Kamis 6 Jumadil Ula 1446 - 7 November 2024
Indonesian

Sirah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- Bersama Para Istrinya dan Cara Bergaul Beliau Yang Baik

191429

Tanggal Tayang : 13-02-2015

Penampilan-penampilan : 17321

Pertanyaan

Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata:
" أتاني رسول الله صلي الله عليه وسلم في غير يومي ، فطلب ضجعاً ، فدق ، فسمعت الدق ، ثم خرجت ففتحت له ، فقال : (ما كنت تسمعين الدق ؟) قالت : بلي ، ولكنني أحببت أن يعلم النساء أنك أتيتني في غير يومي
“Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mendatangiku pada hari yang bukan menjadi giliranku seraya beliau meminta berbaring. Maka beliau mengetuk pintu dan saya pun mendengar ketukan tersebut, beliau bersabda: “Apakah kamu tidak mendengar ketukan pintu ?”, saya menjawab: “Ya saya mendengarnya, hanya saja saya ingin agar semua istri anda mengetahui bahwa anda mendatangi saya pada hari yang bukan giliran saya”.
Abu Bakar bin Abi Syaibah meriwayatkan dari Syababah bin suwar, dari Sulaiman bin Al Mughirah dari Tsabit dari Anas berkata:
" كان للنبي صلى الله عليه وسلم تسع نسوة ، فكان إذا قسم بينهن لا ينتهي إلى المرأة الأولى إلا في تسع ، فكن يجتمعن كل ليلة في بيت التي يأتيها ، فكان في بيت عائشة ، فجاءت زينب ، فمد يده إليها ، فقالت : هذه زينب ، فكف النبي صلى الله عليه وسلم يده "
“Bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mempunyai sembilan orang istri, maka jika beliau membagi hari kepada mereka tidak kembali lagi ke istri pertamanya kecuali setelah sembilan hari berikutnya, semua istri beliau berkumpul setiap malamnya di rumah istri yang sedang mendapatkan giliran hari. Suatu malam pada saat beliau di rumah Aisyah, seraya masuk Zainab, beliau pun mengulurkan tangan beliau. Aisyah berkata: “Ini Zainab”. Seraya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengurungkan uluran tangan beliau.
Pertanyaannya adalah:
Kenapa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mendatangi rumah Aisyah padahal bukan menjadi giliran harinya ?, sedangkan pada hadits yang bawah beliau tidak bersalaman dengan Zainab; karena hari tersebut menjadi giliran Aisyah.
Dari Aisyah –radhiyallahu anha- berkata:
“Para istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengutus Fatimah anak perempuan beliau kepada beliau, dia meminta izin kepada beliau pada saat beliau berbaring bersama saya di atas tempat tidur saya, beliau pun mengizinkannya, dan dia pun berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh para istri anda telah mengutusku kepada anda, mereka minta keadilan tentang putri Abu Quhafah (Aisyah) –dan saya pun terdiam- , maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Tidakkah kamu mencintai apa yang saya cintai ?”. Dia menjawab: “Ya”. Beliau bersabda: “Cintailah ini (Aisyah)”. Setelah mendengar jawaban ayahnya Fatimah pun berdiri dan kembali kepada para istri beliau yang lain, dia pun memberitahukan kepada mereka jawaban Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Mereka pun berkata kepada Fatimah: “Kami melihat bahwa anda tidak mewakili aspirasi kami, maka kembalilah kepada Rasulullah lagi, dan katakan kepada beliau: “Sungguh para istri anda meminta keadilan berkaitan dengan putri Abu Quhafah”. Fatimah menjawab: “Demi Allah, saya tidak akan menyampaikan hal itu lagi kepada beliau selamanya”. Maka para istri beliau mengutus Zainab binti Jahsy, dialah yang bersaing dengan saya dalam masalah kedudukan (yaitu; tentang kecantikannya, kebaikannya dan cinta Rasulullah kepadanya). Maka Zainab pun minta izin menemui Rasulullah, posisi beliau bersama Aisyah masih sama dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur, sama dengan posisi yang dilihat oleh Fatimah sebelumnya. Rasul pun mengizinkannya masuk, Zainab berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh para istrimu telah mengutusku untuk meminta keadilan tentang putri Abu Quhafah ?”. Aisyah berkata: “….Lalu Zainab memandang saya dalam waktu yang lama, sedangkan saya memperhatikan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan memperhatikan keputusannya, apakah beliau mengabulkan permintaannya, posisi Zainab masih saja seperti semula sampai saya mengetahui bahwa Rasul tidak membenci kalau saya menang, ketika saya memandang Zainab saya tidak membencinya dan saya pun menghampirinya, maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda dengan tersenyum: “Dia adalah putri Abu Bakar..”.
Pertanyaannya adalah:
Saya memahami bahwa permintaan mereka dalam hal keadilan di atas adalah keadilan hati, hal itu merupakan sesuatu yang di luar kemampuan Rasul, bahkan hal tersebut berasal dari Allah –subhanahu wa ta’ala-, namun kenapa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- membela Aisyah dari pada menjaga perasaan para istrinya yang lain ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menggauli para istrinya dengan baik, menemani mereka dengan baik, dermawan, beliau juga duduk bersama mereka, bercakap-cakap, bergadang, berlaku adil kepada mereka pada semua hal yang mampu beliau lakukan.

Para istri beliau adalah para ummul mukminin –radhiyallahu ‘anhunna-, terkadang juga terjadi kecemburuan di antara mereka, akan tetapi meskipun demikian mereka mampu mengembalikan kepada taqwa, iman, menjaga kehormatan diri, menjaga prilaku dan tetap taat beragama.

Wanita yang beriman lebih bisa bersabar dalam hal kecemburuan dari pada wanita lainnya; karena keimanannya dan karena mengembalikan akhir urusannya kepada akhlak dan agama.

Pada dasarnya seorang mukmin yang bertaqwa dan bersih ketika membaca firman Allah yang menyatakan:

( النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ) الأحزاب/ 6

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka”. (QS. Al Ahzaab: 6)

Dia akan berkomitmen dari sisi etika dan menjaga konsekwensinya dan tidak mengikuti bisikan syetan. Tidakkah anda melihat bahwa seorang mukmin di hadapan ibunya banyak mengalah, mendahulukannya dalam banyak hal, tidak mendebatnya dalam semua perkataannya dan semua perbuatannya, maka kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan keluarganya lebih utama untuk dimuliakan dan diagungkan, menjadi sumber dari semua amal sholeh dan kebaikan.

Kedua:

Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah –radhiyallahu ‘anha- bahwa dia berkata:

" أتاني رسول الله صلى الله عليه وسلم في غير يومي فدق ، فسمعت الدق ، ثم خرجت ، ففتحت له . فقال: ( ما كنت تسمعين الدقَّ ؟ ) ، قلت : بلى ، ولكنني أحببت أن يعلم النساء أنك أتيتني في غير يومي

“Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mendatangi saya pada hari yang bukan menjadi giliran saya, seraya beliau mengetuk pintu, saya pun mendengar ketukan pintu tersebut, kemudian saya keluar saya membukakan pintu untuk beliau, maka beliau bersabda: “Tidakkah kamu mendengar ketukan pintu ?”, saya menjawab: “Ya, hanya saja saya ingin agar para istri anda yang lain mengetahui bahwa anda mendatangi saya pada hari yang bukan menjadi giliran saya”.

Hadits ini telah disebutkan oleh Imam Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala (2/174) melalui jalur Ahmad bin Ubaidillah an Nursi: Telah diriwayatkan oleh Yahya al Khowash, dari Muhadhir, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah.

Sanad (mata rantai) hadits melalui jalur ini adalah dho’if (lemah) tidak bisa dijadikan dalil.

Syeikh Abdul Qadir al Arnauth –rahimahullah-  berkata pada saat menjelaskan “Siyar”:

“Yahya al Khowash, saya tidak menemukan biografinya, dan Muhadhir adalah anak dari al Muwari’, Abu Hatim berkata tentang dia: “Riwayat darinya tidak termasuk riwayat yang kuat”, Imam Ahmad berkata: “Dia sering berbuat lalai”.

Riwayat seperti itu tidak bisa dijadikan dalil.

Ketiga:

Sedangkan hadits yang lain, telah diriwayatkan oleh Muslim (1462) dari Anas –radhiyallahu ‘anhu- berkata:

" كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعُ نِسْوَةٍ فَكَانَ إِذَا قَسَمَ بَيْنَهُنَّ لَا يَنْتَهِي إِلَى الْمَرْأَةِ الْأُولَى إِلَّا فِي تِسْعٍ ، فَكُنَّ يَجْتَمِعْنَ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي بَيْتِ الَّتِي يَأْتِيهَا ، فَكَانَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ فَجَاءَتْ زَيْنَبُ فَمَدَّ يَدَهُ إِلَيْهَا فَقَالَتْ : هَذِهِ زَيْنَبُ . فَكَفَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ ، فَتَقَاوَلَتَا حَتَّى اسْتَخَبَتَا [ مِنْ السَّخَب ، وَهُوَ اِخْتِلَاط الْأَصْوَات وَارْتِفَاعهَا ] ، وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ ، فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ عَلَى ذَلِكَ فَسَمِعَ أَصْوَاتَهُمَا ، فَقَالَ : اخْرُجْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَى الصَّلَاةِ وَاحْثُ فِي أَفْوَاهِهِنَّ التُّرَابَ . فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ : الْآنَ يَقْضِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ ، فَيَجِيءُ أَبُو بَكْرٍ ، فَيَفْعَلُ بِي وَيَفْعَلُ .
فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ ، أَتَاهَا أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ لَهَا قَوْلًا شَدِيدًا ، وَقَالَ : أَتَصْنَعِينَ هَذَا ؟! " .

“Bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mempunyai sembilan istri, ketika beliau membagi hari kepada mereka, maka beliau tidak kembali lagi ke istri yang pertama kecuali setelah giliran hari bagi istri beliau yang kesembilan. Mereka semua berkumpul pada setiap malamnya di rumah salah satu istri yang beliau datangi. Suatu ketika beliau sedang di rumah Aisyah maka datanglah Zainab, maka beliau mengulurkan tangan beliau kepadanya. Aisyah berkata: “Dia adalah Zainab”, maka Nabi pun menarik kembali tangan beliau. Keduanya pun saling bercakap-cakap sampai terdengar ramai suaranya. Lalu terdengar suara adzan, kemudian Abu Bakar melewati rumah tersebut dan mendengar suara mereka berdua dan berkata: “Wahai, Rasulullah keluarlah menuju shalat, dan tutuplah mulut mereka dengan debu (menunjukkan peringatan yang keras)”. Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun keluar, dan Aisyah berkata: “Sekarang Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- keluar menunaikan shalat”. Abu Bakar pun menghampiri saya (Anas bin Malik) dan marah, maka setelah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyelesaikan shalat, Abu Bakar menemui Aisyah dan menasehatinya dengan perkataan yang keras: “Apakah seperti itu yang kamu lakukan ?!”.

Imam Nawawi –rahimahullah- berkata:

“Pertemuan (di rumah istri yang mendapat giliran hari) tersebut adalah sesuai dengan persetujuan mereka semua”.

“Adapun bahwa Rasulullah mengulurkan tangannya kepada Zainab, dan perkataan Aisyah: “ini adalah Zainab”, yang dimaksud adalah tidak ada unsur kesengajaan, bahkan beliau mengira dia adalah Aisyah yang memang pemilik giliran hari tersebut, karena peristiwa tersebut terjadi pada malam hari dan di rumah itu tidak ada lampu. Namun sebagian mengatakan bahwa perbuatan Rasulullah tersebut sudah disetujui oleh mereka semua”.

Dalam hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- baik akhlaknya dan menyayangi semua istrinya”.

Keempat:

Imam Bukhori (2581) dan Muslim (2442) meriwayatkan dari Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata: “Para istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengutus Fatimah binti Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada beliau, ia pun meminta izin kepada beliau, pada saat beliau berbaring bersama saya di atas tempat tidur saya, beliau pun mengizinkannya. Fatimah berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh para istri anda telah mengutus saya kepada anda bahwa mereka semua meminta keadilan tentang putri Abu Quhafah ?. Saya pun terdiam. Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Wahai putriku, tidakkah kamu mencintai apa saja yang saya cintai ?”. Dia menjawab: “Ya”. Beliau bersabda: “Maka cintailah ini (Aisyah)”. Aisyah berkata: “Maka setelah mendengar jawaban tersebut, Fatimah berdiri dan kembali kepada para istri beliau yang lain dan menyampaikan kepada mereka apa yang dia sampaikan kepada Rasululullah dan jawaban beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka mereka pun berkata: “Kami tidak melihat bahwa kamu bisa mewakili kita semua, maka kembalilah kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan katakanlah kepada beliau bahwa para istrinya menuntut keadilan tentang putri Abu Quhafah. Fatimah berkata: “Demi Allah saya tidak akan menyampaikan terkait dengan masalah itu lagi”. Aisyah berkata: “Maka para istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengutus Zainab binti Jahsy salah satu istri beliau, dialah di antara istri-istri beliau yang berlomba dengan saya untuk mendapatkan simpati dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, saya tidak pernah melihat seorang wanita yang lebih baik agamanya dari pada Zainab, lebih bertakwa kepada Allah, paling jujur perkataannya, paling bisa menyambung silaturrahim, paling banyak bersedekah, paling mampu berkorban dalam hal perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah –Ta’ala-, hanya saja dia prilakunya keras dan mudah marah namun cepat kembali mereda.

Aisyah berkata: “Ia pun meminta izin kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan beliau sedang bersama Aisyah di atas tempat tidurnya, sama kondisinya pada saat Fatimah masuk sebelumnya, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun mengizinkannya, lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh para istri anda mengutus saya kepada anda karena mereka meminta keadilan tentang putri Abu Quhafah”. Aisyah berkata: “Lalu ia pun memandang saya dengan waktu yang cukup lama, sedangkan saya memperhatikan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan menunggu jawaban beliau, apakah beliau mengabulkan permintaanya ?”. Aisyah berkata: “Zainab pun masih dalam kondisi seperti itu sampai saya memahami bahwa Rasulullah tidak membenci kalau saya menang”. Pada saat saya melihatnya, saya tidak meremehkannya dan saya pun menghampirinya. Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Dia adalah putri Abu Bakar”.

Maka perkataan penanya di atas, kenapa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memilih membela Aisyah dari pada menjaga perasaan para istrinya yang lain ?

Jawabannya adalah karena Aisyah tidak melakukan sesuatu dan tidak ada konflik apapun, posisi beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada saat itu berada di rumahnya, di tempat tidurnya dan memang menjadi giliran harinya, beliau mengetahui bahwa penyebabnya adalah rasa cemburu, akhlak beliau yang baik, cara beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mempergauli istrinya dengan baik lah yang kemungkinan menjadikan mereka cemburu.

Sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan tersenyum: “Ini adalah putri Abu Bakar”, yaitu; dalam hal kekuatan dan kecerdasan. Al Hafidz berkata: “Dia adalah syarifah (mulia), cerdas, berilmu seperti ayahnya”. (Fathul Baari: 5/207)

An Nawawi berkata:

”Bahwa Aisyah tidak merasa menang dari istri-istri beliau yang lain, kecuali setelah mengetahui bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- setuju dan tidak marah dalam hal itu.

Karena Zainab –radhiyallahu ‘anha- lah yang memulai, dan melalui persetujuan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan dukungan beliau kepada Aisyah merupakan bentuk keadilan antara suami istri. Kalau misalnya beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak memihak kepada Aisyah, maka bisa jadi seseorang yang bodoh dan menyimpang akan berkata: “Hal ini bukan termasuk adil, kenapa tidak menyetujui dan memihak kepada Aisyah ?!”.

Imam An Nawawi –rahimahullah berkata-:

“Riwayat tersebut menunjukkan bahwa Aisyah merasa menang dengan sendirinya dan beliau tidak melarangnya”. (Syarh Nawawi ‘ala Muslim: 15/207)

Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:

“Imam An Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad yang baik, melalui jalur at Taimi dari Urwah dari Aisyah berkata:

" دَخَلَتْ عَلَيَّ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ فَسَبَّتْنِي فَرَدَعَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَتْ ، فَقَالَ لِي : سُبِّيهَا . فَسَبَبْتُهَا " انتهى من " فتح الباري " (5/99(

“Zainab binti Jahsy telah menemui saya dan mencela saya, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- membantahnya, dan Fatimah tidak terima, maka beliau bersabda: “Celalah dia”. Maka saya pun mencelanya”. (Fathul Baari: 5/99)

Kesimpulan:

Penanya di atas dan siapapun hendaknya mengetahui bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebaik-baik manusia dalam hal menggauli istri beliau, sebaik-baik manusia bagi keluarganya, seutama-utama manusia dalam hal keadilan dan keindahan, baik dalam hal yang remeh maupun yang besar. Renungkanlah jawaban beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kapada seorang munafik yang bodoh yang membantah tentang pembagian Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan berkata: “Wahai Rasulullah, berlaku adillah anda !!”. Maka beliau bersabda:

)وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ ؟! قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ ( !!

“Celaka kamu, siapa yang akan berlaku adil jika saya tidak melakukannya ?!, maka kamu telah gagal dan merugi jika aku tidak berlaku adil !!”.

Kapan saja seorang penanya mendapatkan sesuatu dari penjelasan para ulama tentang keadaan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, penjelasan tentang keindahan prilaku beliau, akhlak dan pergaulannya yang baik, maka menjadi kewajibannya untuk tidak melampaui batas-batas kebaikan dan keindahan di dalamnya dan membuka ruang prasangka buruk di dalam dirinya.

Kapan saja ia merasakan adanya kesulitan dan ketidak jelasan, maka hendaknya ia mempunyai dasar yang kuat secara umum:

Alangkah celakanya, siapa yang akan berlaku adil jika Rasulullah tidak berlaku adil ?!

Siapa yang lebih utama melakukan kebaikan, kalau bukan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ?!

Baca juga jawaban soal nomor: 7878 dan 34701.

Wallahu a`lam .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam