Jum'ah 10 Syawal 1445 - 19 April 2024
Indonesian

Apakah Menjadi Hak Saya Untuk Meminta Mahar Dikembalikan Setelah Saya Menggagalkan Lamaran ?

160721

Tanggal Tayang : 22-01-2016

Penampilan-penampilan : 13096

Pertanyaan

Saya sudah menikah, sebelum menikah dengan istri saya saat ini, saya pernah melamar seorang wanita, atas permintaan bapaknya saya tidak mengunjunginya, namun saudari saya mengusulkan kepada saya untuk membayar mahar sebelum akad nikah; karena bapaknya tidak ingin saya mengunjunginya setiap waktu atau mengajaknya keluar bersama, keinginan bapaknya adalah tidak ada ikatan kecuali setelah dekatnya waktu akad nikah dan saya siap segalanya. Setelah itu, terus terang saya tidak suka dengan aturan bapaknya yang menurut saya juga tidak ada nash-nash syari’at. Pertanyaan saya: Apakah saya mempunyai hak untuk mengambil mahar saya, padahal saya telah memberikan kepada bapaknya sebelum akad berlangsung, bahkan saya belum pernah melihat anaknya kecuali pada saat tunangan dan via telepon yang dibolehkan oleh bapaknya, maka kami mohon fatwanya semoga Allah membalas kebaikan anda semua.
Keterangan: Saya sekarang sudah menikah, akan tetapi jika mahar itu masih menjadi hak saya, kenapa saya tidak mengambilnya !!??

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Jika akad nikah belum disempurnakan dengan rukun-rukun yang disyari’atkan, masalahnya juga terjadi pada saat tunangan, kemudian pihak pelamar (laki-laki) sudah memutuskan untuk menggagalkannya, maka ia boleh mengambil kembali semua yang telah dibayarkan dari maharnya, baik penggagalan tersebut dari pihaknya atau dari pihak perempuannya. Hal tersebut tidak ada perbedaan di antara para ulama, karena mahar dan konsekuensi hukumnya berkaitan dengan pernikahan, baik dengan akad nikah dan telah berjima’(berhubungan badan) dengannya atau dengan akad nikah namun belum berjima’ dengannya, tentu hukum mahar akan berbeda dengan kedua kondisi tersebut. Jadi mahar itu kaitannya dengan akad nikah bukan dengan bertunangan.

Ibnu Abidin –rahimahullah- berkata: “Apa yang diberikan setelah tunangan sebagai mahar, bisa diminta kembali jika berupa barang meskipun sudah berubah karena bekas dipakai atau senilai dengan mahar itu jika sudah habis terpakai; karena mahar itu diberikan berdasarkan ijab dan qabul, namun belum terjadi, maka boleh diambil kembali”. (Raddul Muhtar: 3/153)

Beliau –rahimahullah- juga berkata dengan menukil dari sebagian kitab-kitab fatwa dari madzhab hanafi:

“Sesuatu yang diberikan sebagai mahar setelah tunangan, baik masih ada atau sudah habis, maka bisa diminta kembali”. (Raddul Muhtar: 4/574)

Dan yang serupa dengan itu perkataan Ibnu Hajar al Haitsami –rahimahullah-: “Seseorang yang telah melamar wanita, kemudian ia mengirimkan atau memberinya sejumlah harta sebelum akad tanpa syarat tertentu dan tidak berniat sebagai hadiah, kemudian masing-masing dari pihak laki-laki atau perempuan menggagalkannya, maka semua yang diberikan sebelumnya harus dikembalikan; karena ia memberikan kepadanya dengan akan diadakannya hubungan pernikahan”. (Tuhfatul Muhtaj: 7/421)

Syeikh Hasan Abu ‘Aqrub berkata pada sebuah artikel tentang: “al ‘Uduul ‘anil Khithbah”:

“Jika yang melamar telah memberikan mahar kepada tunangannya sebelum akad nikah, kemudian salah satu dari mereka menggagalkan pertunangannya atau meninggal dunia, maka bagaimanakah hukumnya menurut syari’at tentang mahar yang sudah dibayarkan sebelumnya ?

Madzhab Hanafi secara tekstual berpendapat bahwa bagi pelamar hendaknya mengambil kembali mahar yang telah dibayarkan sesuai dengan harga mahar tersebut jika berupa barang atau diganti jika sudah habis terpakai atau sudah dikonsumsi.

Saya tidak mendapatkan secara tekstual dalam masalah ini dari beberapa madzhab yang lain, namun bisa difahami dari perkataan mereka setelah mempelajari definisi mereka tentang mahar, bahwa menurut mereka hukumnya adalah hendaknya tidak menyelisihi pendapat Hanafiyah dalam hal ini.

Mahar menurut Malikiyah adalah termasuk rukun akad, tidak lah ada antara laki-laki dan wanita yang sudah bertunangan hubungan tertentu dan tidak dihalalkan bagi wanita setengah  mahar kecuali setelah berlangsungnya akad nikah, dan baru dihalalkan semuanya setelah digauli oleh suaminya; kalau tidak maka hal itu termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang bathil. Dengan adanya pembatalan dari salah satu pihak dan tidak terjadinya akad nikah, maka wanita tersebut tidak berhak dengan mahar tersebut, ia pun hendaknya mengembalikannya kepada pihak laki-laki.

Sedangkan Syafi’iyyah berpendapat bahwa mahar itu adalah apa yang diwajibkan karena akad nikah atau jima’ atau menggaulinya secara paksa dan para saksi menarik kembali persaksiannya”. Inilah beberapa keadaan yang menjadikan mahar wajib dibayarkan, bukanlah pertunangan termasuk di dalamnya, maka (jika belum terjadi demikian) tidak dihalalkan bagi wanita mengambil mahar tersebut bahkan ia wajib mengembalikannya kepada pihak laki-laki.

Sedangkan mahar menurut Hanabilah adalah permberian yang disebutkan di dalam akad nikah. Dan tidak ada kedua calon mempelai yang sudah bertunangan yang diwajibkan untuk membayar mahar atau setengah dari mahar.

Demikianlah semua pendapat para ahli fikih bertemu pada satu titik yang penting, yaitu; bahwa mahar itu tidak wajib kecuali setelah adanya akad nikah, dan saat pertunangan tidak ada akad nikah tersebut. Seorang wanita yang bersi keras mengambil mahar yang telah dibayarkan setelah salah satu pihak membatalkan pertunangannya adalah mengambil harta dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ia wajib mengembalikannya kepada pemiliknya”.

Silahkan anda buka link di bawah ini:

http://www.aliftaa.jo/index.php/ar/research/show/id/2

Bisa dibaca juga tentang hukum hadiah ketika terjadi pembatalan pertunangan pada jawaban soal nomor: 101859 dan 149744.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam