Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Setelah Menunaikan Haji, Apakah Ada Jaminan Seorang Muslim Diampuni Dosa-dosanya Atau Tetap Dalam Kondisi Ketakukan Dan Galau?

Pertanyaan

Disana ada hadits yang mengatakan ‘Kalau anda telah menunaikan haji dengan cara yang benar, maka kamu akan kembali seperti dilahirkan ibumu, lepas dari semua dosa. Alhamdulillah saya telah menunaikan kewajiban haji dan insyaallah ditunaikan dengan benar. Akan tetapi dari waktu ke waktu, ditengah shalat, saya teringat dengan dosa-dosaku yang telah saya lakukan sebelum haji. Dan saya merasa sempit sekali dan ketakutan. Saya memohon kepada Allah maaf dan ampunan. Apakah selayaknya saya terus menyesali dalam hati atau saya harus optimis bahwa Allah akan mengampuniku? Dan tidak berusaha mengingat dosa-dosa itu?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, saya mendengar Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

( مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ ) رواه البخاري ( 1449 ) ومسلم ( 1350

“Siapa yang menunaikan haji karena Allah dan tidak berkata jorok dan tidak berbuat kefasikan, maka dia akan kembali seperti hari dilahirkan ibunya.” HR. Bukhori, 1449 dan Muslim, 1350.

Kita ingatkan hal ini dua perkata:

Pertama: Bahwa hal ini adalah balasan bagi haji mabrur (diterima). Siapa yang berhaji dengan harta haram, hajinya tidak ikhlas karena Allah Ta’ala atau dia mengatakan kata yang jorok atau berbuat kefasikan, maka hajinya tidak mabrur dan tidak kembali seperti hari dilahirkan ibunya.

Ibnu Abdul Bar rahimahullah mengatakan, “Haji mabrur, dikatakan: dia yang tidak ada riya’ dan sum’ah (ingin dipuji orang). Tidak ada kata jorok dan kefasikan. Dan dengan harta yang halal.” Tamhid Lima Fil Muwatto’ Minal Ma’ani Wal Asanid, (22/39).

Sebagian ahli ilmu mengatakan, “Bahwa haji yang mabrur adalah yang diterima. Dan tanda diterimanya adalah seorang hamba tidak mengulangi kemaksiatan kepada Tuhannya. Dan mengembalikan hak-hak kepada pemiliknya.

Kedua: seorang muslim yang telah Allah beri kemulyaan menunaikan ibadah haji selayaknya dia takut amalannya tidak diterima. Bukan berarti dia putus asa terhadap rahmat Tuhannya, agar tidak terkena gurur (bangga dengan amalannya). Dan mengharap kepada Tuhannya dengan doa yang sungguh-sungguh agar diterima darinya juga mengharap dengan amalan shaleh untuk menambahi timbangannya di hari ketika bertemu dengan Tuhannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman terkait ketika memberikan sifat orang-orang mukmin:

( وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ . أُوْلَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ ) المؤمنون/ 60 ، 61

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” QS. Al-Mukminun: 60-61.

Dari Aisyah istri Nabi sallallahu alaihi wa sallam berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah sallallahu alahi wa sallam tentang ayat ini (Al-Mukminum: 60). Aisyah radhiallahu anha berkata, “Apakah mereka itu meminum khomr dan mencuri? Beliau menjawab, “Tidak, wahai putri Siddiq. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan menunaikan zakat. Akan tetapi mereka takut tidak diterima amalannya. Mereka itu orang-orang yang bersegera dalam kebaikan.” HR. Tirmizi, 3175, Ibnu Majah, 4198 dan dinyatakan shoheh Al-Bani di ‘Shoheh Tirmizi.

Ketakutan dari orang mukmin ini, tidak menjadikan putus asa dari rahmat Tuhannya. Bahkan mereka menggabungkan dengan penuh harap dan berbaik sangka kepada Allah agar diberi pahala dan dimulyakan. Sebab yang menjadikan orang mukmin ketakutan tidak diterima amalannya adalah dua hal. Berprasangka buruk pada dirinya bahwa belum menunaikan amalan terbaik serta kecintaan nan agung kepada Tuhannya Azza Wajalla.

Ibnu Qoyim rahimahullah mengatakan, ”Kalau takut –maksudnya orang mukmin—meminta uzur itu lebih tepat, yang menjadi sebab uzur ini ada dua perkata, salah satunya persaksian akan kekurangannya. Kedua, cinta yang jujur kepada-Nya. Karena orang yang jujur cintanya, dia akan mendekat kepada orang yang dicintainya semaksimal mungkin dan hal itu tidak mungkin. Dia merasa malu menghadapi-Nya dengan apa yang dihadapkan kepadanya. Dia melihat bahwa kedudukan-Nya lebih tinggi dan lebih mulia. Hal ini terlihat pada kecintaan sesama makhluk. “ Madarij Salikin, (2/325).

Kesimpulannya:

Seharusnya anda mengumpulkan dua hal dan jangan ditinggalkan salah satunya:

Pertama: jangan merasa sangat besar dosa-dosa anda dibandingkan dengan ampunan Allah dan rahmat-Nya. Sesungguhnya ketakutan orang mukmin akan kekurangannya dalam bertaubat dan kekurangan dalam ketaatan yang dapat menghapus dosa. Jadikan ketakutan anda ini sebagai pemicu untuk menambah ketaatan dan permohonan kepada Allah Azza Wajallah dengan jujur agar menerima dari anda dan dijadikan anda termasuk orang yang dekat dengan-Nya. Jauhi sejauh-jauhnya berputus asa dari rahmat Allah Azza Wajalla.

Kedua: Berprasangka baik kepada Allah Jalla Jallah, mengharap akan ampunan-Nya, kedermawanan dan rahmat-Nya yang melingkupi segala sesuatu. Selagi anda tetap istiqomah dalam urusan Tuhan anda, mengagungkan syariat-Nya, bersegera dalam ketaatan kepada-Nya. Hendaklah anda senantiasa berprasangka baik kepada-Nya agar menerima dan memberi balasan pahala kepada anda.

Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan –ketika menjelaskan hadits Qudsi yang disepakati keshohehannya Allah Ta’ala berfirman. – ‘Saya tergantung persangkaan hamba-Ku kepada-Ku’ Qurtubi dalam kitab ‘Al-Mufhim’ mengatakan, “Dikatakan makna ‘Persangkaan hamba-Ku kepada-Ku’ adalah persangkaan terkabulnya doa. Persangkaan diterima ketika bertaubat. Persangkaan ampunan ketika memohon ampunan. Persangkaan balasan ketika menunaikan ibadah dengan syaratnya serta berpegang teguh dengan kebenaran janji-Nya. Beliau menambahi, dikuatkan dengan hadits lain ‘Berdoalah kepada Allah sementara anda yakin dikabulkan’

Berkata, “Oleh karena itu selayaknya seseorang bersungguh-sungguh menunaikan apa yang menjadi kewajiban disertai yakin bahwa Allah akan menerima dan mengampuninya. Karena Dia telah menjanjikan hal itu dan Dia tidak akan menyalahi janjiNya. Kalau dia berkeyakinan atau berprasangka bahwa Allah tidak menerimanya dan itu tidak bermanfaat, hal ini termasuk berputus asa dari rahmat Allah. dan termasuk dosa besar. Siapa yang meninggal dunia dalam kondisi seperti itu, maka diserahkan sesuai dengan apa yang dia sangka sebagaimana ada dalam sebagian jalan hadits yang disebutkan tadi, ‘Maka silahkan hamba-Ku berprasangka yang dia kehendaki’. Berkata, “Siapa yang menyangka diampuni padahal dia terus melakukan (dosa), maka termasuk bodoh dan tertipu. Hal itu dapat menjerumuskan ke pemahaman ‘Murjiah’. Fathul Bari, (13/386).

Kita memohon kepada Allah agar menerima amalan sholeh anda, dan menjadikan haji anda diterima (mabrur). Dan anda diberi balasan terbaik, terbanyak dan terindah. Wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam