Alhamdulillah.
Kalau seorang lelaki atau perempuan membutuhkan manaruh pacar (hina’) di atas kepala, dan telah tiba waktu shalat, dan mereka ingin shalat tanpa menghilangkan pacar, diperbolehkan mengusap di atas pacar dalam wudu tanpa membasuhnya. Karena mengusap kepala terbangun atas keringanan. Nabi sallallahu alaihi wa sallam telah mengusap di atas surban. Sementara di atas kepalanya telah dilamuri dengan pewarna atau madu. Begitu juga kalau telah menaruh di atas pacar perekat dari kertas atau semisalnya. Maka dapat diusap di atas keduanya. Cukup mengusap sebagian besar di atas perekat. Tidak diharuskan seluruh kepala. Tidak selayaknya sengaja menaruh perekat agar dapat mengusap.
Syekh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Para ulama berbeda pendapat dalam memperbolehkan seorang wanita mengusap di atas khimarnya (jilbabnya). Sebagian diantara mereka mengatakan, “Tidak diterima, karena Allah Ta’ala memerintahkan mengusap kepala. Dalam firman-Nya:
وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ
المائدة/6
“Dan sapulah kepalamu.” QS. Al-Maidah: 6
Kalau mengusap di atas khimar, maka dia tidak mengusap di kepala. Bahkan dia mengusap di atas penutup yaitu khimar. Maka tidak diperbolehkan.
Sementara yang lain berpendapat diperbolehkan. Mereka mengqiyaskan khimar dengan surban lelaki. Maka khimar bagi wanita bagaikan posisi surban bagi lelaki. Kesulitan ada pada keduanya.
Yang penting, kalau disana ada kesulitan karena dinginnya udara atau kesulitan melepas dan melilitkan sekali lagi. Maka toleransi seperti ini tidak mengapa, kalau tidak. Yang lebih utama tidak mengusapnya. Tidak ada nash yang shoheh dalam bab ini. Kalau sekiranya kepala terlamuri dengan pacar, pewarna atau madu atau semisal itu, maka diperbolehkan mengusapnya. Karena telah ada ketetapan bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam dahulu waktu ihramnya melumuri kepalanya. Dan apa yang ditaruh di kepalanya dari lamuran, maka ia mengikutinya. Hal ini menunjukkan bahwa sucinya kepala, ada sedikit keringanan.
Dari sini, kalau seorang wanita telah melumuri kepalanya dengan pacar, maka dia diperbolehkan mengusap di atasnya. Tidak perlu harus melepaskan dari kepalanya. Dan menghilangkan pacar ini. Begitu juga kalau sekiranya dia mengikat di kepalanya pengikat –namanya Hamah- dia diperbolehkan mengusap di atasnya. Karena kalau kita perbolehkan mengusap di atas khimar, maka yang ini lebih utama (diperbolehkan).
Dikatakan hal ini ada asalnya, yaitu cincin. Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dahulu memakai cincin, meskipun begitu terkadang air tidak masuk antara cincin dan kulit. Hal semacam ini ini, dimaafkan dalam agama. Apalagi kepala, dimana asalnya tidak diharuskan bersuci dengan membasuh, Cuma dengan mengusapnya. Oleh karena itu, bersucinya diringankan dengan mengusap. Maka surban, khof dan khimar sesungguhnya diusap dalam hadats kecil bukan besar. Dalil akan hal itu adalah hadits Sofwan bin Assal berkata,
أمَرنا رسولُ الله صلّى الله عليه وسلّم إِذا كُنَّا سَفْراً ألاَّ ننزع خفافنا ثلاثة أيام ولياليهن إلا من جنابة ، ولكن من غائط ، وبول ، ونوم
Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami kalau dalam safar, agar tidak melepaskan khof kami selama tiga hari tiga malam. Kecuali karena janabat. Akan tetapi dari buang air besar, kencing dan tidur.
Ungkapan ‘Kecuali dari janabat’ maksudnya hadats besar. Dan ungkapan ‘Akan tetapi dari buang air besar, kencing dan tidur’ ini termasuk hadats kecil. Karena seseorang terkadang mendapatkan janabat pada waktu mengusap. Maka ia tidak boleh mengusap, bahkan seharusnya dia membasuh. Karena hadats besar tidak ada yang diusap. Baik yang asal maupun yang cabang kecuali di gibs. “ selesai dari ‘Syarkh Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’, (1/2239-242) dengan diringkas. Silahkan melihat jawaban soal no. 142695.
Wallahu a’lam.