Senin 24 Jumadil Ula 1446 - 25 November 2024
Indonesian

Apakah Boleh Mencari Ketenaran dan Suka Dimunculkan Dalam Masalah Keduniaan ?

Pertanyaan

Saya ingin mengetahui hukumnya mencari ketenaran dalam masalah keduniaan, seperti orang-orang mengatakan bahwa kamu cerdas jenius atau kamu muncul di layar televise atau yang lainnya. Saya mengetahui bahwa jika ada orang yang melakukan itu tidak akan diberi pahala, namun apakah yang demikian itu dianggap sebagai maksiat dan syirik, meskipun dalam masalah keduniaan ?, demikian juga kalau saya sekarang menjadi orang terkenal, tujuan saya untuk mencari ketenaran di hadapan manusia di dunia, maka apakah saya bisa merubah niat saya dan menjadikan ketenaran saya berubah menjadi ikhlas karena Alloh meskipun pada awalnya tidak demikian ?, dan apakah ketenaran itu hanya sebagai sarana yang hukumnya mubah saja, jika saya gunakan pada masalah keduniaan maka menjadi mubah dan jika ditambahkan niat ibadah dan bertaqarrub (kepada Alloh) berubah menjadi amal sholeh ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Mencari ketenaran adalah tercela dalam kondisi apapun, seorang mukmin itu sebagai orang tunduk patuh dan tawadhu’ tidak menyukai ditunjuk dengan jemari. Di antara sarana terbesar yang akan merusak seseorang untuk sampai kepada Rabbnya adalah: menyukai ketenaran, merasa mulia di hadapan manusia dan kekuasaan.

Imam Tirmidzi (2376) telah meriwayatkan dan telah menshahihkannya dari Ka’ab bin Malik berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ  وصححه الألباني في ” صحيح الجامع ” (5620) .

“Tidaklah ada dua srigala yang sedang lapar yang dilepaskan ke kawanan domba lebih rusak dari pada kegigihan seseorang mengejar harta dan kemuliaan untuk agamanya”. (Dishahihkan oleh Albani dalam Shahih Al Jami’: 5620)

Syeikh Islam –rahimahullah- berkata:

“Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menjelaskan bahwa kegigihan mengejar harta dan kemuliaan namun disertai dengan rusaknya agama, tidak lebih kurang dengan rusaknya dua srigala yang sedang lapar masuk ke kandang kambing, hal itu begitu nyata; sungguh selamatnya agama tidak memerlukan kegigihan duniawi tersebut; karena jika hati sudah merasakan manisnya beribadah dan cinta kepada Alloh tidak ada lagi sesuatu yang lebih ia cintai hingga mengalahkan ibadahnya, oleh karena itu bagi mereka yang ikhlas akan dipalingkan dari keburukan dan kekejian”. (Majmu’ Fatawa: 10/215)

Mencintai ketenaran dan kemuliaan merupakan penyakit yang tersembunyi di dalam jiwa, menghancurkan hati yang hampir saja tidak menyadarinya kecuali setelah masuk begitu mendalam, sulit dideteksi dan kerusakannya pun sulit diperbaiki.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Banyak syahwat tersembunyi yang bercampur dengan jiwa, akan tetapi dengan merealisasikan cinta kepada Alloh, beribadah kepada-Nya, ikhlas dalam beragama tidak akan mampu merusaknya, seperti halnya perkataan Syaddad bin Aus: “Wahai sisa-sisa orang Arab, sesungguhnya yang paling aku takutkan kepada kalian adalah riya’ dan syahwat yang tersembunyi”. Dikatakan kepada Abu Daud As Sajastani: “Apa yang dimaksud dengan syahwat yang tersembunyi ?”, dia berkata: “Mencintai kekuasaan”. (Majmu’ Fatawa: 10/214-215)

Di antara bencana terbesar adalah mencintai ketenaran dan kemuliaan dan berusaha mengejarnya, jiwanya ingin agar semua orang memujinya baik dalam kebenaran maupun kebatilan.

Imam Ahmad (16460) telah meriwayatkan dari Mu’awiyah –radhiyallahu ‘anhu- bahwa dia berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ  صححه الألباني في “صحيح الجامع” (2674) .

“Jauhilah oleh kalian saling memuji karena hal itu akan menyembelihmu”. (Dishahihkan oleh Albani dalam Shahih Al Jami’: 2674)

Al Manawi –rahimahullah- berkata:

“Pujian itu mewarisi takjub dan sombong dan akan membinasakan seperti sembelihan, oleh karenanya diserupakan dengannya. Al Ghozali –rahimahullah- berkata: “Barang siapa yang telah berbuat baik kepadamu, jika dia termasuk yang menyukai ucapan terima kasih dan pujian maka janganlah kamu memujinya; karena yang menjadi haknya janganlah menyetujui kedzaliman, dia meminta ucapan terima kasih dan pujian adalah kedzaliman, atau kalau tidak maka berilah ucapan terima kasih untuk menambahnya mencintai kebaikan”. (Faidhul Qadir: 3/167)

Oleh karenanya Ibrohim bin Adham berkata:

“Alloh tidak mempercayai seorang hamba yang mencintai ketenaran”. (Al ‘Uzlah wal Infiraad: 126)

Ibrohim An Nakho’i dan Hasan Al Bashri berkata:

“Cukuplah fitnah bagi seseorang dengan ditunjuk kepadanya dengan jemari dalam masalah agama dan dunia, kecuali seseorang yang dijaga oleh Alloh”. (Az Zuhd / Ibnu Sariy: 2/442)

Demikian juga perkataan Mahiriz dalam Tarikh Damaskus (33/18).

Kedua:

Jika kita sudah mengetahui hal itu, maka tidak diragukan lagi bahwa keselamatan seseorang adalah dengan memilih merendah dan tawadhu’ kepada Rabbnya dan meninggalkan upaya mencari ketenaran dan kemuliaan, meskipun hal itu berkaitan dengan perkara mubah dari urusan dunia.

Imam Muslim (2965) telah meriwayatkan dari Amir bin Sa’d berkata:

“Bahwa Sa’d bin Abi Waqqash berada di atas untanya, maka Umar anaknya mengahampirinya, ketika dilihat oleh Sa’d dia berkata: “Saya berlindung kepada Alloh dari keburukan orang yang berkendara itu”. Dia pun turun dan berkata: “Apakah engkau turun dari untamu dan dombamu dan meinggalkan banyak orang saling berebut kekuasaan di antara mereka ?, maka Sa’d memukul dadanya dan berkata: “Diam kamu, karena saya pernah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ

“Sesungguhnya Alloh menyukai hamba yang bertaqwa, kaya dan tersembunyi”.

Imam Nawawi –rahimahullah- berkata:

“Al Khofiy (الخفي  ) adalah orang yang merendah dan ibadah terus menerus dan sibuk dengan urusannya sendiri”.

Ibnu Al Jauzi –rahimahullah- berkata:

“Kata Al khofiy tersebut mengisyaratkan pada kerendahan dalam berdzikir, kebanyakan orang yang merendah itu akan selamat”. (Kasyful Musykil: 167)

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Al Khofiy adalah orang yang tidak menampakkan dirinya sendiri, dia juga tidak memperhatikan apakah akan dikenal di masyarakat atau ditunjuk dengan jemari (ditokohkan) atau diperbincangkan banyak orang, dia berjalan dari rumahnya ke masjid, dari masjid ke rumahnya, dari rumahnya menuju kerabatnya dan saudara-saudaranya, dia menyembunyikan dirinya”. (Syarh Riyadhus Shalihin: 629)

Al Fudhail bin ‘Iyadh –rahimahullah- berkata:

“Jika anda mampu untuk tidak dikenal maka lakukanlah, kenapa kamu harus tidak diketahui ?, kenapa kamu harus tidak dipuji orang ?, kamu tidak akan tercela di hadapan manusia jika kamu terpuji di sisi Alloh –‘Azza wa Jalla- “. (At Tawadhu’ wa Al Khumul / Abu Bakr Al Qurasyi: 43)

Ketiga:

Jika telah ditakdirkan bahwa seorang hamba telah mencari kebaikan dalam masalah agama atau dunia kemudian menjadi terkenal tanpa dia minta dan tanpa berusaha untuk mendapatkannya; maka hal itu tidak masalah, akan tetapi dia harus selalu memperbaiki niatnya dalam mencari kebaikan dan tidak perduli baik akan menjadi terkenal setelah itu atau tidak. Jika ada keinginan kuat untuk meraihnya, hatinya pun tidak terkait dengannya, maka tidak diragukan lagi bahwa para tokoh masyarakat dalam masalah agama dan dunia akan menjadi terkenal sesuai dengan keadaan, kedudukan dan tingkat kebutuhan masyarakat kepadanya; maka bukan termasuk hal yang bijak, juga bukan termasuk bagian dari syari’at jika meninggalkan penyebaran kebaikan yang diminta untuk disebarkan, bisa jadi sebuah kewajiban maupun sunnah; karena hawatir akan terkenal atau karena seseorang yang melakukan amalan tersebut akan menjadi terkenal karenanya.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Jika perkara itu berputar antara akan menyilaukan dirinya, memunculkan dirinya dan menjadi terkenal dengan yang akan menjadikan dirinya tersembunyi, maka pada saat itu hendaknya memilih yang menjadikan dirinya tersembunyi. Sedangkan jika harus menampakkan dirinya maka harus menampakkannya, hal itu dengan cara menyebarkan ilmunya di masyarakat dan mengadakan pengajian dan halaqah ilmu di setiap tempat. Demikian juga dengan cara khutbah melalui mimbar jum’at dan hari raya dan lain sebagainya, maka hal ini termasuk yang dicintai oleh Alloh -‘Azza wa Jalla-“. (Syarh Riyadhus Shalihin: 629)

Keempat:

Jika telah ditakdirkan bahwa seorang hamba telah mendapatkan ketenaran, baik dalam perbuatan yang tidak syar’i, seperti menyanyi dan bermain peran (artis), atau pada perbuatan yang hukum asalnya adalah masyru’ (disyari’atkan) akan tetapi ada sedikit kerusakan pada niatnya, ingin terkenal, merasa mulia dan ingin kekuasaan; maka menjadi kewajibannya untuk meninggalkan perbuatan yang diharamkan tersebut, seperti: menyanyi, musik, bermain peran atau yang lainnya yang termasuk diharamkan. Kemudian ternyata sudah terkenal karenanya, maka berusaha mengubahnya untuk kebaikan, jika menurutnya bahwa banyak orang yang memperhatikannya atau menirunya maka hendaknya menjadi qudwah yang dalam kebaikan dan menyebarkan kebenaran dan sunnah, ilmu yang bermanfaat dan amal yang sholeh.

Akan tetapi dia hendaknya berusaha mengontrol hatinya dan membenarkan niatnya, dan hendaknya menjadikan amalnya hanya untuk Alloh semata, perhatian orang kepadanya merupakan perkara yang telah ditakdirkan, tanpa dia minta dan berusaha meraihnya, tidak ada perhatian hatinya kepadanya, juga merasa senang karena banyak orang yang melihat dan membicarakannya. Akan tetapi hendaknya menjadikan semua itu karena Alloh, memperbaiki niatnya, dan tidak lalai karenanya.

Sufyan Ats Tsauri –rahimahullah- berkata:

“Saya tidak mengobati sesuatu dengan sangat (sulit) kecuali mengobati niatku, karena niat itu berubah-rubah di dalam diri saya”.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam