ekornya dan terpotong pantat atau pangkal ekornya dari hewan kurban, karena sesungguhnya terpotongnya ekor tidak akan berpengaruh terhadap kesehatan hewan kurban, berbeda dengan terpotong pantatnya; berdasarkan pendapat ulama’ yang paling Rojih. Ibnu Qudamah Al Maqdisi berkata : “Dan diperbolehkan hewan kurban yang Al Batra’ yaitu yang tidak memiliki ekor, meski tidak adanya ekor ini pembawaan sejak lahir atau karena dipotong. Karena kekurangan ini tidak mempengaruhi pertumbuhan daging, dan tidak menggugurkan maksud dan tujuan orang yang berkurban dan juga dengan adanya kekurang sempurnaan tadi tidak ada pelarangan ” Dinukil dari kitab Al Mughni dengan sedikit perubahan (372/13 ). Ibnu Qudamah juga berkata : “ Dan tidak diperkenankan pada hewan kurban yang terputus anggota tubuhnya seperti pantatnya atau pahanya ”. Al Mughni (371/13 ).

 Syaikh Al ‘Utsaimin berkata : “Al Batra’ yaitu yang tidak memiliki ekor baik semenjak lahir atau pada saat dewasa ( karena sengaja dipotong ) tidak membatalkan ibadah berkurban, adapun yang terputus pantat atau pahanya maka hal ini tidak diperbolehkan; karena tujuan berkurban itu adalah daging yang berada di paha karena tempat inilah yang memiliki bobot harga”. Atas dasar ini maka kambing yang jenis Domba bila terpotong pantat atau pahanya maka dilarang untuk dikurbankan sedangkan kambing yang jenis Kacang apabila terpotong ekornya diperkenankan untuk dikurbankan. “ Syarh Al Mumti’ ” ( 435/7 ). Beliau juga berkata : “ Adapun hewan yang terpotong pantatnya maka para Ulama’ berkata : Tidak diperbolehkan dengan hewan yang terpotong pantat atau pangkal pahanya karena pangkal paha ini adalah anggota badan yang berguna dan tujuan dijadikannya sebagai hewan kurban karena di sinilah letak daging, berbeda dengan ekor baik ekor kambing kacang, ekor sapi dan ekor unta, karena ekor bukan merupakan maksud tujuan dikurbankannya seekor hewan. Karena itu ekor biasanya dipotong dan dibuang, hal semacam ini terjadi pada ekor kambing Australia ekornya sama sekali tidak sama dengan paha akan tetapi menyerupai ekor sapi, dan ekor ini bukan maksud dikorbankannya kambing tersebut, sehingga diperbolehkan berkurban dengan kambing Australia karena meski ekornya terpotong namun tidak merugikan sedikitpun ”. Diambil dari “Jalasatul Hajj” halaman 108, sebagaimana yang telah dinukilkan dan  disebutkan sebelumnya pada Fatwa al Lajnah ad Daaimah tentang pengharaman berkurban dengan hewan yang terpotong pahanya, pada jawaban soal (37039).

Yang kedua : Wajib bagimu berusaha sekuat tenaga mencari hewan kurban yang tidak cacat, dan tidak diperkenankan berkurban dengan kambing yang terpotong pahanya selama masih memungkinkan mendapatkan hewan kurban yang  sehat dan selamat dari cacat. Dan jika tidak memungkinkan bagi anda untuk mendapatkan kambing yang baik, maka dalam kondisi semacam ini disyariatkan berpindah ke jenis binatang kurban yang lain yang layak dipergunakan untuk kurban, dengan anda meninggalkan domba yang cacat dan memiliki aib ini lalu berganti menyembelih kambing jenis kacang jika anda mendapatinya tanpa aib, atau anda menyembelih sapi atau yang sepadan dengannya yaitu kerbau, atau unta. Maka ditentukan tujuh orang, yang ingin patungan membeli seekor sapi atau unta, dan barang siapa yang ingin bertathawwu’ atau berbuat kebajikan maka ia berkurban dengan seekor sapi atau unta secara mandiri tanpa ikut serta yang lain, dan baginya pahala atas apa yang telah disedekahkan, dan apabila yang ingin patungan berkurban ini kurang dari tujuh orang maka bagi mereka pahala atas apa yang telah mereka lakukan akan tetapi jika orang yang ingin patungan untuk membeli sapi atau unta lebih dari tujuh orang, hal ini tidak diperbolehkan dan dilarang oleh Syari’at.

  Adapun apabila sulit untuk mencari domba yang tidak terpotong paha dan pantatnya, karena semua domba yang terdapat di negara tersebut kondisinya semacam ini, dan tidak memungkinkan untuk berkurban dari jenis ternak yang lain melainkan domba – domba tadi sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, maka yang jelas dalam kondisi semacam ini diperbolehkannya berkurban dengan hewan – hewan ternak tadi, khususnya jika pemilik ternak tadi melakukannya demi kemashlahatan ternaknya dan tidak ada maksud untuk menjadikan ternaknya cacat sehingga mengurangi kadar dan bobot dagingnya. Karena sesungguhnya pelarangan Syari’at pada kondisi seperti ini akan mengakibatkan pengkebirian terhadap tersebarnya satu Syi’ar dari Syi’ar – Syi’ar Islam. Dan kemashlahatan mensyi’arkan ibadah berkurban ini lebih agung dari pada mafsadah atau aib yang terdapat pada binatang ternak yang cacat, dan para Ulama’ telah menetapkan Kaidah : “Kemudahan sebuah perkara tidak akan digugurkan dengan kesulitan – kesulitan”. Maksudnya adalah sesungguhnya sesuatu yang tidak mudah melakukannya sesuai dengan apa yang diwajibkan, akan tetapi terdapat kemudahan dalam melakukan sebagiannya, maka amalan tadi tidak serta merta menjadi gugur atau tidak dilakukan sama sekali, akan tetapi dikerjakan atas dasar kemampuan dan kesanggupan. Dan kaidah ini bersumber dari sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam :

( إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ ، فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ ) ، رواه البخاري (7288) ، ومسلم (1337)

( Jika aku perintahkan sesuatu kepada kalian maka kerjakanlah darinya apa yang kalian mampu melakukannya ) Hadits riwayat Bukhori (7288), dan Muslim (1337),

Dan bisa dilihat pada kitab : “ AL Asybah wa An Nadhooir ” Karangan Imam As Suyuthi halaman 159. Dan Al ‘Izz bin Abdus Salaam berkata : “ Barang siapa diberikan beban untuk melakukan sebuah ketaatan kepada Allah lalu dia hanya mampu melakukan sebagiannya saja dan merasa lemah dalam melakukan yang lain, maka sesungguhnya yang patut dia lakukan adalah mengerjakan yang mampu saja dan menjadi gugur kewajibannya apa yang sulit untuk dia lakukan”. Dari kitab “ Qowa’idul Ahkam” (7/2).

Wallahu A’lam..

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam