Alhamdulillah.
Pertama :
Ucapan seorang suami kepada istrinya : Kamu haram bagiku, atau engkau haram atasku jika melakukan ini dan itu, atau yang semacamnya dari lafadl-lafadl pengharaman ; sesungguhnya para ulama’ telah berbeda pendapat dalam hal tersebut tentang hukumnya, maka diantara mereka ada yang menyikapi bahwasannya lafadz tersebut masuk kategori dzihar, dan sebagian lagi dari mereka memasukkan dalam kategori Talak. Dan pendapat yang rojih dari yang demikian adalah sesungguhnya semua dikembalikan kepada niat sang suami, maka jika dia berkehendak manjatuhkan talak maka hal itu dihukumi talak, dan jika berkehendak dzihar dari ungkapan tersebut maka dihukumi dzihar, dan jika tidak menginginkan apapun dari ungkapan tersebut atau menginginkan penolakan terhadap istrinya : maka hal itu masuk kategori yamin atau sumpah. Dan sesungguhnya kami menyebutkan disetiap kondisi perlu dilihat niatnya, karena sesungguhnya sebagian manusia akan mengatakan : saya tidak bermaksud menceraikan, padahal kenyataannya dia berkeinginan berpisah dengan istrinya, dan tidak lagi ingin tinggal menetap bersamanya dan jelas hal ini bermaksud talak. Bisa dilihat jawaban soal nomer : ( 126458 ) dan nomer : ( 81984 ).
Dari sini, maka ucapan suami kepada anda : ( jika dia kembali kepada kebiasaannya dan anda haram baginya ), dan nyatanya memang dia kembali ke prilakunya yang lama sebagaimana yang anda ungkapkan ; maka semuanya dikembalikan kepada niatnya sebagaimana yang diterangkan diatas, maka jika dia berniat menceraikan atau berniat berpisah dengan anda ; berarti dia telah menceraikan anda dengan satu talak, dan jika dia berniat dzihar maka hal itu menjadi dzihar, namun jika dia tidak berniat apapun dari apa yang diungkapkan maka hal itu menjadi sumpah yang harus dia berikan kaffaratnya atau tebusannya.
Kedua :
Adapun perkataan anda dan suami anda : ( sumpah itu berdasarkan niat orang yang bersumpah ) ; maka hal tersebut benar adanya : sesungguhnya jika orang yang bersumpah tersebut orang dzalim, maka tidak ada guna dan faedah niatnya, dan dia tidak patut menggunakannya untuk Tauriyyah yaitu mengungkapkan sesuatu tapi memiliki maksud yang berbeda didalam hati yang tidak dinampakkan, apalagi yang demikian tersebut ditujukan untuk menegakkan kebenaran dari kebatilan, atau membatalkan hak yang wajib baginya.
Jadi, apabila yang bersumpah tersebut seorang Qadli, dan dia bersumpah dalam otorita haknya, atau kesaksian orang yang bersaksi dihadapannya, maka sumpah yang diperintahkan Qadli untuk mengutarakannya dihadapan qadli ; diperhitungkan sumpahnya atas niat dan kehendak qadli, dan dalam hal ini tidak berlaku tauriyah, Imam Nawawi Rahimahullah berkata : “ Dan hal ini menjadi kesepakatan para Ulama’ ” .
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( الْيَمِينُ عَلَى نِيَّةِ الْمُسْتَحْلِفِ ) رواه مسلم
(1653 ) .( وفي رواية له : ( يَمِينُكَ عَلَى مَا يُصَدِّقُكَ عَلَيْهِ صَاحِبُكَ
Dari Abu Hurairah dia berkata : Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : ( Sumpah itu sesuai dengan niat orang yang mengambil sumpah ). Hadist riwayat Muslim ( 1653 ) dan riwayat dari Imam Muslim yang lain : ( Sumpahmu adalah atas apa yang sahabatmu mempercayaimu karenanya ) dan bisa dilihat pada : “ Syarh Shahih Muslim ” oleh Imam An Nawawi ( 11 / 117 ). Dan untuk menambah faedah pengetahuan bisa dilihat jawaban soal nomer : ( 83093 ), nomer : ( 27261 ), nomer : ( 45865 ).
Kesimpulannya :
Sesungguhnya tidak ada peluang bagi niat seorang istri dalam menentukan sisi pengharaman yang terdapat pada sumpah suami : jika memang hal itu diniatkan sebagai talak, atau yang lainnya ; maka apabila dalam melontarkan ungkapan itu dia berkehendak untuk menceraikannya, maka tidak diperkenankan bagi seorang istri mengatakan kepada suaminya : sesungguhnya saya melakukan itu semua hanya niat dhihar saja, dan apabila dia berniat melakukan itu hanya sekedar sumpah, untuk melarang atau memberikan anjuran dan tidak ada maksud dalam melontarkan perkataan yang demikian tersebut keinginan bercerai atau berpisah dengan istrinya : maka tidak diperkenankan bagi istri mengatakan : sesungguhnya saya hanya bermaksud perceraian dan perpisahan.
Ketiga :
Apabila anda sangat yakin dengan kondisi suami anda, sebagaimana yang anda ungkapkan diatas dan suami anda mengingkari yang demikian tersebut, maka perkataan yang dibuat acuan adalah ungkapan yang nampak dalam hukum ; akan tetapi hal tersebut berkaitan dengan hubungan antara anda dan Tuhan anda, anda wajib melakukan atas dasar keyakinan anda ; maka apabila dalam melontarkan ungkapan tersebut dia niatkan untuk bercerai, maka sungguh telah jatuh talak atas diri anda sebagaimana yang telah dijelaskan secara detail sebelumnya ; dan jika itu talak yang pertama atau kedua : maka tidak ada masalah bagi anda karena dia masih punya hak untuk merujuk anda ; baik hal itu diungkapkan dengan perkataan atau dengan perbuatan yang mengarah kepada prilaku rujuk dengan niat melakukan rujuk. Maka hendaknya anda memperhatikan hitungan jumlah ungkapan talak yang dia lontarkan.
Akan tetapi jika lontaran ungkapan talak tersebut merupakan talak yang ketiga : maka istri telah menjadi talak bain dari suaminya, maka tidak halal bagi seorang istri untuk menyerahkan dirinya kepada suaminya, meskipun sang suami mengingkari akan hal tersebut dihadapan hakim. Dan hal semacam itu yang kerap terjadi : jikalau ini merupakan ungkapan talak yang pertama lalu dia mengingkarinya kemudian setelah itu dia melontarkan ungkapan talak dua kali ; maka istri telah menjadi talak bain dari suaminya karena hal demikian.
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata :
“ Apabila seorang istri memberikan pengakuan bahwa suaminya telah menceraikannya, lalu sang suami mengingkari perkataan istrinya maka yang diambil sebagai dasar adalah pengakuan suami ; karena sesungguhnya kaidah dasarnya adalah ketetapan pernikahan dan tidak ada perceraian ; melainkan jika istri mempunyai bukti terhadap apa yang dia kemukakan ”.
Dan apabila suami – istri berselisih tentang jumlah talak yang telah dilontarkan : maka yang diambil sebagai dasar adalah perkataan suami sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, jika suami telah mentalak tiga kali dan istri mendengar hal tersebut, sedang suami mengingkarinya, atau yang demikian tersebut disaksikan oleh dua orang saksi yang adil ; maka tidak halal bagi seorang istri untuk menyerahkan dirinya kepada suaminya, dan wajib baginya untuk menghindari suaminya sebisa mungkin, dan menolak hasrat suami apabila dia menghendaki untuk berhubungan suami istri dengannya, bahkan dia harus melawan jika dia mampu dan suami bersikeras dalam hal tesebut. Imam Ahmad Rahimahullah berkata : Tidak ada keleluasaan bagi istri untuk tinggal bersama suaminya, beliau juga mengatakan : dia harus melawan dengan sesuatu yang dia mampu melakukannya jika memang suami memaksa untuk itu.
Dan jika istri dipaksa atas yang demikian ; maka janganlah dia berhias untuk suaminya, tidak mendekatinya, dan dia harus meninggalkannya jika memang mampu untuk melakukannya. Dan apabila ada dua orang saksi yang adil dan terbebas dari tuduhan yang menguatkan argumennya : maka hendaklah istri tidak lagi tinggal bersama suaminya lagi. Dan ini merupakan pendapat kebanyakan para ulama’.
Jabir bin Zaid, Hammad bin Abi Sulaiman dan Ibnu Sirin berkata : hendaknya istri sebisa mungkin berlari meninggalkan suaminya dan melawannya dengan segala kemungkinan yang bisa dia lakukan. At Tsauri, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Abu Ubaid dan Malik berkata : hendaknya istri tidak berhias untuk suaminya dan tidak menampakkan kepadanya sedikitpun rambut serta bagian auratnya yang lain, dan ketika suami menggaulinya maka hal itu tidak terjadi melainkan istri dalam kondisi terpaksa. Dan diriwayatkan dari Al Hasan, Az Zuhri dan An Nakho’i : yang demikian harus diingkari kemudian dosanya ditimpakan kepada suami.
Dan pendapat yang paling shahih adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh para pendahulu ; karena sesungguhnya sang istri ini telah mengetahui bahwasannya dia telah menjadi orang lain bagi mantan suaminya maka wajib atasnya menolak keinginan suaminya dan berlari meninggalkannya sebagaimana perempuan-perempuan yang tidak muhrim lainya ”. Demikian sebagaimana yang terdapat dalam “ Al Mughni ” ( 7 /503 ).
Kesimpulannya :
Sesungguhnya dalam pengharaman suami anda adalah niatnya : maka jika dia niat bercerai atau berpisah : maka hal itu dihitung sebagai perceraian, dan jika dia meniatkan dzihar, maka terjadi dzihar, dan jika dia tidak memiliki niat apapun dalam ungkapannya : maka hal itu masuk sebagai sumpah yang dia wajib membayar kaffaratnya. Dan apabila anda dengan penuh keyakinan bahwasannya suami anda melakukan apa yang dia telah bersumpah atasnya, maka anda wajib berhati-hati dan menghitung jumlah ungkpan talak yang telah dilontarkan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Dan lihat tentang hukum bersumpah dengan yang diharamkan ; jawaban soal nomer : ( 152170 )
Wallahu A’lam.